Monday, December 19, 2016

Cerita Kelahiran (2)

Setelah lahiran, tibalah waktu penyembuhan dan orang-orang datang nengok. Seneng banget soalnya banyak temen dan banyak kado (hehehe). Walau harus menceritakan hal yang sama berulang kali, rasanya kok ya gak keberatan.

Alhamdulillah pula bayinya sehat dan aku gak canggung untuk memangku bayi yang masih kecil itu. Aku suka memangku anak kecil, tapi kalau bayi baru lahir aku sangat tak bisa. Khawatir ringkih. Tapi ternyata beda kalau anak sendiri. Mau gak mau tetap saja harus mau. Masa-masa di rawat itu masa bahagia. Segala dilayani, kalau bayi nangis tinggal panggil suster. Kalau gak ngerti cara ganti popok tinggal panggil suster. Isteri gak bisa ngasih nenen juga diajarin suster, Jadi enak banget.

Tapi masa itu cuma seminggu. Tibalah waktu pulang. Tapi sayangnya si bayi tapi bisa kami bawa pulang. Bayi menderita infeksi dan juga kuning. Jadi harus dirawat. Tiba-tiba saja masa indah di ruang rawat hilang musnah. Bayi harus dirawat di ruang khusus dan tak boleh ditunggui, bahkan oleh ibunya sekalipun. Ibu harus standby di luar dan harus menyediakan ASI kapanpun dibutuhkan.

Kondisi itu membuat isteriku stress. Ruang tunggunya di luar bersama dengan ibu lain dan penunggu pasien. Kalau dalam kondisi normal mungkin akan nyaman. Tapi isteriku masih menahan luka caesar yang belum kering. Aku pun mengusahakan ruang rawat bagi isteriku. Tapi kebijakan di rumah sakit ini tak mengizinkan ibu yang menunggui bayi tinggal di ruang VIP. Hanya boleh di kelas 3, itu pun dengan catatan kalau ada yang kosong. Aku harus hilir mudik ke bagian pendaftaran sambil menghibur isteriku yang senantiasa menangis. Belum lagi dalam waktu yang relatif singkat isteriku harus menyediakan ASI, Menyusui secara langsung pun isteriku masih belajar, ini harus dipaksa bisa menghasilkan ASI dengan menggunakan alat pompa, ditambah stress memikirkan kondisi bayi. Pfiuhh.. aku dituntut kuat fisik dan waras menghadapi semua ini. Kita tak boleh ikut sedih,

Akhirnya kami mendapatkan tempat di kelas 3, dengan pasien sebelah merintih akan melahirkan. Tempat tidur pun tinggi tak bisa diturun naikkan. menyiksa untuk isteriku yang menahan sakit. Kondisi ini diperparah dengan perawat yang kurang ramah. Kalimat sedikit pun bisa mengubah mood isteri. Isteriku sedih ketika suster bilang: "Kalau ASI segini tak akan cukup buat bayi". Normal sih.. tapi menyakitkan untuk isteriku yang sedang sensitif, dan berjuang memeras ASI yang memang sedikit.

Isteriku tak betah di kamar tersebut. Dan menyedihkan memang karena, sebentar-sebentar dia dipanggil untuk menyusui bayi. Belum lagi pompa listrik yang jumlahnya terbatas. Kubeli pompa manual yang ternyata tak bisa kami gunakan. Kondisi psikisnya sangat menurun. Sampai akhirnya aku harus mengambil keputusan. Aku tahu dia sedih karena tak bisa menghasilkan ASI padahal dia sangat ingin memberi ASI dan tak ingin memberi susu formula. Aku mengambil keputusan untuk tak apa memberi susu formula kepada bayiku. Kutenangkan isteriku, dan kuhibur dia agar tak selalu menyalahkan dirinya. Akhirnya kami pulang.

Saat itu jam 12 malam. Kami sampai rumah, isteriku lebih tenang. Terlihat dari roman mukanya. Kasihan sekali isteriku ini. Sambil ngobrol dan saling menguatkan, Aku googling cara menggunakan pompa ASI yang benar, dan dengan kondisi yang jauh lebih santai kami mencoba kembali. ASI mengucur deras melalui pompa itu. Syukur Alhamdulillah tak terkira. Baru kulihat kembali senyum isteriku. Akhirnya stok ASI melimpah, secara periodik ku kirim ke rumah sakit. Setiap kunjungan kusempatkan melihat bayi dan merekamnya lalu kukirimkan ke handphone isteriku.

