Wednesday, September 16, 2009

Ibu Mia

Tadi selepas sholat Tarawih, tiba-tiba saja, entah kenapa, aku teringat akan ibu Mia Kusmiati, guru SD ku dahulu. Sebenarnya kadang-kadang ingatan ini muncul sih. Nah, sebelum kembali terlupa, aku buru-buru menuju kostan dan mencoba menuliskannya di blog ini dengan harapan seseorang yang memiliki memori yang sama akan tersesat ke situs ini dan membagi kenangannya tentang beliau.

Sosok Bu Mia, tak pernah dapat aku lupakan. Sosoknya sedang agak pendek kalau dibandingkan bapak-bapak guru. Agak gempal, tapi menurut aku samasekali tidak gemuk. Ibu ini sangat energik. Walaupun SD aku cuma sekolah inpres di Perumnas, tapi aku melihat Bu Mia sebagai seorang wanita yang gaya. Tidak berlebihan. Kalo sekarang aku akan menyebutnya guru yang cool. Seringnya memakai kemeja atau blus tangan pendek dengan rok span. Tapi kalau suasana resmi, bu Mia juga kadang memakai blazer. Bu Mia itu cantik, putih, seperti Amoy. Gayanya cenderung tomboy tapi feminin dalam saat yang bersamaan. Rambutnya pendek, agak mirip Demi Moore zaman film Ghost dulu. Perona pipi tipis dan lipstick warna pink pucat.

Beliau ke sekolah dengan menggunakan motor Honda Astrea. Entah sudah berapa kali bu Mia ini menjadi wali kelas aku, tapi yang pasti, waktu kelas 6, beliaulah wali kelasnya. Beliau mengajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila—sekarang sama dengan PPKN) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Nah ajaran beliau tentang pelajaran IPS inilah yang kemudian berpengaruh banyak terhadap aku sekarang.

Gaya mengajar Bu Mia, dimataku tak pernah membosankan. Masih terngiang cara beliau mengajar dan berbicara. Beliau fun, tapi tegas sekaligus. Suka bercanda, dan samasekali tidak galak. Jadi kalau ada yang ngobrol atau ngelamun, biasanya beliau teriak, Maneh mah heureuy wae!, lempar kapur, atau yang paling parah jewer telinga hehehe.

Aku agak lupa ajaran beliau tentang PMP. Tapi memang pelajaran PMP sampai SMA pun tak pernah menjadi pelajaran yang menyita perhatian aku. Beliau yang mengajarkan kita tentang tata cara bertamu dan menerima tamu lewat semacam sandiwara, mengunjungi kantor pos dan pasar untuk kemudian mewawancara pedagangnya. Membiarkan kelas ribut karena kita sedang mengisinya dengan cerdas cermat seperti yang pernah aku ceritakan disini. Pelajaran sederhana yang sangat berguna buat kehidupan aku, walau masa SD tlah aku lewati 20 tahun yang lalu.

Bu Mia juga sering mengajak kita jalan-jalan. Ke sawah, ke pinggir selokan, ke irigasi, ke tanah lapangan, dan kemudian belajar disana, atau bahkan hanya dihabiskan dengan mendengar cerita beliau saja. Masa SD ku sangat bersahaja, pada masa itu hal yang biasa seorang guru menyuruh muridnya membeli sesuatu, fotocopy, atau bahkan membeli bala-bala. Dan bu Mia pun terkadang menyuruh kami membeli bubur ayam.

Guru-guru kami di SDN Sarijadi 5, sangat senang main pingpong, dan Bu Mia pun tak terkecuali. Beliau cukup jago. Dan kala itu menyaksikan guru bermain pingpong dikala istirahat atau di waktu pulang sekolah lumayan menyenangkan. Kalo Bu Mia main suka penuh teriakan dan tertawa keras.

