Monday, December 19, 2016

Cerita Kelahiran (1)


Wow.. postingan terakhir aku tanggal 31 Maret! Dengan cerita yang seperti menggantung. Ckckck... maafkan ya..


Begini lanjutannya.. Dari postingan terakhir, 19 hari kemudian. Tepatnya tanggal 19 April, anakku lahir ke dunia. Di sinilah perjuangan aku sebagai suami sekaligus bapak mulai diuji. Sudah sekian lama ingin menulis ini, tapi selalu tak jadi. Ah sudahlah.. jangan tanya alasannya ya. Takdirnya memang sudah begitu.


Sengaja kutulis ini untuk jadi gambaran untuk saudara seperjuangan, calon bapak, calon ayah. Tapi bukan maksud ngajarin juga ya. At least, ini yang aku alamin.


Perjuangan dimulai ketika isteri mulai mules. Saat itu belum terlalu pusing, karena kami sudah menyiapkan dan memesan tempat persalinan jauh-jauh hari, Jadi tinggal bawa ke rumah sakit bersalin. Beres.

Tapi ternyata yang disediakan rumah sakit hanya tempat, peralatan, dokter, perawat. Yang nemenin isteri harus kita sendiri (ya iya lah hahaha). Mulai detik inilah calon bapak harus menyiapkan fisik dan mental. Kita harus menghibur isteri yang sedang kesakitan, menjawab pertanyaannya, seabsurd apapun, dan mengabulkan permintaanya. Terdengar simpel ya.. tapi coba bayangkan, isteri minta ditemani, gak boleh ditinggal sebentar pun, tapi juga dia minta dibawakan baju di rumah. Itu contohnya. Siapkan stok sabar sebanyak mungkin.


Isteri ke rumah sakit jam 9 pagi. Niatnya buat periksa dokter karena diare. Tapi ternyata setelah diperiksa hasilnya malah sudah bukaan. Bukaan tiga dan belum ada mules. Jadi gak ada yang bisa dilakukan, cuma menunggu. Tapi jangan salah menunggu itu butuh energi. Cemas, bosan, sekaligus excited. Tapi cobaan yang paling berat dari seorang calon ayah, menurutku adalah, harus mengambil keputusan. Dalam waktu singkat kita harus siap dengan jawaban kalau ditanya dokter. Apalagi kalau kita tidak dibekali banyak pengetahuan. Yang ada malah deg-degan.


Tiba-tiba saja kita diinformasikan, DJJ saat ini tinggi, Jadi menurut dokter belum bisa dikasih obat biar mules. Kalau DJJ sudah normal, apakah bapak setuju diberi obat mules? Belum juga aku bisa mencerna apa itu DJJ, berlembar-lembar formulir sudah disodorkan untuk ditandatangani. Aku pun lantas setuju setelah bertanya prosedur standarnya seperti apa. Setelah itu, sambil menemani isteri, aku googling apa itu DJJ yang ternyata adalah Detak Jantung Janin, dan angka normalnya adalah 120-160. Kalau di luar interval itu dalam waktu yang lama akan berbahaya. Oiya, jadi selain fisik dan mental, pastikan juga handphone kita gak low batt dan terisi paket data hehe.


Setelah tahu itu, tugasku kemudian adalah menatap monitor DJJ. Sampai akhirnya setelah DJJ normal, isteriku diberi obat induksi. Di sana lah rasa mulas menghebat. Kita dituntut berdoa, menghibur, sambil dicakar dan diremas-remas untk waktu yang sangat lama. Rasa cemas meningkat level demi level. Kita tak boleh panik, tak ada waktu untuk menunjukan rasa khawatir. Kita harus terlihat kuat agar isteri kita ikut kuat. Itu yang berat. Setiap dosis obat yang akan diberikan, dokter akan meminta persetujuan kita dan kembali disodorkan berlembar-lembar formulir. Kita menjadi ragu apakah tindakan yang kita ambil sudah benar.


Tapi tak ada waktu untuk ragu. Kutorehkan tanda tangan sambil membaca basmalah. Untungnya aku ditemani ibu mertua, jadi bisa gantian sebentar untuk sholat. Walau akhirnya ibu mertua tak kuat. Jadi memang harus aku yang menemaninya. Kami kemudian menunggu angka bukaan yang seolah berjalan sangat lambat, dari 4 kemudian 4,5 kemudian 5 memakan waktu sangat lama. Sampai akhirnya tibalah waktu mengejan. Kita ikut menyemangati dan berdoa. Momen itu serasa sangat menegangkan, sambil mata kembali melihat angka DJJ.


Takdir berkata lain. Jabang bayi tak bisa keluar. Hanya terlihat sebagian kecil kepalanya. Oiya untuk melihat liang lahir pun dibutuhkan keberanian lho. DJJ mulai melemah, sampai akhirnya dokter memutuskan untuk operasi sectio. Isteri dibawa masuk ke ruangan. Aku tak boleh masuk. Saat itulah kemudian fisik terasa lemas. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menunggu dan berdo'a. Sambil menunggu pun berlembar formulir harus kubaca dan kusetujui.


Alhamdulillah setengah jam kemudian bayi keluar dan disimpan di dalam box khusus. Dokter anak langsung datang dan bilang kalau bayinya gak langsung menangis, ada kemungkinan infeksi jadi akan dilakukan serangkaian tes. Terus terang pernyataan itu membuat aku menangis. Melihat si bayi membuat perasaanku lebih baik. Oh.. ini ya perasaan melihat anak sendiri untuk pertama kali.. Bayi yang paling indah sejagad raya. Membisikan adzan ditelinganya pun ternyata bukan hal mudah. Bercampur aduk rasa haru dan cemas. Tapi saat itu memang waktu yang tepat untuk bersyukur dan mengembalikan segalanya pada Alloh SWT.


Isteriku kemudian keluar dari ruangan operasi dengan masih terpengaruh obat bius. Aku tak menceritakan tentang kondisi bayi. Nanti saja lah setelah dia sepenuhnya pulih. Setelah menunggu satu jam dia pun bisa masuk ke ruangan rawat, sedangkan si bayi ditempatkan di ruang khusus.


Aku merasa sangat lelah sekali dan sangat lapar. Setelah memastikan semuanya baik, aku meminta izin isteriku untuk mencari makan. Hari sudah malam sekitar jam 21:30. Anehnya aku tak berminat mencari makanan sekitar rumah sakit. Aku malah naik taksi ke jalan Braga demi mencari secangkir cokelat di Starbucks. Hahaha.

No comments: