Thursday, December 31, 2009

2009: WhatAYear!

Tak terasa hari ini adalah hari terakhir di tahun 2009. Tahun yang mengagumkan penuh rangkaian cerita dan kejadian. Setelah dijalani waktu setahun ternyata serasa tak lama. Namun, sepertinya tidak mungkin merangkum peristiwa demi peristiwa satu tahun dalam satu judul cerita. Aku hanya coba mengingat kejadian yang fenomenal yang terjadi di tahun ini.

Kota Baru
. 01-01-09.Tahun 2009 aku mulai di kota selain Bandung. Aku mulai di kota Medan. Tepatnya di sebuah kamar di hotel Tyara. Tahun ini aku awali dengan tantangan baru. Aku dimutasi ke Call Center Medan. Ini bukan kali pertama aku ke Medan, bahkan aku sudah tiga kali ke kota ini. Tapi saat ini berbeda. Aku akan bekerja disini, aku akan bertempat tinggal disini. Aku harus menyesuaikan dengan budaya, makanan, cuaca, kebiasaan, dan ritme kehidupan. Di Medan ini aku kembali kos, dan akan sering naik pesawat Medan-Jakarta. Dilanjutkan travel Bandara-Pintu Tol Pasteur. Alhamdulillah saat ini aku sudah bisa menikmatinya.

Concert of Dream. 06-03-09. Bagiku konser menarik yang ingin aku tonton (sampai saat ini) hanyalah John Legend, Jason Mraz dan Dave Matthews Band. Sempat excited ketika mendengar gossip John Legend akan ke Jakarta mengisi rangkaian Java Jazz 2009. Tapi ternyata tak jadi. Penggantinya adalah: Jason Mraz!! Yeah!! Segera saja aku booking tiket dan assign cuti sekalian seminggu hehe. Konser yang mengagumkan. (Dan ternyata John Legend confirmed konser di Java Jazz 2010 Maret nanti. Wow!)

Morocco. May. Tempat impian yang selalu aku cita-citakan. Tak pernah menyangka akan pernah kesana di tahun ini. Bahkan nyaris tak pernah bermimpi akan benar-benar mewujudkannya. Tapi, Subhanalloh. Ini kenyataan. Morocco aku kunjungi di tahun 2009 ini!

Kelulusan demi Kelulusan. Agustus. Tahun ini tahun perjuangan untuk orang-orang tercinta sekitar aku, khususnya di dunia pendidikan. Fikri, keponakanku harus menerima kenyataan tidak diterima di SMA 2 Bandung, dan bersekolah di SMA 1 Bandung. Alhamdulillah. Fanny, kakaknya harus berlapang dada tidak diterima di SNMPTN, dan sempat khawatir tidak kuliah tahun ini. Akhirnya diterima di Unisba. Alhamdulilah. Teh Dhyah harus berjuang sampai titik deadline penghabisan untuk bisa wisuda Agustus. Dan akhirnya tercapai. Alhamdulilah. De Annur pun lulus di bulan Oktober dengan cum laude. Dan Aku bisa mengikuti wisudanya, Alhamdulillah.

Sorrows. 09-08-09. Selain berita gembira, ditahun ini Apih kecelakaan. Di Garut, sehabis pulang dari Ciamis nengok Ema yang sakit, apih dan dua adiknya tabrakan. Tapi endingnya tetap saja berita bahagia, apih dan yang lainnya selamat dan sudah sehat kembali. Ma Anah, nenekku yang tersisa pun akhirnya menghembuskan nafasnya di tahun ini. Sayangnya aku tak bisa pulang. Bahkan sampai saat ini aku tak memiliki kesempatan untuk ke Ciamis. Selamat jalan ema ku tercinta!

Goodbye Jobe. 08-09-09.Jobe (dibaca: jo-be) adalah nama mobilku. Hyundai Atoz Silver. Mobil pertama yang aku miliki atas keringatku sendiri. Mobil yang menemaniku selama lebih dari 3 tahun. Mengantarku kemana saja yang aku mau. Sumedang, Lembang, Ciamis, Garut, Kadipaten, Cianjur, dan setiap jengkal Bandung yang ingin aku kunjungi. Tak terhitung berapa kali Jobe menjadi saksi sumpah serapah, nyanyian sumbang, teriakan lepas dan obrolan hangat. Jobe seperti rumah kedua. Jobe pula yang mengantarkan aku ke Ciwidey di subuh hari, hanya untuk kemudian kembali lagi ke rumah. Perjalanan aneh, tapi selalu aku rindukan. Jobe ditemani Buzz Lightyear di spion dalamnya. Hari ini Jobe tak lagi di rumahku. Semoga dia memberi keceriaan sama kepada orang lain. Goodbye Jobe!
Jobe berganti Jonessy, Hyundai i10 abu-abu. Walau masih muda, Jonessy sudah berkelana sampai ke Garut, Sumedang dan Ciamis. Selamat datang Jonessy!


Akhir hari, akhir tahun, selalu disertai harapan menjadi lebih baik di keesokannya.
Begitupun hari ini. Selamat jalan 2009! Selamat datang 2010 penuh harapan baik!

oiya, musik yang tepat untuk menggambarkan 2009 ini dikolaborasikan dengan indah oleh DJ Earworm disini:


Tuesday, December 08, 2009

Cuti Menyenangkan (Lagi)

Begini nih kalau pulang ke Bandungnya kelamaan. Susah buat menyesuaikan lagi mood. But, no matter what I have to try. Mudah-mudahan dengan menulis apa yang terjadi di Bandung seminggu lebih kemarin bisa menolong membunuh rindu yang memang membunuh. Hiks.

Aku pulang di hari Kamis sore, dan hari Jum'at adalah Idul Adha. Sengaja pulang naik flight jam 5, biar gak terlalu ngantri naik travel di Soekarno Hatta-nya nanti. Tapi apa mau dikata, flight delay sampai jam 19.30. Artinya sampai Jakarta jam 21.30. Ternyata Bandung-Jakarta dan jalur kebalikannya macet banget hari itu. Mungkin karena libur panjang. Travel pun jadi jarang dan penuh semua. Untung aku masih kebagian. Nyampe Bandung jam 2 dini hari. Disambut gema takbir dari Mesjid Al-Hidayah tercinta. Jujur, menceritakannya pun membuat menitikkan air mata, padahal sudah lama berlalu.

Memulai pagi keesokan harinya dengan shalat Ied. Karena hari itu hari Jum'at, acara potong kurban tidak dilakukan setelah shalat Ied, tapi rencananya besok hari Sabtu. Jadi hari itu rencananya aku habiskan dengan bercengkrama bersama keponakan. Tapi si amih, punya rencana lain. Dia mengajak kami semua ke Cipanas, Garut. Hmmm...aku sih hayyuuu ajah. Gak ada kata cape. Ternyata jalan gak rame, Rancaekek, Nagreg, dan kota Garut pun sangat lancar. Jalan-jalan dan acara berendam di Cipanas jadi asik. Alhamdulillah.

Besoknya, didominasi dengan kegiatan khas Idul Adha, melihat penyembelihan binatang kurban, dan..nyate tentunya!! Tapi kali ini aku cuma ikut makan aja. Yang masak giliran si Azdun, Fikri dan Amih. Lumayan enyakk!

Aku agak lupa kegiatan di hari Minggu-Kamis, tapi yang pasti jauh dari nganggur dan jauh dari rasa bosan. Di hari-hari itu, si Jonessy, mobilku jarang sekali nganggur di garasi. Jalan-jalan ke distro bareng Fanny, Fikri dan Azhar. Makan di Warung Pasta (sampai 3 kali di hari yang berbeda! dengan orang yang berbeda-beda pula!!). Sekedar belanja kebutuhan sehari-hari pesenan Amih, karaokean di Nav, dan..oh iya..ngurusin pemasangan Speedy buat di rumah Bapa. Khusus untuk hal yang terakhir ini hasilnya gak sukses. Si petugas Speedy ini asli ngarang! Selain itu aku juga tak lupa mengantar jemput Syaiq sekolah, bahkan ikut acara latihan manasik. Dan yang reguler setiap hari adalah, beli gorengan si Neneng di pagi hari. Enak..asli enak!

Hari Jum'at. Aku berencana ikut serta ke Conggeang bersama karyawan dan guru SMA 2. Sama seperti dulu. Tapi kali ini agak berbeda. Berbeda karena kali ini perjalanannya direncanakan, nginap, dan pesertanya lebih banyak. Yiihaa. Sangat sulit menceritakan perjalanan ini hanya dalam satu alinea. Beribu momen berebut di kepalaku menunggu untuk diceritakan. Kali ini aku pergi dari Bandung bersama Bapa, Pak Eddie dan Pak Usep. Start dari SMA 2. Datang langsung disuruh makan. Dilanjutkan dengan pertandingan gapleh semalam suntuk. Aku gak ikut tentunya. Tapi aku tak bisa berhenti untuk tidak menyimaknya. Senda gurau seperti tak henti malam itu. Terutama, Ade Maryono, sang maskot di piknik kali ini. Gapleh hanya berhenti diselingi sholat. Gapleh terbagi ke dalam 3 group, masing2 empat orang. Beda group, beda juga nuansanya. Ada yang serius, ada yang ahli banget, ada juga yang gak berhenti bercanda, seperti groupnya Ade Maryono, Pak Eddie, Pak Mumu dan Bapa. Ampuunnn! Aku sampai harus bekerja keras berhenti tertawa sejenak, agar kepalaku tak sakit.

Menjelang tengah malam kita menyempatkan berendam di Cipanas Cileungsing. Ternyata suasananya agak berbeda dengan jaman KKN aku dulu. Lebih bersih dan lebih tertata rapi. Pulangnya kembali dilanjutkan gapleh. Tapi aku tak tahan, aku tidur. Dan sekasur dengan guru PSPB ku tercinta dulu Pak Eddie. Ternyata Pak Eddie motah dan kereknya polll..hahaha..bahkan beliau sempat menendang dengan telak wilayah vitalku. Beu!

Aku tak bisa tidur full. Mungkin karena excitement, ditambah suara yang tak berhenti disekelilingku, ditambah juga memang malam itu, Pak Dadang datang membawa organ, dan yang lain ikut menyanyi haha. Tapi akhirnya jam 3 dini hari semua tidur. Dan aku terbangun di jam 4 tanpa bisa terlelap lagi. Aku hanya bisa memandangi para karyawan dan guru bergelimpangan dengan suara ngorok bermacam-macam dan kadang diselingi kentut hahaha. Subuh yang aneh.

Tapi keriaan dimulai lagi sekitar jam 5.30, tapi aku dan Bapa pergi. Kita berencana pergi ke kota Sumedang, mencari rumah teman lama Bapa di daerah Perumahan Asabri. Alhamdulillah ketemu. Kita tak lama berkunjung. Hanya sekedar silaturahmi. Kami kembali ke Conggeang. Ternyata yang lain sudah berkumpul di kolam pemancingan. Acara mancing diikuti hampir oleh semua orang. Dan tentu saja tak lupa diselingi celaan dan senda gurau.

Disaat yang lain masih mancing, Bapa, Pak Mumu, Pak Kus dan Pak Dadang kembali ke base camp. Disana kita berencana untuk pergi ke Citiis, kolam mata air yang dulu pernah aku kunjungi. Tapi ternyata ditengah jalan kita berubah haluan. Arah yang dituju adalah Puncak Manik, tempat situs bertemunya Cakrabuana dan Ibu Manikmaya, leluhur dusun Puncak Manik disana. Perjalanan yang ditempuh sangat berat, terutama buatku dan Pak Dadang. Jalan setapak dan menanjak sangat menguras tenaga, dan mengikis semangat, apalagi ditambah kerumunan nyamuk yang dahsyat dan tak kenal lelah. Sumpah, aku serasa hendak pingsan. Tapi alhamdulillah, kami semua berhasil sampai di tujuan. Pulangnya tak sesulit tadi. Jalan menurun ditempuh dengan penuh semangat.

Kami langsung menuju mata air Citiis. Tak peduli keringat dan panas yang masih mendera tubuh. Aku hanya ingin berendam di mata air itu. Apalagi ditambah teh botol dingin pake es. Segarrrr...
Waktu dzuhur kami berkumpul di base camp kembali, sambil menunggu yang lain berkemas aku menunggu di ruang tamu. Tapi ternyata aku ketiduran selama 2 jam. Aku memang kelelahan.
Perjalanan Conggeang-Bandung, ditempuh dengan lancar, hanya sesekali padat di pusat kota Sumedang dan Cadas Pangeran. Yang agak mengganggu adalah pusing kepala gara-gara berendam di panas hari tadi dan paha pegal gara-gara perjalanan menyiksa ke Puncak Manik. Tapi Alhamdulillah kami sampai juga. Beristirahat sejenak di Haji Yasin sambil menunggu tukang sate, yang tak kunjung datang. Akhirnya diganti dengan nasi padang dan rendang. Alhamdulillah!!

Besoknya seakan tanpa lelah aku berkelana kembali, cuci mobil, jalan-jalan ke Toko Setiabudhi dan periksa mata di Advent. Terus ke rumah Bapa. Sepertinya beliau masih butuh main dan jalan-jalan. Jadi....kita pun jalan-jalan lagi hahaha. Ke Margahayu, tersesat. Ke SMA 2, tak jadi karena suatu hal. Akhirnya ke rumah Pak Mumu di Gegerkalong dekat Daarut Tauhid. Sholat Maghrib, dilanjut mencari teman Pak Mumu yang akan mereparasi komputer di daerah Leuwi Gajah. Ternyata cukup sulit mencari letak rumahnya. Setelah tersesat dan tanya sana-sini, akhirnya si perumahan Bukit Cibogo itu pun ditemukan. Pulangnya kembali tersesat hahaha. Berlanjut dengan menjemput Pak Kus dan terus ke Ciater, bukan untuk berendam, tapi sekedar ngobrol dan makan ulen enakkkk pisan. Sungguh! Disana aku pun bertemu Abah Iwan Abdulrachman, yang CDnya aku beli beberapa hari lalu dan sangat aku kagumi. Jalan persimpangan ciptaan Alloh memang sering membuat makhlukNya terkejut.

Setelah puas kami pun pulang. Aku langsung tertidur.
Panjang ya cerita kali ini...
Syukurlah, agak mengurangi homesick yang tadinya bergelayut.

Err

I always think that my certain amount of money and liters of sweat can buy happiness. Able to flip someone’s sadness into laugh. How proud and puny I am!

Without Alloh’s will, it was impossible.
Allohu Akbar.
Astaghfirullahaladzim.

Wednesday, September 16, 2009

Ibu Mia

Tadi selepas sholat Tarawih, tiba-tiba saja, entah kenapa, aku teringat akan ibu Mia Kusmiati, guru SD ku dahulu. Sebenarnya kadang-kadang ingatan ini muncul sih. Nah, sebelum kembali terlupa, aku buru-buru menuju kostan dan mencoba menuliskannya di blog ini dengan harapan seseorang yang memiliki memori yang sama akan tersesat ke situs ini dan membagi kenangannya tentang beliau.

Sosok Bu Mia, tak pernah dapat aku lupakan. Sosoknya sedang agak pendek kalau dibandingkan bapak-bapak guru. Agak gempal, tapi menurut aku samasekali tidak gemuk. Ibu ini sangat energik. Walaupun SD aku cuma sekolah inpres di Perumnas, tapi aku melihat Bu Mia sebagai seorang wanita yang gaya. Tidak berlebihan. Kalo sekarang aku akan menyebutnya guru yang cool. Seringnya memakai kemeja atau blus tangan pendek dengan rok span. Tapi kalau suasana resmi, bu Mia juga kadang memakai blazer. Bu Mia itu cantik, putih, seperti Amoy. Gayanya cenderung tomboy tapi feminin dalam saat yang bersamaan. Rambutnya pendek, agak mirip Demi Moore zaman film Ghost dulu. Perona pipi tipis dan lipstick warna pink pucat.

Beliau ke sekolah dengan menggunakan motor Honda Astrea. Entah sudah berapa kali bu Mia ini menjadi wali kelas aku, tapi yang pasti, waktu kelas 6, beliaulah wali kelasnya. Beliau mengajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila—sekarang sama dengan PPKN) dan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Nah ajaran beliau tentang pelajaran IPS inilah yang kemudian berpengaruh banyak terhadap aku sekarang.

Gaya mengajar Bu Mia, dimataku tak pernah membosankan. Masih terngiang cara beliau mengajar dan berbicara. Beliau fun, tapi tegas sekaligus. Suka bercanda, dan samasekali tidak galak. Jadi kalau ada yang ngobrol atau ngelamun, biasanya beliau teriak, Maneh mah heureuy wae!, lempar kapur, atau yang paling parah jewer telinga hehehe.

Aku agak lupa ajaran beliau tentang PMP. Tapi memang pelajaran PMP sampai SMA pun tak pernah menjadi pelajaran yang menyita perhatian aku. Beliau yang mengajarkan kita tentang tata cara bertamu dan menerima tamu lewat semacam sandiwara, mengunjungi kantor pos dan pasar untuk kemudian mewawancara pedagangnya. Membiarkan kelas ribut karena kita sedang mengisinya dengan cerdas cermat seperti yang pernah aku ceritakan disini. Pelajaran sederhana yang sangat berguna buat kehidupan aku, walau masa SD tlah aku lewati 20 tahun yang lalu.