Bu Mia membuat aku sangat menyenangi pelajaran IPS. Terutama pelajaran tentang pengetahuan negara-negara di dunia. Buku IPS warna cokelat yang kita gunakan, seringkali aku bawa tidur. Saat itu aku tidak merasa IPS menjadi sesuatu yang harus aku hapalkan. Pelajaran itu bagaikan sebuah jendela ke sebuah alam yang menyenangkan dan nyata. Bu Mia menceritakan negara-negara di Amerika, Eropa, Asia, Pasifik seperti sebuah deretan gambar indah di kepalaku. Saat itu aku sudah hapal banyak negara dan kota-kota besar didalamnya. Sungai Yukon, Danau Erie, Vladivostok, Kep. Faroe, UNICEF, NATO, tak lagi menjadi kata-kata asing. Pelajaran ini membuat aku ingin keliling dunia. Dan terus terang saja, keinginan aku akan mengunjungi Mongolia adalah sebagian besar dipengaruhi oleh pelajaran ini.

Untuk melengkapi pelajaran ini, kita dibagi menjadi kelompok-kelompok dan diberi tugas membuat peta di atas karton manila. Peta pertama yang aku dan anggota kelompokku buat adalah peta Thailand. Aku menggambarnya dengan pensil dan kemudian mewarnainya dengan cat air. Agar tak boros cat air juga cepat, aku diajarkan kakakku menggunakan cat air dengan kapas. Hasilnya keren sekali (saat itu), bu Mia pun memberikan pujian. Peta itu, beserta peta lain digantung dikelas. Kami sangat bangga akan peta-peta kami.

Beliau juga memberikan tugas kliping dari koran tentang PBB. Ini yang membuat aku suka membaca koran tiap hari hingga kini. Beliau tak malu menerima kritik dari seorang anak ingusan macam kami. Aku masih ingat, beliau menyebutkan Sekjen PBB saat itu adalah Javier Perez deQueya dari Peru, tapi setelah aku liat di koran yang betul adalah Javier Perez deCuellar. Beliau pun meralatnya dan membenarkan ucapan muridnya. Beberapa tahun kemudian aku tahu bahwa sebetulnya tidak ada yang salah, karena deCuellar memang dilafalkan deQueya hehe.

Aku dan beberapa temanku sering berada di ruang guru. Dikarenakan perpustakaan berada di Ruang Guru. Jadi kalau kita mau meminjam buku, ya harus bertemu mereka itulah. Pernah aku disuruh mengambil sesuatu di tas nya bu Mia, dan saat itu aku melihat sebungkus rokok Filtra di dalamnya. Bu Mia langsung menutupinya. Saat itu merokok buat perempuan hal yang jarang sekali. Ibu-ibu biasanya sangat mencelanya. Tapi saat itu, sebungkus rokok tak pernah mengubah pendapat apapun tentang Bu Mia. Bu Mia terlalu berharga untuk dinilai dari sudut sebungkus rokok. Padahal aku saat itu masih SD, masih seorang ingusan.

Saat ini aku bukan seorang diplomat, atau seorang eksplorer. Tapi apapun tentang geografi sangat aku sukai. Koleksi bukuku dipenuhi oleh topik dunia, arkeologi, sejarah dan antropologi. Ternyata ajaran itu terpatri sangat dalam di benakku. Hal yang tak pernah aku sesali, bahkan sangat aku syukuri.

Terimakasih banyak Bu Mia! mudah2an aku masih diberi umur untuk bertemu ibu kembali, sekedar hanya untuk berterimakasih. Sesuatu yang tak ingat pernah aku lakukan..

Tuesday, September 08, 2009

Ramadhan di Pesantren (Part: 2)

Setelah buka puasa dilanjutkan dengan sholat tarawih. 23 rakaat. Dan mesjid terasa penuh. Teriakan “AMIN” nya terdengar merdu. Maklum banyak yang jago ngaji. Setelah malam ke 20, setiap hari rakaatnya ditambah 2, jadi 25, 27, 29, dst. Ajeuww! Cangkeul.

