Thursday, February 23, 2006

Orangtua Tidak Sama Dengan Anak-Anak

Kemarin di koran, mataku tertuju pada artikel di halaman utama tentang seorang anak yang dipenjara. Anak itu namanya Raju yang sekarang dipenjara dan sedang menjalani proses pengadilan gara-gara dia berkelahi dengan anak lain. Seperti layaknya orang berkelahi, kedua anak tersebut luka-luka "biasa". Orangtua si anak marah dan melaporkannya ke kepolisian diteruskan ke pengadilan.
Setelah aku pulang kerumah, kebetulan pula di Metro TV sedang ada wawancara dengan anak malang itu beserta kedua orangtuanya. Orangtuanya sangat ramah, bahkan terlihat sangat santun mengingat mereka telah mengalami kejadian pahit yang penuh ketidakadilan. Yang paling menyedihkan adalah reaksi Raju ketika reporter menyebut kata pengadilan yang sontak membuat dia ketakutan dan menangis.
Gosh, ada apa dengan dunia ini. Apakah orangtua sudah mulai bodoh sehingga tidak dapat lagi melihat sesuatu dengan jernih dan tidak lagi menyempatkan bertanya pada nurani dan logikanya. Atau nurani dan logikanya sudah musnah. Orangtua, hakim, polisi, apakah mereka tak lagi melihat dengan benar apa yang dihadapannya. The hell dengan umur. Harusnya mereka tak melihat apakah anak itu delapan tahun atau sepuluh atau whatever. Mereka tetaplah anak-anak.
Aku masih ingat dulu aku pernah marah ketika Yadi, anak pembantu favoritku, Sari datang kerumah sambil menangis dengan pipi berdarah. Setelah aku liat di pipinya terlihat bekas gigitan yang dalem. Ternyata dia digigit si Ramdhan, anak nakal temen mainnya. Aku saat itu marah, dan pingin jitak anak itu. Tapi aku masih sadar bahwa mereka anak-anak yang harus dinasehati bukan disakiti. Besoknya mereka ternyata sudah akrab lagi, walau luka di pipi Yadi belum sembuh.
Think!