Bu Mia juga sering mengajak kita jalan-jalan. Ke sawah, ke pinggir selokan, ke irigasi, ke tanah lapangan, dan kemudian belajar disana, atau bahkan hanya dihabiskan dengan mendengar cerita beliau saja. Masa SD ku sangat bersahaja, pada masa itu hal yang biasa seorang guru menyuruh muridnya membeli sesuatu, fotocopy, atau bahkan membeli bala-bala. Dan bu Mia pun terkadang menyuruh kami membeli bubur ayam.

Guru-guru kami di SDN Sarijadi 5, sangat senang main pingpong, dan Bu Mia pun tak terkecuali. Beliau cukup jago. Dan kala itu menyaksikan guru bermain pingpong dikala istirahat atau di waktu pulang sekolah lumayan menyenangkan. Kalo Bu Mia main suka penuh teriakan dan tertawa keras.

Bu Mia membuat aku sangat menyenangi pelajaran IPS. Terutama pelajaran tentang pengetahuan negara-negara di dunia. Buku IPS warna cokelat yang kita gunakan, seringkali aku bawa tidur. Saat itu aku tidak merasa IPS menjadi sesuatu yang harus aku hapalkan. Pelajaran itu bagaikan sebuah jendela ke sebuah alam yang menyenangkan dan nyata. Bu Mia menceritakan negara-negara di Amerika, Eropa, Asia, Pasifik seperti sebuah deretan gambar indah di kepalaku. Saat itu aku sudah hapal banyak negara dan kota-kota besar didalamnya. Sungai Yukon, Danau Erie, Vladivostok, Kep. Faroe, UNICEF, NATO, tak lagi menjadi kata-kata asing. Pelajaran ini membuat aku ingin keliling dunia. Dan terus terang saja, keinginan aku akan mengunjungi Mongolia adalah sebagian besar dipengaruhi oleh pelajaran ini.

Untuk melengkapi pelajaran ini, kita dibagi menjadi kelompok-kelompok dan diberi tugas membuat peta di atas karton manila. Peta pertama yang aku dan anggota kelompokku buat adalah peta Thailand. Aku menggambarnya dengan pensil dan kemudian mewarnainya dengan cat air. Agar tak boros cat air juga cepat, aku diajarkan kakakku menggunakan cat air dengan kapas. Hasilnya keren sekali (saat itu), bu Mia pun memberikan pujian. Peta itu, beserta peta lain digantung dikelas. Kami sangat bangga akan peta-peta kami.

Beliau juga memberikan tugas kliping dari koran tentang PBB. Ini yang membuat aku suka membaca koran tiap hari hingga kini. Beliau tak malu menerima kritik dari seorang anak ingusan macam kami. Aku masih ingat, beliau menyebutkan Sekjen PBB saat itu adalah Javier Perez deQueya dari Peru, tapi setelah aku liat di koran yang betul adalah Javier Perez deCuellar. Beliau pun meralatnya dan membenarkan ucapan muridnya. Beberapa tahun kemudian aku tahu bahwa sebetulnya tidak ada yang salah, karena deCuellar memang dilafalkan deQueya hehe.

Aku dan beberapa temanku sering berada di ruang guru. Dikarenakan perpustakaan berada di Ruang Guru. Jadi kalau kita mau meminjam buku, ya harus bertemu mereka itulah. Pernah aku disuruh mengambil sesuatu di tas nya bu Mia, dan saat itu aku melihat sebungkus rokok Filtra di dalamnya. Bu Mia langsung menutupinya. Saat itu merokok buat perempuan hal yang jarang sekali. Ibu-ibu biasanya sangat mencelanya. Tapi saat itu, sebungkus rokok tak pernah mengubah pendapat apapun tentang Bu Mia. Bu Mia terlalu berharga untuk dinilai dari sudut sebungkus rokok. Padahal aku saat itu masih SD, masih seorang ingusan.

Saat ini aku bukan seorang diplomat, atau seorang eksplorer. Tapi apapun tentang geografi sangat aku sukai. Koleksi bukuku dipenuhi oleh topik dunia, arkeologi, sejarah dan antropologi. Ternyata ajaran itu terpatri sangat dalam di benakku. Hal yang tak pernah aku sesali, bahkan sangat aku syukuri.

Terimakasih banyak Bu Mia! mudah2an aku masih diberi umur untuk bertemu ibu kembali, sekedar hanya untuk berterimakasih. Sesuatu yang tak ingat pernah aku lakukan..

Tuesday, September 08, 2009

Ramadhan di Pesantren (Part: 2)

Setelah buka puasa dilanjutkan dengan sholat tarawih. 23 rakaat. Dan mesjid terasa penuh. Teriakan “AMIN” nya terdengar merdu. Maklum banyak yang jago ngaji. Setelah malam ke 20, setiap hari rakaatnya ditambah 2, jadi 25, 27, 29, dst. Ajeuww! Cangkeul.

Yang paling malas adalah, setelah tarawih dilanjutkan kembali dengan pelajaran ilmu falak. Sampai dengan jam 11 malam. Banyak yang terkantuk-kantuk. Bahkan ada yang tak tahan, ngagoler di pinggir mesjid. Setelah pelajaran selesai kita setengah berlari ke kobong. Tak sabar ingin tidur. Tapi biasanya sebelum tidur pasti ngobrol dulu. Ngobrol segala macem, dan akhirnya tertidur dengan sendirinya.

Waktu sahur, ada yang datang ke tiap-tiap kamar dengan membawa senter, jam beker yang digantung di leher dan lonceng besar yang biasa dipakai kerbau. Yang jadi petugas, biasanya bergantian dari anak kelas 1 dan 2. Tapi biasanya kamar kita sudah pada bangun sebelum petugas itu datang. Oh iya, jangan membayangkan anak kelas 1 dan 2 itu anak-anak semuran SD. Kelas hanya untuk membedakan materi pelajaran. Pesertanya biasanya nyaris sama. Kelas 1 dan 2 biasanya seumuran 1 SMA sampai dengan umur 20an. Sedangkan kelas 3 memang mayoritas sudah berumur dan berkumis. Yang paling muda adalah aku yang saat itu berumur 18-19 tahun, yang lain sekitar 20-30 tahun. Tak sedikit yang sudah menikah.

Setelah sahur dan sholat subuh kita biasanya tidur lagi hehe. Tapi tak jarang diisi pelajaran tambahan. Bangun jam 7, mandi dan nyuci baju. Tempat mandi ada di mata air yang tak terlalu jauh dari pesantren. Mata airnya sangat jernih dan dingin, aku betah berlama-lama disana. Tapi kalau pagi suka banyak yang antri, jadi harus tahu diri. Setelah mandi dilanjutkan pelajaran lagi jam 8 sampai jam 10. Dan jam 10 adalah waktunya bekerja!!!

Ada beberapa pilihan. Dan semuanya sudah pernah aku coba. Yang pertama adalah jadi tukang bangunan. Darul ulum sedang membangun kelas baru, jadi butuh bantuan tenaga bangunan. Berhubung aku gak punya keahlian, aku jadi tukang antar jemput adukan, ember demi ember aku antar dari tempat ngaduk ke bangunan baru. Aku memilih disini, karena aku pikir ini yang paling ringan. Tapi ternyata itu salah! Panas, cape dan tangan pun sukses pareurih. Hiks. Menjelang adzan dzuhur aku menyerah. Ke kamar dan langsung tiduran. Sholat dzuhur pun jadi tak berjamaah. Maafkan.

Besoknya aku ganti ‘pekerjaan’ baru. Aku disuruh ikut ke balong (kolam ikan/empang). Kemarinnya hujan besar. Jadi balong ajengan terkena longsor, dan kita harus mengurasnya. Istilah sundanya mah “nawu”. Kita pergi beramai-ramai pergi sambil bersenda gurau. Tapi langsung ternganga ketika melihat balong itu. Balongnya luas dan hampir seluruhnya tertimbun lumpur. Jadi kita harus menguras lumpur itu. Hiks. Semua disuruh mengambil cangkul/pacul. Aku boro-boro bisa nyangkul, megang aja jarang. Walhasil aku diketawain. Untung aku ada teman, Mang Uus juga sama ternyata. Aku dan Mang Uus diberi singkup/sekop dan harus masuk ke longsoran lumpur. Ternyata si lumpur itu dalem banget. Sepinggang aku. Dengan bergelimang lumpur aku dan Mang Uus menyekop lumpur itu. Dan sumpah, satu sekopan aja sangat beratt!!

Oiya, semua santri membawa satu celana untuk bekerja. Biasanya celana yang agak butut dan penuh tambalan. Tandanya sering dipakai bekerja. Aku gak tahu, tentu saja. Aku hanya membawa dua celana panjang. Satu katun, satu lagi jeans belel andalan. Akhirnya si jeans itu harus rela dijadikan celana bekerja. Celana itu pula yang aku pakai ketika bekerja di balong. Jeans terkena gumpalan lumpur terasa sangat berat tentu saja. Berjalan pulang dilalui dengan susah payah. Langsung saja celana itu aku cuci. Caranya: masih aku pakai, taburi Rinso, dan sikat sekuat tenaga. Untung saja airnya berlimpah ruah jadi tidak susah.