Yang paling malas adalah, setelah tarawih dilanjutkan kembali dengan pelajaran ilmu falak. Sampai dengan jam 11 malam. Banyak yang terkantuk-kantuk. Bahkan ada yang tak tahan, ngagoler di pinggir mesjid. Setelah pelajaran selesai kita setengah berlari ke kobong. Tak sabar ingin tidur. Tapi biasanya sebelum tidur pasti ngobrol dulu. Ngobrol segala macem, dan akhirnya tertidur dengan sendirinya.

Waktu sahur, ada yang datang ke tiap-tiap kamar dengan membawa senter, jam beker yang digantung di leher dan lonceng besar yang biasa dipakai kerbau. Yang jadi petugas, biasanya bergantian dari anak kelas 1 dan 2. Tapi biasanya kamar kita sudah pada bangun sebelum petugas itu datang. Oh iya, jangan membayangkan anak kelas 1 dan 2 itu anak-anak semuran SD. Kelas hanya untuk membedakan materi pelajaran. Pesertanya biasanya nyaris sama. Kelas 1 dan 2 biasanya seumuran 1 SMA sampai dengan umur 20an. Sedangkan kelas 3 memang mayoritas sudah berumur dan berkumis. Yang paling muda adalah aku yang saat itu berumur 18-19 tahun, yang lain sekitar 20-30 tahun. Tak sedikit yang sudah menikah.

Setelah sahur dan sholat subuh kita biasanya tidur lagi hehe. Tapi tak jarang diisi pelajaran tambahan. Bangun jam 7, mandi dan nyuci baju. Tempat mandi ada di mata air yang tak terlalu jauh dari pesantren. Mata airnya sangat jernih dan dingin, aku betah berlama-lama disana. Tapi kalau pagi suka banyak yang antri, jadi harus tahu diri. Setelah mandi dilanjutkan pelajaran lagi jam 8 sampai jam 10. Dan jam 10 adalah waktunya bekerja!!!

Ada beberapa pilihan. Dan semuanya sudah pernah aku coba. Yang pertama adalah jadi tukang bangunan. Darul ulum sedang membangun kelas baru, jadi butuh bantuan tenaga bangunan. Berhubung aku gak punya keahlian, aku jadi tukang antar jemput adukan, ember demi ember aku antar dari tempat ngaduk ke bangunan baru. Aku memilih disini, karena aku pikir ini yang paling ringan. Tapi ternyata itu salah! Panas, cape dan tangan pun sukses pareurih. Hiks. Menjelang adzan dzuhur aku menyerah. Ke kamar dan langsung tiduran. Sholat dzuhur pun jadi tak berjamaah. Maafkan.

Besoknya aku ganti ‘pekerjaan’ baru. Aku disuruh ikut ke balong (kolam ikan/empang). Kemarinnya hujan besar. Jadi balong ajengan terkena longsor, dan kita harus mengurasnya. Istilah sundanya mah “nawu”. Kita pergi beramai-ramai pergi sambil bersenda gurau. Tapi langsung ternganga ketika melihat balong itu. Balongnya luas dan hampir seluruhnya tertimbun lumpur. Jadi kita harus menguras lumpur itu. Hiks. Semua disuruh mengambil cangkul/pacul. Aku boro-boro bisa nyangkul, megang aja jarang. Walhasil aku diketawain. Untung aku ada teman, Mang Uus juga sama ternyata. Aku dan Mang Uus diberi singkup/sekop dan harus masuk ke longsoran lumpur. Ternyata si lumpur itu dalem banget. Sepinggang aku. Dengan bergelimang lumpur aku dan Mang Uus menyekop lumpur itu. Dan sumpah, satu sekopan aja sangat beratt!!

Oiya, semua santri membawa satu celana untuk bekerja. Biasanya celana yang agak butut dan penuh tambalan. Tandanya sering dipakai bekerja. Aku gak tahu, tentu saja. Aku hanya membawa dua celana panjang. Satu katun, satu lagi jeans belel andalan. Akhirnya si jeans itu harus rela dijadikan celana bekerja. Celana itu pula yang aku pakai ketika bekerja di balong. Jeans terkena gumpalan lumpur terasa sangat berat tentu saja. Berjalan pulang dilalui dengan susah payah. Langsung saja celana itu aku cuci. Caranya: masih aku pakai, taburi Rinso, dan sikat sekuat tenaga. Untung saja airnya berlimpah ruah jadi tidak susah.