Friday, February 17, 2006

Dokter Gigi


Aku barusan banget pulang dari dokter gigi. Ya, akhirnya dokter gigi favoritku ke Bandung lagi. Kok harus nunggu gitu? Iya, soalnya sudah berbulan2 dia dapet tugas di Kupang, dan sejak tanggal 15 Februari kemarin dia mampir dulu kesini. Niatnya sih kemarin2 cuman hujan deras mengurungkan niatku.Dari dokter gigi kok tampak girang gitu, sih. Benar, dokter gigi merupakan komponen penting dalam hidupku.
Dimulai dari pengalaman pertama ketika kelas 3 SMP, aku sampai harus pulang dari kelas, soalnya gigiku benar2 sakit waktu itu. Aku langsung dianter ibuku ke klinik gigi di kelurahan. Dokternya sangat cantik. Tapi kesan itu segera berubah pada detik pertama aku masuk ke ruangannya. Aku dimarahin karena dicurigai gak pernah gosok gigi. Yey, pasti dokter itu pasti gak tau asas praduga tak bersalah! Langsung aku dikasih diobat, dan langsung pula aku berniat tak akan datang lagi kesana. Bahkan ibuku yang tegas, mendukung aku.
Bulan berikutnya aku dianter Candra temenku ke dokter gigi, kali ini gigiku gak sakit2 amat, tapi tau ada bolongnya. Aku gak mau lagi ke klinik itu, jadi ke puskesmas deket rumah aja. Eh, sialnya ternyata dokternya sama aja. Si dokter gigi cantik nan kejam itu. Si dokter gigi ini sambil ngebor gigiku tangannya yang satu lagi suka neken jidatku, mungkin dia pikir jidatku meja belajar. Sial memang.
Setelah SMA aku akhirnya kapok ke klinik negeri maupun puskesmas untuk urusan gigi geligi. Aku memutuskan ke dokter gigi yang cukup terkenal kala itu, Drg. Gantini di Jl. Gegerkalong. Aduh dokter ini sangat lemah lembut dan telaten. Kalo meriksa gigi kita suka sambil nyetel musik klasik. Damai dan gak bikin takut. Cuman untuk mendapatkan layanan istimewa ini kita harus rela ngantri lama. Sering kita ngantri jam 6 baru diperiksa jam 9 malem. Selain itu ongkosnya juga mahal, 60rb sekali periksa, padahal harus 6x kalo mau tuntas. Bandingkan dengan uang sekolahku kala itu yang cuma enam ribu. Tapi harga mahal itu sangat wajar. Tambalan dokter itu sampai sekarang masih kuat menempel di gigiku. Sudah 14 tahun bo!
Jaman kuliah aku gak mau ke yang mahal2, tapi gak mau juga ke puskesmas. Maka aku memutuskan ke DKG (Dinas Kesehatan Gigi) di Jl. Riau. Aku sering kesana pagi2 bareng Candra, naek bis kota. Sebenarnya dia juga diperiksa, tapi baru sekali kemudian mandeg, gak mau nerusin. Dia ketakutan, he..he.. Disini lengkap dan murah meriah, asal jangan kesiangan aja. Soalnya pasti ngantri. Pulangnya suka kita terusin jalan2 ke BIP. Sayang, hasilnya gak bagus. Tiga tahun yang lalu tambalannya membusuk dan mengakibatkan gigiku infeksi.
Tahun 2002 merupakan tahun revolusi bagi gigiku. Tiga buah gigi seriku harus kurelakan gara2 kecelakaan. Aku ditolak dua rumah sakit, sebelum aku masuk ke UGD Hasan Sadikin. Disana aku diputuskan dibedah. Gigiku yang patah harus dicabut. Setelah melalui operasi yang lumayan lama dan menyakitkan akhirnya 2 gigiku dicabut, satu sudah patah di lokasi kecelakaan, dua lagi bisa diselamatkan. Tapi sial, besoknya jahitan operasi aku harus dibongkar. Dokter Kepala Bagian Gigi sampai menghampiriku dan meminta aku menandatangan surat perjanjian tidak akan menuntut. Ternyata satu gigi yang patah di lokasi kecelakaan itu, akarnya ketinggalan, jadi mau gak mau harus dicabut. Oh, gosh, operasi yang kedua ini kalo inget bikin merinding, jauh lebih sakit dibanding yang pertama. Setelah operasi, berminggu2 kemudian aku harus makan bubur gandum dan menahan sakit kalo reaksi obatnya habis.
Setelah operasi itu, atas saran Inge, sahabatku yang dokter gigi, aku disuruh bikin gigi palsu ke Drg. Abrup --itu cuma panggilan--alias Drg. Bambang Aries Purbawanto, dulu prakteknya di Simpang Dago. Dari pertama aku kesana aku udah sangat senang. Dokternya friendly dan pinter, dia menerangkan secara gamblang dan logis kondisi gigiku. Sepintas wajahnya mirip iklan apa ya, itu lho yang nyanyi Nina bobo tapi fals dan bikin bayi nangis, tapi kata Inge mirip Taufik Savalas he..(ampun, dok). Sudah mau lima tahun sampai sekarang aku cuma mau diperiksa dokter ini. Sebelum periksa pasti dia tanya soal handphonenya dulu, dari mulai settingan sampai kondisi sinyal, sebagai customer service tentunya aku gak keberatan. Makanya aku kemarin rela nganter Herty, temenku buat periksain giginya ke dokterku itu. Tapi sayangnya dia belum siap. Ok deh aku tungguin, kok.
Menurut pengalamanku, bener deh, yang namanya sakit gigi itu gak ada cara lain buat menuntaskannya selain ke dokter gigi, dan jangan tunggu sakit. Percayalah, ketahuan lebih cepet sumber sakitnya akan jauh lebih baik. Aku gak mau bohong bilang gak akan sakit, tapi gak ada cara lain selain menghadapinya. Dan akan lebih mudah menghadapinya dengan bantuan Drg. Bambang Aries. (bukan iklan)Beliau sekarang praktek di Jalan Sulanjana 11, lantai 2. Thanks a lot, dok!