Jenis pekerjaan terakhir, yang akhirnya menjadi pilihan aku seterusnya adalah ke kebon. Ajengan pesantren itu terkenal sebagai petani cikur (kencur) yang sukses. Jadi kebon kencurnya banyak. Kita disuruh merawat dan menyianginya (ngarambet kalo sundanya mah). Sebelum ke kebon aku selalu memakai Autan. Walau biasanya tetap saja ada nyamuk yang kurang ajar sukses membuat bentol. Kerja di kebon ini gak terlalu berat dan yang lebih menyenangkannya lagi, kita bisa heureuy sambil bekerja. Walau heureuy nya gak berhenti, tapi si Mang-Mang ini gak pernah heureuy porno atau yang kelewatan.
Semua pekerjaan ini berakhir hingga waktu dzuhur. Setelah dzuhur kita istirahat, biasanya tidur sih. Dan bangun sebelum adzan ashar, mandi lagi di mata air. Segarrr! Begitu sih kehidupan sehari-harinya.
Hari Jum’at adalah hari libur. Biasanya kita ke kota Ciamis. Kita suka pergi beramai-ramai. Semua berdandan necis, celana katun, baju tangan panjang lengkap dengan peci dan sepatu yang disemir. Semua kecuali aku, yang hanya bercelana jeans belel, kaos oblong dan sandal jepit. Maaf aku bodohnya gak bawa baju rapi. Di kota ciamis kita jalan-jalan, ke pasar, dan sholat jum’at di Mesjid Agung. Kunjungan ke kota itu biasanya aku manfaatkan untuk memborong minuman kemasan, terutama teh kotak dan membeli beberapa jenis Koran dan majalah. Aku haus informasi dunia luar! Haha. Oh iya, dari pesantren ke kota kita naik angkot, dan sebelum naik angkot kita harus melewati hutan dulu. Jadi aku gak mau pulang kesorean, soalnya sieun pas lewat hutan ituh. Naik angkot disini lucu, semua penumpang seolah-olah sudah kenal sesamanya, jadi kita sering ngobrol, topiknya macem-macem. Dari mulai gaya baju aku yang tidak cocok dengan pesantren (ampun!), cara membuat minyak kelapa, sampai ke diskusi penting tidaknya Magic Jar (sumpah seru! Ada yang pro dan kontra segala, dan dimenangkan oleh si ibu guru yang pro Magic Jar! Horre!).

Kejadian yang paling berkesan adalah ketika suatu hari, setelah tarawih, kelas malam hari, kelas 1, 2 dan 3 ditiadakan. Semua berteriak senang!! Tapi kemudian menjadi tidak terlalu senang setelah tahu, kalau sebagai gantinya kita harus ngebut membantu membuang barangkal dari bangunan baru ke ujung jalan yang agak jauh. Semua santri berpasang-pasangan dengan membawa karung bekas. Sialnya aku berpasangan dengan Mang Atang, seorang santri kekar yang memang sangat giat bekerja. Dia adalah orang kepercayaan sang ajengan. Kemana-mana selalu membawa golok alias bedog. Dengan Mang Atang kita harus cepat, bahkan seringkali aku dipaksa berlari sambil menggotong barangkal ituh. Hiks. Akhirnya aku menyerah, dan Mang Atang pun memilih partner lain yang lebih cekatan hihihi.

Pernah suatu waktu Mang Uus mengajak aku buka puasa di luar. Maksudnya di luar Darul Ulum. Untunglah. Aku memang kadang bosan dengan menu si bala-bala dan sayur berjengkol itu. Besok, kita ke Maruki yuk, katanya. OMG, Mang Uus ternyata seleranya ok juga. Dia mengajak aku ke warung makanan Jepang, pikirku. Oh, tak sabar aku menunggu besok. Warung seperti apa Maruki itu. Tapi aku yakin, warung itu tak besar. Aku cukup tahu kota Ciamis. Nenekku kan tinggal disana. Di Ciamis, resto fastfood sejenis California Fried Chicken baru ada sekitar tahun 2002an. Jadi aku tak berharap banyak, yang penting ada goreng udang tepung saja sudah lebih dari cukup.

Akhirnya hari ini datang juga. Sengaja setelah ashar aku sudah menggunakan si jeans belel. Hari itu kebetulan gak ada pelajaran, ajengannya ada perlu. Aku lihat Mang Uus kok belum mandi. Oh, aku pikir mungkin dia bukan tipe orang yang terburu-buru. Tapi kemudian sudah jam 5 sore, dia baru mandi. Ah, alamat telat deh ke Maruki itu. Tapi kemudian setelah jam setengah enam, dia baru mengajak pergi. Aku jadi mulai curiga dengan si warung Maruki ini.
Dan ternyata benar saja. Mang Uus berjalan terus. Bukan ke arah hutan tempat nunggu angkot ke Ciamis. Ternyata jaraknya tak jauh. Dia berhenti di sebuah warung merangkap rumah panggung sederhana. Dan saat itu juga aku sadar, Maruki bukanlah warung masakan jepang. Maruki tak lain adalah Mak Ruki, nama pemilik warung nasi. Hiks. Selamat tinggal udang goreng tepung! Menunya memang lebih beragam, ada jengkol goreng, ikan mas goreng dan perkedel. Aku pun makan cukup hanya dengan perkedel saja. Aku mengutuk diriku sendiri, kenapa menerjemahkan Maruki sebagai restoran Jepang, hehe bodoh.

Tak terasa 28 hari telah berlalu. Pengalaman di pesantren ini tak akan pernah aku lupakan. Kebersahajaan hidup di kobong merupakan sebuah pengalaman baru buatku. Andai saja Mang Endang dan Mang Uus punya Facebook. Tapi tampaknya tak mungkin. Kalaupun iya, aku tak pernah tau nama lengkap mereka. Mungkin suatu saat aku akan kembali mengunjungi Petir. Mengunjungi Darul Ulum tercinta.

Monday, September 07, 2009

Ramadhan di Pesantren (Part: 1)

Dulu. Jaman kuliah sekitar tahun 1997-1998. Saat itu libur kuliah berbarengan dengan bulan Ramadhan. Entah kenapa aku tiba-tiba memutuskan untuk mencoba kehidupan Pesantren. Aku mencoba keras untuk mengingat-ingat alasan apa yang membuat aku mengambil keputusan itu. Tapi tak pernah berhasil.

Tabungan aku bongkar. Ada sekitar 1 juta. Saat itu terasa sangat besar. Maklum belum jaman krismon. Dollar masih sekitar 4000-5000an. Aku minta bantuan Yedi, teman kuliahku yang asli Ciamis untuk membantu aku mencari pesantren yang cocok di Ciamis. Sengaja aku memilih yang jauh dari Bandung. Aku gak ingin cepat pulang kalau merasa gak betah. Untungnya Yedi memutuskan untuk ikut pesantren bareng aku.

Ada dua pesantren yang aku kunjungi. Yang pertama di daerah Nangewer. Mata pencaharian pesantren itu dari budidaya ikan tawar. Jadi pesantrennya bau amis dan berserakan sisik ikan. Aku agak jijik, tapi aku sudah pasrah, dimanapun pesantren yang dipilih aku akan tinggal disana. Pilihan kedua adalah Pesantren Darul Ulum di desa Petir (sekitar Baregbeg). Secara tampilan bersih, walau tetap saja kesan ‘desa’nya terasa, karena memang agak jauh kok akses transportasi umum. Aku langsung memutuskan memilih pesantren ini. Apalagi pesantren ini memiliki program materi singkat khusus Ramadhan.
Setelah meminta izin kepada pimpinan pondok pesantren yang ternyata uwaknya Yedi, aku pun membayar biaya pendaftaran, yang terdiri atas iuran listrik sebulan, biaya kebersihan asrama (biasa disebut kobong dalam bahasa sunda), dan sumbangan sukarela, yang totalnya berjumlah Rp 10.000,- ya, betul hanya sepuluh ribu saja untuk satu bulan hehe.

Aku langsung pulang ke rumah Yedi, karena memang baju dan perlengkapan lainnya tidak langsung aku bawa saat itu. Keeseokan harinya aku pergi sendiri ke pesantren. Yedi akhirnya tak jadi ikut, dia sakit herpes. Nyaliku langsut ciut. Pesantren itu terlihat sangat menakutkan kalau dikunjungi sendirian ternyata. Aku takut gak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan pesantren. Bayangan harus menulis dan mengaji dengan arab gundul membuat aku berkeringat cemas.