Jenis pekerjaan terakhir, yang akhirnya menjadi pilihan aku seterusnya adalah ke kebon. Ajengan pesantren itu terkenal sebagai petani cikur (kencur) yang sukses. Jadi kebon kencurnya banyak. Kita disuruh merawat dan menyianginya (ngarambet kalo sundanya mah). Sebelum ke kebon aku selalu memakai Autan. Walau biasanya tetap saja ada nyamuk yang kurang ajar sukses membuat bentol. Kerja di kebon ini gak terlalu berat dan yang lebih menyenangkannya lagi, kita bisa heureuy sambil bekerja. Walau heureuy nya gak berhenti, tapi si Mang-Mang ini gak pernah heureuy porno atau yang kelewatan.
Semua pekerjaan ini berakhir hingga waktu dzuhur. Setelah dzuhur kita istirahat, biasanya tidur sih. Dan bangun sebelum adzan ashar, mandi lagi di mata air. Segarrr! Begitu sih kehidupan sehari-harinya.
Hari Jum’at adalah hari libur. Biasanya kita ke kota Ciamis. Kita suka pergi beramai-ramai. Semua berdandan necis, celana katun, baju tangan panjang lengkap dengan peci dan sepatu yang disemir. Semua kecuali aku, yang hanya bercelana jeans belel, kaos oblong dan sandal jepit. Maaf aku bodohnya gak bawa baju rapi. Di kota ciamis kita jalan-jalan, ke pasar, dan sholat jum’at di Mesjid Agung. Kunjungan ke kota itu biasanya aku manfaatkan untuk memborong minuman kemasan, terutama teh kotak dan membeli beberapa jenis Koran dan majalah. Aku haus informasi dunia luar! Haha. Oh iya, dari pesantren ke kota kita naik angkot, dan sebelum naik angkot kita harus melewati hutan dulu. Jadi aku gak mau pulang kesorean, soalnya sieun pas lewat hutan ituh. Naik angkot disini lucu, semua penumpang seolah-olah sudah kenal sesamanya, jadi kita sering ngobrol, topiknya macem-macem. Dari mulai gaya baju aku yang tidak cocok dengan pesantren (ampun!), cara membuat minyak kelapa, sampai ke diskusi penting tidaknya Magic Jar (sumpah seru! Ada yang pro dan kontra segala, dan dimenangkan oleh si ibu guru yang pro Magic Jar! Horre!).

Kejadian yang paling berkesan adalah ketika suatu hari, setelah tarawih, kelas malam hari, kelas 1, 2 dan 3 ditiadakan. Semua berteriak senang!! Tapi kemudian menjadi tidak terlalu senang setelah tahu, kalau sebagai gantinya kita harus ngebut membantu membuang barangkal dari bangunan baru ke ujung jalan yang agak jauh. Semua santri berpasang-pasangan dengan membawa karung bekas. Sialnya aku berpasangan dengan Mang Atang, seorang santri kekar yang memang sangat giat bekerja. Dia adalah orang kepercayaan sang ajengan. Kemana-mana selalu membawa golok alias bedog. Dengan Mang Atang kita harus cepat, bahkan seringkali aku dipaksa berlari sambil menggotong barangkal ituh. Hiks. Akhirnya aku menyerah, dan Mang Atang pun memilih partner lain yang lebih cekatan hihihi.