Alhamdulillah 5 hari kemudian bayi bisa pulang dan berkumpul bersama kami di rumah. Lalu apakah perjuangan berhenti di sini? Oh nooooo. Hahaha.. masih jauh dari berakhir. Perjuangan kesabaran sang ayah baru masih berjalan terus. Kami terus belajar tentang hal-hal kecil dan hal besar. Dari mengganti popok, memandikan, menidurkan, menggunting kuku dan lain sebagainya. Dann... selain urusan bayi, urusan lainnya yang sebelumnya berjalan pun tetap berlangsung. Artinya kita harus mencuci pakaian, aku pun harus tetap bekerja.

PR Paling besar kala itu adalah menidurkan bayi. Kami seringkali kelelahan di malam hari tapi si bayi tetap tak mau tidur. Disimpan di tempat tidur pun menangis. Kami bergantian, dibantu ibu mertua dan tetap saja kelelahan. Seringkali bayi tidur jam 2an. Besoknya harus ke kantor lagi. Aku pernah tidur di mobil di parkiran kantor saking gak kuatnya hehe.

Browsing di internet pun seringkali membingungkan dan tak berguna sama sekali. Akhirnya kami pun tanya sana sini dan mencoba. Syukurlah masalah demi masalah berhasil kami atasi. Segala sesuatu itu memang harus ada pembiasaan kali ya. Belum lagi permasalahan luka caesar isteri yang tak kunjung kering.

Sekarang bayi sudah 8 bulan. Walau usianya muda, tapi benar-benar memberi banyak pelajaran buat kami. Oiya.. tampaknya masalah memang tak akan berakhir.. tapi jangan khawatir bapak ibu, itu memang resiko orang hidup ya hehe. Dan jangan khawatir.. hari demi hari juga tak melulu masalah kok, kebahagiaan pun Alhamdulillah tak kunjung berakhir.

Para ayah baru.. siapkan mental dan selalu mencoba memahami isteri. Haiyah sok banget ya, baru 8 bulan jadi ayah aja udah sok ngajarin Hahaha. Maaf ya tak ada maksud. Tapi beneran harus sensitif memahami naik turunnya mood isteri. Walau terus terang memang susah. Yah namanya juga perempuan. Hahahaha...

Sekian dulu yah sharing aku.
Terima kasih sudah menyimak.
Oiya bayi itu bernama Manggala Utomo Ilyasa Purwana.

Cerita Kelahiran (1)


Wow.. postingan terakhir aku tanggal 31 Maret! Dengan cerita yang seperti menggantung. Ckckck... maafkan ya..


Begini lanjutannya.. Dari postingan terakhir, 19 hari kemudian. Tepatnya tanggal 19 April, anakku lahir ke dunia. Di sinilah perjuangan aku sebagai suami sekaligus bapak mulai diuji. Sudah sekian lama ingin menulis ini, tapi selalu tak jadi. Ah sudahlah.. jangan tanya alasannya ya. Takdirnya memang sudah begitu.


Sengaja kutulis ini untuk jadi gambaran untuk saudara seperjuangan, calon bapak, calon ayah. Tapi bukan maksud ngajarin juga ya. At least, ini yang aku alamin.


Perjuangan dimulai ketika isteri mulai mules. Saat itu belum terlalu pusing, karena kami sudah menyiapkan dan memesan tempat persalinan jauh-jauh hari, Jadi tinggal bawa ke rumah sakit bersalin. Beres.

Tapi ternyata yang disediakan rumah sakit hanya tempat, peralatan, dokter, perawat. Yang nemenin isteri harus kita sendiri (ya iya lah hahaha). Mulai detik inilah calon bapak harus menyiapkan fisik dan mental. Kita harus menghibur isteri yang sedang kesakitan, menjawab pertanyaannya, seabsurd apapun, dan mengabulkan permintaanya. Terdengar simpel ya.. tapi coba bayangkan, isteri minta ditemani, gak boleh ditinggal sebentar pun, tapi juga dia minta dibawakan baju di rumah. Itu contohnya. Siapkan stok sabar sebanyak mungkin.


Isteri ke rumah sakit jam 9 pagi. Niatnya buat periksa dokter karena diare. Tapi ternyata setelah diperiksa hasilnya malah sudah bukaan. Bukaan tiga dan belum ada mules. Jadi gak ada yang bisa dilakukan, cuma menunggu. Tapi jangan salah menunggu itu butuh energi. Cemas, bosan, sekaligus excited. Tapi cobaan yang paling berat dari seorang calon ayah, menurutku adalah, harus mengambil keputusan. Dalam waktu singkat kita harus siap dengan jawaban kalau ditanya dokter. Apalagi kalau kita tidak dibekali banyak pengetahuan. Yang ada malah deg-degan.