Oleh Mang Agus, pengurus pesantren itu, aku ditempatkan di kobong baru. Satu kamar ditempati oleh tiga orang. Teman sekamar aku adalah Mang Endang dari Manonjaya dan Mang Uus dari Bogor. Aku baru tahu kalau bulan Ramadhan pesantren dipenuhi banyak santri kalong. Artinya santri yang belajar di pesantren lain yang jauh dari pesantren asalnya. Hal itu membuat aku lega. Oh iya, di Darul Ulum ini sebutan antar santri adalah Mang, jadi gak peduli lebih muda ataupun lebih tua, sebutannya Mang. Jadi akupun dipanggil Mang Dodi.

Mang Endang sekitar 8 tahun lebih tua dibanding aku, sedang Mang Uus tiga tahun diatas aku. Mereka sangat baik. Tidak sulit beradaptasi dengan mereka. Pelajaran dimulai ba’da Ashar. Aku memilih ditempatkan di kelas 3. Kelas paling senior. Bukan berarti aku sudah menguasai pelajaran kelas 1 dan 2. Kelas 3 aku pilih karena materinya—aku pikir—gak terlalu menakutkan. Materi yang aku pilih adalah ilmu falaq, semacam ilmu perbintangan yang mengajarkan kita cara hisab dan menentukan penanggalan kalender. Sebetulnya ada lagi materi ilmu waris, tapi aku gak ikut, alasannya sekali lagi adalah si arab gundul itu. Kalo ilmu falaq entar kan pake angka, pikirku.

Bada ashar dimulai pelajaran penentuan kalender. Tidak terlalu sulit aku ikuti. Aku bayangkan materi ini hampir mirip dengan pelajaran geografi dan matematika. Hambatannya adalah belajar huruf yang ternyata tidak menggunakan angka arab, tapi pake huruf hijaiyyah yg tak berurutan, seperti misalnya 1=ba, 2=jim dsb. Aku terpaksa membuat paririmbon dadakan. Hambatan lainnya adalah bahasa sunda! Ya, walaupun aku menggunakan bahasa sunda di percakapan sehari-hari, tapi ternyata ada yang terdengar asing di telinga aku, seperti: akay-ukuy (maju sambil jongkok), maracacalan (cerai berai) hahaha.

Selain materi yang harus aku hadapi. Tatacara kehidupan pun harus aku sesuaikan. Disana sehari-hari memakai kain sarung, kecuali kalau bekerja ke kebun atau ke balong (kolam ikan), atasan sih bebas, mau kemeja atau kaos. Tentunya aku memilih kaos saja. Peci biasa dipakai juga, terutama kalau sholat. Tapi kalaupun gak pake juga gak apa-apa. Selain itu aku harus membiasakan kencing jongkok. Kalau kencing sambil berdiri pasti ditegur. Lagian aneh memang, kalau kita kencing berdiri tapi pake sarung. Rasanya seperti pake rok yang nyingsat hehe.

Pelajaran ba’da ashar, berakhir sekitar jam 17.30. Setelah itu waktunya bebas sambil menunggu bedug maghrib. Setelah tiba waktu maghrib biasanya kita takjil di mesjid yang ada di tengah2 pesantren. Menu takjil disediakan ibu-ibu sekitar pesantren. Tapi jangan samakan dengan di mesjid deket rumah di Bandung yang kuantitas dan kualitasnya beragam. Yang ada biasanya pepaya dan pisang rebus (disini aku nyoba pepaya rebus untuk pertama kali—dan rasanya..aneh haha). Tapi yang paling sering adalah jondos alias kejo rendos. Nasi ditambahkan garam kemudian ditumbuk menyerupai lemper. Pas pertama kali aku pikir dalemnya bakalan ada daging. Harapan yang sia-sia. Hehe.

Setelah takjil dilanjutkan dengan maghrib berjamaah, dan buka puasa! Di Darul Ulum ada satu kantin yang menjadi tempat makan satu-satunya. Kantin ini menyediakan masakan yang dimasak ibu ajengan, tidak menerima order. Dan selama aku disana, menu yang disajikan tidak berubah, yaitu, nasi putih, sayur kacang atau sayur asem, dan….bala-bala favorit aku! Baik sahur maupun buka puasa. Tapi pernah juga, sekali, si ibu masak daging ayam, walau agak liat tapi menjadi selingan yang terasa sangat mewah. Yang agak unik (menyebalkan tepatnya!), sayur kacang dan sayur asem itu suka ditambahkan irisan kecil jengkol! Walhasil wc pun dengan sukses bau hangseur jengkol.
Harga satu kali makan adalah ….. 250! Ya betul: dua ratus lima puluh rupiah sajah! Nasi bebas, mau segimana, asalkan diambil sekali saja. Kalau nambah, mau satu kali, dua kali, terserah, dikenai charge tambahan 50 rupiah, jadi total 300 rupiah. Kalau sama daging ayam, yang cuma sekali itu, satu kali makan 500 rupiah. Walau jadul, harga ini sumpah terasa sangat murah! Menu KFC satu ayam satu nasi dan minuman, saat itu kurang lebih 18.000 kok.

Walau murah, tapi saat itu cukup banyak kok yang ngutang. Biasanya mereka rajin sendiri nulis di buku yang sudah disediakan. Selagi kita berbuka puasa, biasanya banyak anak-anak berebut nakol bedug. Dan baru berhenti setelah ada santri yang keluar dan teriak: KU AING DI LEGLEG SIAH! TEU NYAHO SANGU NA TIKORO KENEH IEU TEH!

Friday, September 04, 2009

Si Misfalah


Aku lupa tepatnya tahun berapa aku membeli baju ini. Yang aku ingat, aku membeli baju ini sama Pebe, yang kala itu berjualan baju muslim.

Aku memilih baju ini karena memang tidak ada cocok (tepatnya: muat). Malah sebenarnya baju ini kepanjangan di bagian tangan, tapi bisa diakalin sama si Amih dengan cara digunting dan dijahit kembali.

Baju ini mereknya: Misfalah. Modelnya pun tidak istimewa2 banget. Standar baju koko, ada bordir etnik di bagian leher dan bagian kancing. Tapi yang aku suka adalah, baju ini nyaman. Tidak panas, padahal harganya gak mahal, sekitar 50 ribu, aku agak lupa. Dan yang paling istimewa, baju ini tidak pernah terasa sempit. Padahal, tentu saja badan ini perlahan tapi pasti bertambah angka kiloannya. Disaat baju yang lain “berguguran”, baju ini tetap aku pakai sampai detik ini.

Aku putuskan untuk membawa baju ini ke perjalanan haji dua tahun yang lalu. Dan, guess what? Ternyata sewaktu aku di Mekkah, aku menginap di daerah Misfalah!! Baju ini ternyata “pulang kampung” hehehe..

*maaf yah si Misfalahnya kuleuheu, abisnya bekas make hehe

Monday, August 24, 2009

Cerita Puasa

Cerita puasa dari masa kemasa versi aku (yang aku inget tentunya):

Pertama puasa sekitar umur 5, pokoknya pas belum sekolah SD. Penuh sampai maghrib. Suatu hari aku makan ubi mentah, pas lewat kakakku yang lagi duduk-duduk sama temannya, ubi itu aku sembunyiin di belakang badan, takut kakak aku minta. Tapi ketahuan, si Dodi Batal! Si Dodi Batal! Yah..aku lupa kalau hari itu lagi puasa. Langsung deg2an. Akhirnya dilanjutin dengan gak puasa, karena belum ngerti hehe. Padahal pas maghrib Apih sudah menyiapkan hadiah kejutan, yaitu kaset kompilasi lagu anak-anak, seperti balonku, kebunku dll. Senangnya.

Pas kelas 1 SD, diajak ngabuburit sama anak yang jauh lebih gede. Jalurnya: Sarijadi – Setra Sari - Karang Setra – Sukajadi – Pasteur dan balik lagi ke Sarijadi. Anjrot! Aku kecapean, sampai di gandong segala. Beberapa kali istirahat. Pas nemu mata air, langsung aku minum. Nyampe rumah jam 4 sore. Langsung tidur dan buka pas maghrib.

Pas kelas 3, disuruh ngebantuin ibuku masak. Si Amih mau masak sayur sop. Diam-diam aku ambil baso mentah satu biji, masuk ke kamar mandi, terus dikunci. Baso itu aku makan hehehe.

Kelas 4, aku, Apih, kakakku pergi ke alun-alun buat cari baju lebaran. Karena kelamaan aku gak tahan, akhirnya aku merengek untuk batal. Si Apih terpaksa membelikan aku teh botol.

Pernah aku beli lotre endog cakcak yang berhadiah macem-macem, piring, mainan, permen karet, gelas, dan banyak lagi. Suatu waktu aku menang. Hadiahnya Rinso sachet. Aku bawa kerumah. Pas ibuku pulang dari kantor aku menunjukannya. Dan menyangka aku dikasih tim promosi Rinso. Tapi langsung marah besar pas tahu itu didapat dari hasil lotre, dan bilang: MATAK BATAL SIAH PUASANA!!