Pernah suatu waktu Mang Uus mengajak aku buka puasa di luar. Maksudnya di luar Darul Ulum. Untunglah. Aku memang kadang bosan dengan menu si bala-bala dan sayur berjengkol itu. Besok, kita ke Maruki yuk, katanya. OMG, Mang Uus ternyata seleranya ok juga. Dia mengajak aku ke warung makanan Jepang, pikirku. Oh, tak sabar aku menunggu besok. Warung seperti apa Maruki itu. Tapi aku yakin, warung itu tak besar. Aku cukup tahu kota Ciamis. Nenekku kan tinggal disana. Di Ciamis, resto fastfood sejenis California Fried Chicken baru ada sekitar tahun 2002an. Jadi aku tak berharap banyak, yang penting ada goreng udang tepung saja sudah lebih dari cukup.

Akhirnya hari ini datang juga. Sengaja setelah ashar aku sudah menggunakan si jeans belel. Hari itu kebetulan gak ada pelajaran, ajengannya ada perlu. Aku lihat Mang Uus kok belum mandi. Oh, aku pikir mungkin dia bukan tipe orang yang terburu-buru. Tapi kemudian sudah jam 5 sore, dia baru mandi. Ah, alamat telat deh ke Maruki itu. Tapi kemudian setelah jam setengah enam, dia baru mengajak pergi. Aku jadi mulai curiga dengan si warung Maruki ini.
Dan ternyata benar saja. Mang Uus berjalan terus. Bukan ke arah hutan tempat nunggu angkot ke Ciamis. Ternyata jaraknya tak jauh. Dia berhenti di sebuah warung merangkap rumah panggung sederhana. Dan saat itu juga aku sadar, Maruki bukanlah warung masakan jepang. Maruki tak lain adalah Mak Ruki, nama pemilik warung nasi. Hiks. Selamat tinggal udang goreng tepung! Menunya memang lebih beragam, ada jengkol goreng, ikan mas goreng dan perkedel. Aku pun makan cukup hanya dengan perkedel saja. Aku mengutuk diriku sendiri, kenapa menerjemahkan Maruki sebagai restoran Jepang, hehe bodoh.

Tak terasa 28 hari telah berlalu. Pengalaman di pesantren ini tak akan pernah aku lupakan. Kebersahajaan hidup di kobong merupakan sebuah pengalaman baru buatku. Andai saja Mang Endang dan Mang Uus punya Facebook. Tapi tampaknya tak mungkin. Kalaupun iya, aku tak pernah tau nama lengkap mereka. Mungkin suatu saat aku akan kembali mengunjungi Petir. Mengunjungi Darul Ulum tercinta.

Monday, September 07, 2009

Ramadhan di Pesantren (Part: 1)

Dulu. Jaman kuliah sekitar tahun 1997-1998. Saat itu libur kuliah berbarengan dengan bulan Ramadhan. Entah kenapa aku tiba-tiba memutuskan untuk mencoba kehidupan Pesantren. Aku mencoba keras untuk mengingat-ingat alasan apa yang membuat aku mengambil keputusan itu. Tapi tak pernah berhasil.

Tabungan aku bongkar. Ada sekitar 1 juta. Saat itu terasa sangat besar. Maklum belum jaman krismon. Dollar masih sekitar 4000-5000an. Aku minta bantuan Yedi, teman kuliahku yang asli Ciamis untuk membantu aku mencari pesantren yang cocok di Ciamis. Sengaja aku memilih yang jauh dari Bandung. Aku gak ingin cepat pulang kalau merasa gak betah. Untungnya Yedi memutuskan untuk ikut pesantren bareng aku.

Ada dua pesantren yang aku kunjungi. Yang pertama di daerah Nangewer. Mata pencaharian pesantren itu dari budidaya ikan tawar. Jadi pesantrennya bau amis dan berserakan sisik ikan. Aku agak jijik, tapi aku sudah pasrah, dimanapun pesantren yang dipilih aku akan tinggal disana. Pilihan kedua adalah Pesantren Darul Ulum di desa Petir (sekitar Baregbeg). Secara tampilan bersih, walau tetap saja kesan ‘desa’nya terasa, karena memang agak jauh kok akses transportasi umum. Aku langsung memutuskan memilih pesantren ini. Apalagi pesantren ini memiliki program materi singkat khusus Ramadhan.
Setelah meminta izin kepada pimpinan pondok pesantren yang ternyata uwaknya Yedi, aku pun membayar biaya pendaftaran, yang terdiri atas iuran listrik sebulan, biaya kebersihan asrama (biasa disebut kobong dalam bahasa sunda), dan sumbangan sukarela, yang totalnya berjumlah Rp 10.000,- ya, betul hanya sepuluh ribu saja untuk satu bulan hehe.