Tiba-tiba saja kita diinformasikan, DJJ saat ini tinggi, Jadi menurut dokter belum bisa dikasih obat biar mules. Kalau DJJ sudah normal, apakah bapak setuju diberi obat mules? Belum juga aku bisa mencerna apa itu DJJ, berlembar-lembar formulir sudah disodorkan untuk ditandatangani. Aku pun lantas setuju setelah bertanya prosedur standarnya seperti apa. Setelah itu, sambil menemani isteri, aku googling apa itu DJJ yang ternyata adalah Detak Jantung Janin, dan angka normalnya adalah 120-160. Kalau di luar interval itu dalam waktu yang lama akan berbahaya. Oiya, jadi selain fisik dan mental, pastikan juga handphone kita gak low batt dan terisi paket data hehe.


Setelah tahu itu, tugasku kemudian adalah menatap monitor DJJ. Sampai akhirnya setelah DJJ normal, isteriku diberi obat induksi. Di sana lah rasa mulas menghebat. Kita dituntut berdoa, menghibur, sambil dicakar dan diremas-remas untk waktu yang sangat lama. Rasa cemas meningkat level demi level. Kita tak boleh panik, tak ada waktu untuk menunjukan rasa khawatir. Kita harus terlihat kuat agar isteri kita ikut kuat. Itu yang berat. Setiap dosis obat yang akan diberikan, dokter akan meminta persetujuan kita dan kembali disodorkan berlembar-lembar formulir. Kita menjadi ragu apakah tindakan yang kita ambil sudah benar.


Tapi tak ada waktu untuk ragu. Kutorehkan tanda tangan sambil membaca basmalah. Untungnya aku ditemani ibu mertua, jadi bisa gantian sebentar untuk sholat. Walau akhirnya ibu mertua tak kuat. Jadi memang harus aku yang menemaninya. Kami kemudian menunggu angka bukaan yang seolah berjalan sangat lambat, dari 4 kemudian 4,5 kemudian 5 memakan waktu sangat lama. Sampai akhirnya tibalah waktu mengejan. Kita ikut menyemangati dan berdoa. Momen itu serasa sangat menegangkan, sambil mata kembali melihat angka DJJ.


Takdir berkata lain. Jabang bayi tak bisa keluar. Hanya terlihat sebagian kecil kepalanya. Oiya untuk melihat liang lahir pun dibutuhkan keberanian lho. DJJ mulai melemah, sampai akhirnya dokter memutuskan untuk operasi sectio. Isteri dibawa masuk ke ruangan. Aku tak boleh masuk. Saat itulah kemudian fisik terasa lemas. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali menunggu dan berdo'a. Sambil menunggu pun berlembar formulir harus kubaca dan kusetujui.


Alhamdulillah setengah jam kemudian bayi keluar dan disimpan di dalam box khusus. Dokter anak langsung datang dan bilang kalau bayinya gak langsung menangis, ada kemungkinan infeksi jadi akan dilakukan serangkaian tes. Terus terang pernyataan itu membuat aku menangis. Melihat si bayi membuat perasaanku lebih baik. Oh.. ini ya perasaan melihat anak sendiri untuk pertama kali.. Bayi yang paling indah sejagad raya. Membisikan adzan ditelinganya pun ternyata bukan hal mudah. Bercampur aduk rasa haru dan cemas. Tapi saat itu memang waktu yang tepat untuk bersyukur dan mengembalikan segalanya pada Alloh SWT.


Isteriku kemudian keluar dari ruangan operasi dengan masih terpengaruh obat bius. Aku tak menceritakan tentang kondisi bayi. Nanti saja lah setelah dia sepenuhnya pulih. Setelah menunggu satu jam dia pun bisa masuk ke ruangan rawat, sedangkan si bayi ditempatkan di ruang khusus.


Aku merasa sangat lelah sekali dan sangat lapar. Setelah memastikan semuanya baik, aku meminta izin isteriku untuk mencari makan. Hari sudah malam sekitar jam 21:30. Anehnya aku tak berminat mencari makanan sekitar rumah sakit. Aku malah naik taksi ke jalan Braga demi mencari secangkir cokelat di Starbucks. Hahaha.