Mesjid Al-Hidayah deket rumah adalah tempat favorit buat ngikutin ceramah subuh dan sholat tarawih. Selain itu memang aku harus nulis ceramahnya sih. Rekor terburuk: males nulis ceramah, mending nyalin dari ceramah yang ada di Koran PR. Rekor terbaik: nulis semua ceramah kuliah subuh dan tarawih, bukunya sampai dua jilid. Hoek hahaha.

Kegiatan setelah sholat subuh adalah maen badminton, setelah agak terang dilanjutkan maen monopoli. Sorenya jalan-jalan atau pernah ngebantuin bu Salimin, tetanggaku, nungguin dagang kolek. Suatu kali pas lagi membersihkan kolek pake kain serbet gak sengaja pecah satu bungkus. Tapi ke bu Salimin aku bilang pecah dengan sendirinya. Punten nya, bu!

Petasan adalah hal yang biasa di komplek sarijadi. Aku juga kadang beli. Tapi kejadian fenomenal yang aku inget adalah rusaknya jempol si Uli, tetangga aku gara-gara petasan sampai diamputasi dan kedatangan dua polisi ke rumah Maman, tetanggaku juga, karena dia menjual petasan.

Pas lagi SMP, kegiatan favorit ngabuburit adalah baca buku Asterix, Johan Pirlouit, Steven Sterk, Petualangan Bur, Smurf, Lucky Luke, Nina, Trio Wiluka, Arad & Maya, dan banyak lagi. Semuanya kita sewa di taman bacaan Puragabaya. Patungan aku, Candra, Anggia dan Hendrik. Tapi diantara semuanya, favorit aku dan Candra adalah buku panduan berkemah yang dipinjam Candra di perpustakaan SD Sejahtera tapi gak pernah dikembaliin hehe.

Pas SMP juga, aku dan Candra punya agenda tahunan, yaitu beli baju lebaran bareng (terutama zaman keemasan: Country Fiesta, Posh Boy, Hammer, Osella, Giordano, OXA, dsb) dilanjutkan dengan buka puasa bersama diluar, seingetku kita pernah buka di KFC Palaguna, Canary Pizza (kangenn!!), dimana lagi ya?, lupa.

Jaman SMP-SMA, aku, Candra dan Hendrik sering ngabuburit ke Curug Aleh, dari mulai masih murni, sampai mulai diakuisisi oleh Studio Nyoman Nuarta. Setelah ditutup, kita pindah ke sawah deket sana (sekarang jadi perumahan Setra Duta). Disana ada dua saung (gubuk) favorit kita. Disana kita hanya ngobrol sambil terkadang membawa buku pelajaran atau buku cerita. Suatu hari kita bertemu dengan anak kecil yang ternyata bernama Dedi. Dia senang melihat majalah yang kita bawa. Kita menyebutnya Dedi si anak Desa hahaha.

Dan cerita itu semoga terus bertambah, walau setiap tahun terus berlalu.

Ken Brekke

Hari pertama kita menginjakkan kaki di Marrakesh, merupakan hal yang buruk. Dan sosok yang menyelamatkannya adalah Ken, yang kemudian nama lengkapnya kita ketahui sebagai Ken G. Brekke.
Walaupun dari yang kita baca sebelumnya kita tahu Marrakesh sangat banyak dengan wisata cultural, tapi dengan serta merta kita kehilangan minat dan bingung mau apa. Syukurlah Ken ternyata memiliki paket wisata yang dia kelola sendiri. Dia menawarkan paket jalan-jalan full day ke High Atlas dan Essaouira. Rony, yang punya hasrat terpendam untuk melihat salju langsung menunjuk High Atlas sebagai tujuan utamanya.

Hari kedua kita di Marrakesh sudah kita sepakati pergi ke Imlil. Sebuah kawasan High Atlas. Kita pergi dengan menggunakan mobil Fiat Uno hijau model kuno punya Ken. Untuk mencapai garasi sewaan tempat Fiat itu diparkir, kita menelusuri lorong-lorong medina Marrakesh. Tidak lagi menakutkan. Selagi kita pergi bersama Ken, nothing to worry!
Ken merupakan sosok British yang sangat menyenangkan. Gaya bicaranya mengingatkan aku akan Simon Cowell. Mannernya mengingatkan aku akan tokoh-tokoh butler di cerita Enyd Blyton. Sangat sopan tapi tidak terkesan berlebihan. Sangat rapid an telaten. Cocok banget dengan Rony, si bagian umum Schlumberger cabang Sudan. Hahaha. Caranya menata meja untuk sarapan cepat dan rapi.
Kesan bodor garing orang Inggris sama sekali tidak ditemukan pada Ken.

Fiat Uno memang mobil yang cocok di Marrakesh. Gesit untuk bergerak di jalan sempit kawasan kota tua. Tapi tidak lamban di jalan luar kota. Tata cara nyetir Ken sangat disiplin. Sambil nyetir dia bercerita banyak tentang banyak hal, pemerintahan Maroko, awut2annya peraturan lalu lintas disana, cerita-cerita lucu, perjalanan hidupnya yang sebagian besar dihabiskan di Eropa. Dia lahir di Inggris, akan tetapi besar di Norwegia dan pernah juga tinggal di Jerman. Tapi bahasa Jermannya dia bilang agak rusty. Dia sebetulnya seorang perawat walau sering bekerja di biro wisata. Setelah bekerja di sebuah biro travel di Maroko, dia akhirnya memutuskan untuk memiliki Riad dan mengelolanya sendiri.

Pemberhentian kita pertama adalah Moulay Ibrahim. Sebuah desa kecil di tepi gunung. Tidak ada yang istimewa di desa itu, kecuali kebersahajaan sebuah desa kecil biasa. Setiap orang sepertinya hanya duduk-duduk di depan rumahnya, ada yang berdagang dan bertani. Walau tak istimewa tapi aku cukup kagum dengan “rasa asli” desa tersebut. Di desa itu ada sebuah tempat yang dipercayai bisa membuat hamil. Dikarenakan tak ada seorangpun diantara kita yang berminat hamil, maka kami tak memasukinya. Lagian terlihat agak kotor.

Keluar Moulay itu kami menelusuri jalan yang cukup lengang. Terlihat bukit berwarna kuning karena jerami yang sudah matang. Diantara warna kuning yang mendominasi itu, seringkali tersembul sebuah ataupun sasegundukan bunga poppy berwarna merah yang cukup kontras.

Satu hal yang aku sangat kagumi akan alam Maroko adalah non stop pemandangan yang selalu berubah. Apalagi jika kita menempuhnya dengan mobil. Sepanjang perjalanan pemandangan di kanan kiri kita selalu berbeda, dari kawasan gersang tanah berwarna merah, padang rumput penuh sampah, semak-semak, kebun olive, hutan pinus, ladang, hamparan jerami yang sedang dipanen, tanah luas yang dijadikan lapangan sepakbola, rumah-rumah dari pasir, pedagang cendera mata berupa fosil dan gerabah, gembala berjas dengan sekumpulan domba, lembah curam, tebing cadas, sungai jernih, dan yang mengagumkan aku adalah kawasan luas bunga-bunga poppies berwarna merah dan kuning kadang dihiasi bunga violet berwarna biru. Semua berubah dalam tempo yang cepat. Nyaris tidak sempat untuk turun dan mengambil foto. Kalau ada tempat yang benar-benar kami tak tahan untuk turun, kami sering meminta Ken untuk menepi.

Akhirnya kami sampai di Imlil. Ternyata agak sulit mencari tempat parkir. Banyak turis lokal yang berdatangan rupanya. Ken menjanjikan sebuah kawasan yang baik untuk mengabadikan High Atlas. Sebelum setuju touring dengan Ken, kita sudah menjelaskan keinginan kita dengan cukup jelas. Tidak ada belanja di toko souvenir dan tidak ada hiking. We’re not looking for any kind of sport here hehe. Tapi kali ini tak ada cara lain. Untuk mencapai sebuah spot, yang ternyata sebuah café mewah di Imlil, kita harus berjalan menanjak. Sial! Walau kawasan itu indah, penuh dengan pinus dan cemara dan berudara sejuk, tapi aku tetap kepayahan. Sebetulnya jarak tak terlalu jauh, hanya saja memang menanjak. Di awal pendakian banyak yang menawarkan jasa keledai. Tapi aku tak berminat sedikitpun. Bayangan jatuh dari hewan ringkih itu jauh lebih menyeramkan dari perjalanan mendaki sekalipun.

Aku mulai mendaki. Diselingi beberapa kali istirahat. Sialnya Ken tidak sedikitpun terlihat lelah. Padahal umurnya jauh dari aku!