Aku langsung pulang ke rumah Yedi, karena memang baju dan perlengkapan lainnya tidak langsung aku bawa saat itu. Keeseokan harinya aku pergi sendiri ke pesantren. Yedi akhirnya tak jadi ikut, dia sakit herpes. Nyaliku langsut ciut. Pesantren itu terlihat sangat menakutkan kalau dikunjungi sendirian ternyata. Aku takut gak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan pesantren. Bayangan harus menulis dan mengaji dengan arab gundul membuat aku berkeringat cemas.

Oleh Mang Agus, pengurus pesantren itu, aku ditempatkan di kobong baru. Satu kamar ditempati oleh tiga orang. Teman sekamar aku adalah Mang Endang dari Manonjaya dan Mang Uus dari Bogor. Aku baru tahu kalau bulan Ramadhan pesantren dipenuhi banyak santri kalong. Artinya santri yang belajar di pesantren lain yang jauh dari pesantren asalnya. Hal itu membuat aku lega. Oh iya, di Darul Ulum ini sebutan antar santri adalah Mang, jadi gak peduli lebih muda ataupun lebih tua, sebutannya Mang. Jadi akupun dipanggil Mang Dodi.

Mang Endang sekitar 8 tahun lebih tua dibanding aku, sedang Mang Uus tiga tahun diatas aku. Mereka sangat baik. Tidak sulit beradaptasi dengan mereka. Pelajaran dimulai ba’da Ashar. Aku memilih ditempatkan di kelas 3. Kelas paling senior. Bukan berarti aku sudah menguasai pelajaran kelas 1 dan 2. Kelas 3 aku pilih karena materinya—aku pikir—gak terlalu menakutkan. Materi yang aku pilih adalah ilmu falaq, semacam ilmu perbintangan yang mengajarkan kita cara hisab dan menentukan penanggalan kalender. Sebetulnya ada lagi materi ilmu waris, tapi aku gak ikut, alasannya sekali lagi adalah si arab gundul itu. Kalo ilmu falaq entar kan pake angka, pikirku.

Bada ashar dimulai pelajaran penentuan kalender. Tidak terlalu sulit aku ikuti. Aku bayangkan materi ini hampir mirip dengan pelajaran geografi dan matematika. Hambatannya adalah belajar huruf yang ternyata tidak menggunakan angka arab, tapi pake huruf hijaiyyah yg tak berurutan, seperti misalnya 1=ba, 2=jim dsb. Aku terpaksa membuat paririmbon dadakan. Hambatan lainnya adalah bahasa sunda! Ya, walaupun aku menggunakan bahasa sunda di percakapan sehari-hari, tapi ternyata ada yang terdengar asing di telinga aku, seperti: akay-ukuy (maju sambil jongkok), maracacalan (cerai berai) hahaha.

Selain materi yang harus aku hadapi. Tatacara kehidupan pun harus aku sesuaikan. Disana sehari-hari memakai kain sarung, kecuali kalau bekerja ke kebun atau ke balong (kolam ikan), atasan sih bebas, mau kemeja atau kaos. Tentunya aku memilih kaos saja. Peci biasa dipakai juga, terutama kalau sholat. Tapi kalaupun gak pake juga gak apa-apa. Selain itu aku harus membiasakan kencing jongkok. Kalau kencing sambil berdiri pasti ditegur. Lagian aneh memang, kalau kita kencing berdiri tapi pake sarung. Rasanya seperti pake rok yang nyingsat hehe.