Monday, February 06, 2006

Buku Sunda

Setelah melalui perjalanan panjang yang hectic kemarin Minggu --dari mulai ke ondangan lelet sampai beli handuk di samiaji-- aku putuskan pergi ke Pesta buku di Landmark untuk kedua kalinya. Kali ini aku bareng Pa To. Perjalananku menelusuri lorong-lorong booth pameran sekarang lebih nyaman, gak buru-buru, tapi lebih panas. Soalnya pengunjung penuh banget.
Buku pertama yang aku beli adalah satu set Lord of The Rings di tempatnya Gramedia, setelah kelalang keliling, ku putuskan untuk membeli buku Sex Slave, buku tentang perdagangan wanita di Asia. Berikutnya dalam perjalanan pulang secara gak sengaja aku nemu stand buku sunda, dan disana pulalah aku menemukan buku berjudul Nyi Halimah.
Buku ini karangan Samsoedi, pengarang favoritku. Buku Samsoedi yang pertama kali aku baca adalah buku teks bahasa Sunda untuk murid SD bertajuk "Pamekar Basa", sebenarnya buku ini gak pernah aku pake di sekolah dulu, yang pake malah kakak2ku. Tapi walah kita2 udah gede sampai sekarang, buku ini tetap masih favorit kita semua. Tokoh buku ini adalah tiga bersaudara Isah, Aman dan Ade. Mereka bertiga anak mantri pasar di Cicalengka. Kalo ngeliat tahun pembuatan bukunya, buku ini bersetting sekitar tahun 50-an. Buku ini sangat menarik, karena bagi kita membaca buku ini seperti nostaliga ke masa dimana udara masih bersih, penuh semangat, kekeluargaan dan ceria. Buku ini pun dilengkapi gambar-gambar yang sangat menawan. Koleksi Pamekar Basa punyaku sebtulnya dulu lengkap, tapi sekarang hilang gara-gara dipake kakakku ngajarin pacarnya (sekarang kakak iparku) berbahasa Sunda, soalnya dia orang Cirebon. Huh! Sayang banget.
Setelah itu aku coba mengumpulkan semua buku karangan Samsoedi. Beliau mengkhususkan karyanya untuk cerita anak2. Walaupun sebenarnya kalau dibaca, buku ini agak berat untuk anak2. Ciri khas Samsoedi adalah tokohnya menderita diawal cerita, sangat menderita sampai aku sedih banget baca kisahnya tapi berkat kegighan dan kejujuran nasibnya kemudian berubah. Sama halnya dengan buku si Nyi Halimah ini dijamin bikin berurai air mata.
Buku Samsoedi lainnya yang aku punya memang belum banyak sih, seperti Jatining Sobat, Budak Teuneung, Babalik Pikir dan apalagi ya judulnya aku lupa.
Kangen banget aku nunggu judul yang lainnya...

Friday, February 03, 2006

Banyak Kaset

Suatu hari di mall aku denger lagunya Impossible Dream yang dinyanyikan Luther Vandross. Aduh pingin banget aku ke rumah dan mendengarkan kasetnya. Sebetulnya banyak banget koleksi kaset aku yang udah jarang aku puter sehubungan sudah tidak modenya lagi tape recorder sekarang ini.
Kaset itu aku kumpulin sejak dulu kala, ketika masih jaman ABG. Aku sekolah SMP di kawasan Setiabudhi, Bandung. Didepannya teronggok supermarket favoritku yang masih bertahan sampai dengan detik ini, Borobudur, sekarang berubah nama menjadi Borma. Disana pula aku membeli kaset dengan uangku sendiri untuk pertama kali. Kaset Michael Bolton, Time, Love and Tenderness. Sedangkan kaset yang terakhir kali aku beli adalah TLC The Best sekitar tahun laluan lah.
Koleksi kasetku berangsur bertambah, malah sempet berkurang ketika kost-anku di Jatinangor kemasukan maling. Masa sih maling bodoh itu, nyuri nya pilih2. Dia cuma maling baju lebaranku (umurnya baru 2 hari saja), sweater (dipilih yang warna merah), parfum drakkar (ya oloh jadul banget), 2 buah kaset Michael Bolton, dan satu kaset Luther Vandross. Menyebalkan! Sudahlah, kan aku mau cerita tentang kaset bukan soal maling 10 tahun lalu itu.
Sekarang kaset itu seringkali nganggur di laci lemariku. Kalo dibawa kemana2 aku gak punya walkman, mau diputer di kantor harus ada tapenya. Ada sih tape di ruanganku, cuman letaknya jauh, kan ngeganggu orang lain. Ingin sekali seabreg kasetku itu di-digitalkan biar bisa masuk ke i-pod.
Diantara sekian banyak kaset yang aku punya, 2 kaset ini nih yang pingiiiiiin banget aku pindahin ke i-pod.

Luther Vandross. Songs. Beuh, kaset ini keren banget. Pertamanya aku suka kaset ini gara2 lagu "Endless Love" yang dinyanyiin bareng Mariah Carey. Jadi dulu, pas kelas 3 SMA dulu, aku minjem kasetnya sama Dietce (hello!), temenku. Kaset itu sampai giliran dipinjemin segenap murid 3fis1. Isinya lagu-lagu lama yang dinyanyiin kembali sama om Luther. Ada Killing Me Softly, Impossible Dream, All The Woman I Need (aslinya berjudul All The Man That I Need lagunya Whitney Houston). Sumpah keren!

Alejandro Sanz. El Alma Al Aire. Kaset ini obat dikala sedih dan lara (hikhikhik--sedih). Walau single utamanya "Hardest Day" dinyanyikan bareng The Corrs, tapi aku lebih suka versi solonya. Suaranya berat dan sangat latin. Lagu yang gak pernah gagal menghiburku adalah "Cuando Nadie Me Ve".


Ada yang bisa bantu..hik..hik..

Bulky Feeling

Boring... so much boring things crawling in my mind. So desperate to let go.
Anger, turbulence, foggy mind. Upset with cage that impossibbly changed.
Foolish ignorance, tasteless smiles, idiotic gestures.

bladi blada yabada yabida bla bla bla
Goshh....