Akhirnya sampai juga kami di sebuah café itu, cafenya terlihat elit dan mahal, tapi Ken seperti tak peduli, langsung dia ngobrol dengan penjaganyanya. Kami tak harus membayar apa-apa, cukup membeli air mineral saja. Di Imlil ini si café ini adalah spot terbaik untuk melihat pegunungan Atlas ini. Rony pun tak menunggu lama. Langsung menyiapkan kamera dan berkonsentrasi mengambil gambar. Aku sih duduk-duduk saja melepas lelah hehe. Lagian anginnya sangat sejuk. Cocok untuk menikmati pemandangan gunung biru bersalju, sungai dan pemukiman kuno orang Bedouin.

Setelah puas kita berjalan turun dan langsung makan di Café du Soleil, disana aku makan crouchet ayam, semacam sate, tapi potongannya besar dan tusukannya pake besi.

Besoknya kami deal-dealan dengan Ken, untuk kembali meminta kami mengantarkan ke bagian lain High Atlas. Kali ini tujuan kami adalah Oukaimdn. Sebuah kota kawasan ski di musim dingin. Tapi sepi di musim panas. Jaraknya kurang lebih sama dengan jarak ke Imlil. Tapi lagi-lagi pemandangannya menakjubkan. Kali ini kami masih disuguhi tanaman aneka warna, orang dengan aneka baju. Disini aku melihat ibu-ibu memakai baju merah terang sedang menggiring dua ekor sapi besar. Anak-anak banyak yang menghampiri kami dan meminta uang, kalau kami kebetulan sedang berhenti mengambil foto. Anak-anaknya sangat lucu dan berparas artis dan model, hanya saja mukanya coreng moreng dan pakaiannya sobek disana sini. Jalan yang kami ambil menanjak. Di kiri kanan jalan terlihat jurang berbatu berpadu dengan mata air, sungai, ceruk sempit, rumah, pondok gembala, dan akhirnya: hamparan padang rumput dan danau. Aku tak sabar untuk meminta berhenti dan terlentang diantara rumput, bunga poppies merah. Tapi kata Ken, mending nanti pas pulangnya saja.

Di jalan Ken bercerita dua hal yang paling ditakuti dan dihindarinya. Naik unta dan naik ski lift. Aku mentertawakannya, masa dia sepenakut itu. Jadi ketika kami diantarkan Ken ke tempat ski lift, dia bilang dia gak akan ikut. Walau dibayar sejuta dollar pun. Ya sudah kami berdua saja yang naik. Naiknya mudah saja kok tinggal duduk manis dan tunggu keretanya mendaki. Menyenangkan. Tapi ternyata kesenangan itu hanya bertahan di lima menit pertama.

Menit berikutnya jarak semakin curam, dibawah terlihat batu cadas runcing mengerikan. Angin semakin kencang dan dingin. Kereta berguncang. Ah sial. Ini ternyata yang ditakutkan Ken! Aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sebetulnya kereta terlihat aman-aman saja. Hanya saja guncangannya ini membuat kami ketakutan. Ceracau, do’a bahkan gelak tawa keluar dari mulut kami. Tapi akhirnya tempat pemberhentian terlihat juga. Aku pikir kereta akan berhenti di tempat berhenti itu, ternyata tidak, kereta terus maju dan kami harus lompat. Ah menyebalkan sekaligus mengerikan!

Aku bersyukur setelah turun dari kereta itu. Tapi alhamdulilah pemandangan sekeliling sungguh menakjubkan. Kami dikelilingi gunung-gunung bersalju yang terlihat sangat dekat. Dingin tentu saja. Tapi keinginan Rony terwujud saat itu, dia bisa melihat onggokan salju yang masih tersisa. Bentuknya seperti es serut sih.
Setelah puas menikmati keindahan spot itu, kami harus berhadapan dengan kenyataan bahwa jalan pulang satu-satunya adalah kembali menaiki ski lift yang menakutkan itu. Kalau lompatan tadi pas turun saja menakutkan, menaikinya kembali ternyata lebih menakutkan. Tidak seperti pas naik di awal tadi, kita harus cepat-cepat naik kereta yang melewati spot naik/turun itu. Terlambat sedikit kita masuk jurang. Aku benar-benar ketakutan. Tapi memang tak ada cara lain. Syukurlan kami berhasil lompat naik, dan untungnya Rony sigap langsung mengunci besi pengaman karena aku terlalu gugup untuk melakukannya.

Perjalanan turun tak jauh beda dengan naik, angin kencang dan dingin masih mengguncang kereta kami. Tapi walau begitu, kalau berpapasan dengan kereta lain kita masih menyempatkan dadah-dadahan hihihi.
Setelah turun, Rony langsung mengambil foto sungai jernih yang letaknya tak jauh dari tempat pemberhentian. Asalnya mau slowspeeding, tapi tampaknya tidak berhasil, spot untuk mengambil gambar terlalu basah.

Setelah makan di warung kecil, Ken menepati janjinya untuk mengunjungi danau dan menghabiskan waktu berfoto ria disana. Ahh sungguh menyenangkan.

Hari itu hari terakhir kami di Marrakesh. Sebelum pulang Ken meluangkan waktu untuk memperlihatkan foto-foto dia ketika menjadi figuran banyak film. Diantaranya Gladiator yang memang bersetting di Maroko. Ketika kami akan pergi menuju Tangier, Ken berpesan untuk menggunakan taksi yang menggunakan argo. Bahkan akhirnya Ken mengantarkan kami saking khawatirnya. Ketika kami menyetop taksi dan supirnya tak mau menggunakan argo, Ken marah dan mengancam sopir itu untuk dilaporkan ke polisi. Ah, Ken memang baik. Kami berpelukan dan berpamitan.

Terimakasih Ken.

Friday, August 21, 2009

Ramadhan dimulai lagi!

Tak terasa nanti malam tarawehan hari pertama. Perasaan excited, bergairah, tak sabar menunggunya.
Ramadhan kali ini merupakan Ramadhan kedua aku di kota lain selain Bandung. Setelah dulu, tahun 2002, di Semarang. Masih tercetak jelas di ingatanku hari pertama sahur di Lemah Gempal, Semarang. Aku dan Mas Ari, tetangga kostanku mencari-cari warung nasi untuk makan sahur. Setelah berjalan cukup jauh akhirnya kita menemukan satu warung padang yang buka. Tapi apa daya, yang tersisa hanya nasi dan dua buah perkedel, jadi masing-masing satu. Hahaha. Alhamdulillah.
Sekarang hari pertama Ramadhan aku mulai di kostanku di Medan. Belum tahu, mau beli dari sore terus simpen di Magicom, atau beli dadakan, atau langganan catering. Masih belum jelas. Apapun itu mudah2an menyenangkan seperti Ramadhan-Ramadhan terdahulu.

Ramadhan selalu meninggalkan kesan terdalam di dadaku. Bahkan sebelum memulainya sekalipun. Selalu merindukan Ramadhan. Mudah2an selalu diberi umur untuk menikmatinya.

Selamat beribadah Ramadhan semuanya! Mohon maaf lahir bathin!

Monday, June 29, 2009

Liburan Hadiah

Hari itu sepertinya hari Jum’at standar biasa. Seperti biasa, rencana dibuat. Standar lah, pesen tiket M-tix buat nonton di Sun sabtu, minggu kayaknya renang dan belanja buku bekas. Excited. Tapi tidak ada yang istimewa.
Itu pikirku. Alloh ternyata punya rencana lain.

Siang hari ada 3 missed
call. Oops. Dari atasan aku. Aku telepon balik. Ternyata ada suruhan untuk menghadiri sosialisasi aplikasi baru di Jakarta! Tanpa pikir panjang aku langsung minta tolong order tiket Medan-Jakarta buat sore sepulang kantor. Bandunggggggg here I come!!!!
Setelah menjejakan kaki di rumah jam 1 malam. Tertidur 2 jam kemudian. Selebihnya hidup aku seperti di fast forward. Berjuta giga byte kejadian diterima seluruh indera tubuhku. Semuanya indah, semuanya tak terduga, sepertinya hidup tanpa rencana pun tak apa. Tidak ada yang biasa dalam hari-hari aku di Bandung kali ini.

Dimulai dengan bangun pagi. Pergi ke toko kue, hanya sekedar ingin sensasi bau dan warnanya, aku tak sedikit pun memakannya. Terus ke SMA 2, hanya untuk melihat dan mendengar gurauan dan obrolan guru-guru disana. Jika aku memiliki jubah tak terlihat a
ku ingin menggunakannya. Tak apa dianggap tak ada. Aku benar-benar merindukan sejuta obrolan dan keceriaan orang lain. Walaupun benar-benar tak terlibat.
Berlanjut ke Ciparay, ke rumah Herlan, berkumpul bersama teman-teman Call Center Bandung, kembali tertawa dan mengumbar cerita sepanjang perjalanan. Di Ciparay aku tak tahan hanya sekedar mendengar dan merasakan. Aku kembali ke kebodohan lama. Si Cerewet Dodi Purwana. Mancing ikan, makan, ngobrol, makan, tertawa, makan, tertawa kembali, makan lagi, sepertinya hari itu tak pernah akan berhenti. Pulangnya jauh, lewat Sapan, tapi aku gak keberatan sama sekali, karena kita tertawa sepanjang perjalanan. Aneh, bahan ketawaan kita sepertinya gak habis-habis.