Pelajaran ba’da ashar, berakhir sekitar jam 17.30. Setelah itu waktunya bebas sambil menunggu bedug maghrib. Setelah tiba waktu maghrib biasanya kita takjil di mesjid yang ada di tengah2 pesantren. Menu takjil disediakan ibu-ibu sekitar pesantren. Tapi jangan samakan dengan di mesjid deket rumah di Bandung yang kuantitas dan kualitasnya beragam. Yang ada biasanya pepaya dan pisang rebus (disini aku nyoba pepaya rebus untuk pertama kali—dan rasanya..aneh haha). Tapi yang paling sering adalah jondos alias kejo rendos. Nasi ditambahkan garam kemudian ditumbuk menyerupai lemper. Pas pertama kali aku pikir dalemnya bakalan ada daging. Harapan yang sia-sia. Hehe.

Setelah takjil dilanjutkan dengan maghrib berjamaah, dan buka puasa! Di Darul Ulum ada satu kantin yang menjadi tempat makan satu-satunya. Kantin ini menyediakan masakan yang dimasak ibu ajengan, tidak menerima order. Dan selama aku disana, menu yang disajikan tidak berubah, yaitu, nasi putih, sayur kacang atau sayur asem, dan….bala-bala favorit aku! Baik sahur maupun buka puasa. Tapi pernah juga, sekali, si ibu masak daging ayam, walau agak liat tapi menjadi selingan yang terasa sangat mewah. Yang agak unik (menyebalkan tepatnya!), sayur kacang dan sayur asem itu suka ditambahkan irisan kecil jengkol! Walhasil wc pun dengan sukses bau hangseur jengkol.
Harga satu kali makan adalah ….. 250! Ya betul: dua ratus lima puluh rupiah sajah! Nasi bebas, mau segimana, asalkan diambil sekali saja. Kalau nambah, mau satu kali, dua kali, terserah, dikenai charge tambahan 50 rupiah, jadi total 300 rupiah. Kalau sama daging ayam, yang cuma sekali itu, satu kali makan 500 rupiah. Walau jadul, harga ini sumpah terasa sangat murah! Menu KFC satu ayam satu nasi dan minuman, saat itu kurang lebih 18.000 kok.

Walau murah, tapi saat itu cukup banyak kok yang ngutang. Biasanya mereka rajin sendiri nulis di buku yang sudah disediakan. Selagi kita berbuka puasa, biasanya banyak anak-anak berebut nakol bedug. Dan baru berhenti setelah ada santri yang keluar dan teriak: KU AING DI LEGLEG SIAH! TEU NYAHO SANGU NA TIKORO KENEH IEU TEH!

Friday, September 04, 2009

Si Misfalah


Aku lupa tepatnya tahun berapa aku membeli baju ini. Yang aku ingat, aku membeli baju ini sama Pebe, yang kala itu berjualan baju muslim.

Aku memilih baju ini karena memang tidak ada cocok (tepatnya: muat). Malah sebenarnya baju ini kepanjangan di bagian tangan, tapi bisa diakalin sama si Amih dengan cara digunting dan dijahit kembali.

Baju ini mereknya: Misfalah. Modelnya pun tidak istimewa2 banget. Standar baju koko, ada bordir etnik di bagian leher dan bagian kancing. Tapi yang aku suka adalah, baju ini nyaman. Tidak panas, padahal harganya gak mahal, sekitar 50 ribu, aku agak lupa. Dan yang paling istimewa, baju ini tidak pernah terasa sempit. Padahal, tentu saja badan ini perlahan tapi pasti bertambah angka kiloannya. Disaat baju yang lain “berguguran”, baju ini tetap aku pakai sampai detik ini.

Aku putuskan untuk membawa baju ini ke perjalanan haji dua tahun yang lalu. Dan, guess what? Ternyata sewaktu aku di Mekkah, aku menginap di daerah Misfalah!! Baju ini ternyata “pulang kampung” hehehe..

*maaf yah si Misfalahnya kuleuheu, abisnya bekas make hehe