Selepas maghrib, ke H. Yasin, ngajak yang (seringnya) sudah gak kuat ingin jalan-jalan main. Sebelumnya kembali ngobrol dan berbagi keceriaan. Sejuta bahagia terbit di dada melihat keceriaan seisi rumah. Jalan-jalan kali ini beda. Aku ingin ke Lembang. Dari Selatan Bandung di pagi hari, ke utara di malam hari. Hahaha. Kembali menikmati dinginnya Lembang, entah kapan terakhir aku kesana. Makan colenak, ketan bakar, jagung bakar (tak peduli nyelap di gigi juga), sate kambing, minum kopi dan lemon tea. Tak terasa hari sudah malam, nyampe rumah jam 1 malam
.
Bangun subuh untuk sholat. Terasa berat. Mengingat di Medan, adzan subuh baru jam 05.15. Setelah sholat harap-harap cemas, jadi gak ya rencana jalan2 kemarin? SMS baru terbaca jam 7 lebih, padahal dikirim dari jam 6 kurang. Gara-gara ga liat di hape yang satunya lagi. Tapi sekali lagi, takdir Alloh memang diatas segalanya. Semua ini sudah direncanakanNya menjadi sebuah paket Tour sempurna buat aku. Aku orang yang beruntung.

Sampai di SMA 2 jam setengah delapan, bareng dengan kepala sekolah. Kita akhirnya pergi ke Limbangan, Garut untuk menghadiri undangan syukuran kelulusan salah satu murid setelah itu baru ke Buah Dua, Sumedang. Aku gak peduli stamina ku akan kuat atau tidak. Themanya kali ini adalah ‘Just Do It!’ Tempat acara tepat di depat mesjid Al-Mahdiyin. Sebuah rumah besar dengan halaman besar pula.
Acaranya biasa, sambutan demi sambutan, khotbah, qasidahan dan makan tentunya. Sambutan dan khotbah sepertinya sebuah acara yang membosankan. Tapi tidak! Walau sambil facebookan di handphone aku menikmati isi khutbah dan sensasinya. Sensasi apa sih? Baya
ngkan berada ditengah-tengah kepala sekolah, guru-guru SMA baik yang ngajar aku dulu dan aku kebetulan tahu, ataupun guru-guru baru. Ternyata didalam hati aku masihlah seorang murid SMA. Hahaha. Gaya khutbahnya klasik sunda, bahasa sunda (tentunya), humor-humor sunda dan tak terlewat lagu-lagu dangdut dan sunda. Dilanjut qasidahan segala. I missed them soo much, ternyata. Aku baru menyadarinya. Makanannya pun enak!!!
Tepat adzan dzuhur aku meninggalkan rumah besar itu untuk menuju Sumedang. Lewat Parakan Muncang. Ke Cadas Pangeran. Aku belum pernah nyetir kesana! Aku tak lupa menelepon Maknya Kanjeng Gusti Metti Muliawati (Miss You Mak!), sang kuncen Sumedang. Setelah melewati alun-alun otomatis membuat otak aku seperti membuka kembali lembaran masa KKN tahun 1999. Apalagi setelah berbelok ke Paseh. Tak sabar rasanya untuk sampai ke Conggeang. Kecamatan tempat aku KKN.
Ternyata tempat pemancingan tujuan kita bukan di Buah Dua, tap
i ada tak jauh dari Conggeang. Sampai di pemancingan jam 2, sudah banyak ikan yang berhasil didapat. Aku tidak ikut mancing, hanya menonton saja. Sudah banyak karyawan SMA 2 yang mancing. Sambil nunggu balong dibedahkeun, aku dan Pa Toto mencari kopi, sudah mulai sakaw. Sengaja aku ke warung dekat alun-alun Conggeang, warung tempat aku nangkring dulu, sekaligus ngehutang kalo gak punya uang hehe. Aku juga menyempatkan mengunjungi rumah dinas pengairan yang dulu jadi penginapan sekaligus basecamp KKN aku. Sayangnya sekarang sudah porak poranda.
Setelah melihat balong tempat mancing mulai sedikit airnya. Aku sudah mulai gak kuat ingin anclub dan ngagujubar (apa sih bahasa Indonesia yang kesannya benar2 sama?—terjun kali ya). Conggeang itu sangat kaya air. Waktu KKN mengunjungi Cipulus, —sebuah mata air jernih nan sejuk— adalah agenda yang rutin kita jalani. Haha tapi si bapa kayaknya lebih parah dibanding aku. Sampai hulang huleng mikirnya. Tapi itu tak kami lakukan.

Setelah mulai agak sore, kami ke rumah Pak Kusnadi, guru Bahasa Indonesia, sang tuan rumah. Rumahnya tipikal rumah jaman dulu, dan sumpah, benar-benar Conggeang. Rumah agak kuno dengan kolam ikan di depannya. Tapi satu hal yang kembali mengejutkan adalah kemudian dia mengajak kami ke Citiis sebuah kolam mata air jernih seperti pemandian dewi, dan aku tidak merasa melebih2kannya. Aku tak tahan lagi. Tak lagi peduli dengan urusan baju ganti dan apapun. Aku masuk ke kolam itu dengan celana panjang digulung. Tidak berg
una. Karena jelas-jelas airnya sampai sepinggang. Aku makin tak peduli lagi kubuka kaos, mengeluarkan segala isi saku (uangnya ketinggalan hehe) dan langsung berenang. Aku belum pernah merasa sebebas itu rasanya. Air super dingin dan perasaan tak peduli dengan semua pikiran logis seperti meledak membuat sebuah euphoria. Bapa dan Pak Usep (guru olahraga aku dulu) juga kemudian menyusul. Kami seperti anak kecil hari itu. Aku tak tahan berenang kesana kemari, memfoto apapun yang aku temui, kegelian karena kakiku digerayangi ikan kecil dan akhirnya tertawa seperti tanpa henti, menertawakan urutan kejadian dari kemarin yang benar-benar seperti sebuah hadiah kejutan untuk aku. Hanya aku spesial dari Alloh SWT. Semua kelelahan dan sakit kepala yang sebelumnya aku rasakan hilang musnah.
Setelah puas kami pulang ke rumah Pak Kus. Sholat dan akhirnya makan ikan hasil pancingan. Kami pun akhirnya pulang. Gara-gara gak bawa celana ganti, aku nyetir dengan menggunakan sarung tanpa celana dalam hahaha. Aku masih tak peduli! Aku sangat bahagia.

Pulang sampai rumah, aku masih belum kelelahan. Tapi aku harus tidur, aku harus pergi jam 4 subuh untuk training di Jakarta. Tadi subuh aku meninggalkan Bandung. Tanpa sadar aku terharu, di perjalanan aku mendengar sayup-sayup adzan subuh. Biasanya aku mendengarkan suara adzan setelah sampai di bandara. Tidak kali ini. Dan aku masih bahagia.
Terimakasih semuanya.
Terimakasih Alloh. Allohu Akbar.

Friday, June 26, 2009

Marrakesh -- The Fun

Karena hari masih terang, Ken menyarankan kita untuk mengikuti city tour menggunakan bis “Marrakech Tour”, sebuah bis dua tingkat, tingkat atas terdiri atas deretan bangku tanpa jendela dan atap, sehingga para turis dapat menikmati pemandangan dengan bebas. Dalam perjalanan ke bus stop terdekat, kita menemukan seorang turis wanita sedang bertengkar dengan penduduk lokal yang menuduhnya mengambil foto tanpa izin, si penduduk memaksa si turis untuk membayar, sedangkan si turis keukeuh merasa gak ambil foto dan tak mau membayar. Terdengar teriakan si turis, You’re crazy, I’m going to tell the Police! Trauma pertengkaran beberapa waktu dengan si ABG itu seakan teringatkan kembali.
Paksaan-paksaan dan perdebatan2 itu kelak menjadi sebuah hal yang biasa di Marrakesh ini. Pokoknya apapun yang dilakukan, saranku adalah tawar di awa
l!! Marrakesh ini sangat mengagumkan, tapi aku gak yakin akan bertahan lama jika hal ini tak segera dibereskan. Setelah sampai di bus stop yang tidak jauh dari Djema El Efna, kita agak menunggu sebentar, yang kita gunakan tentunya untuk foto2. Kita membayar 130dh/orang. Bus ini melewati 18 spot, dan kita bisa turun dan naik di bus stop manapun selama dari pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore. Bus stop ini seharusnya dilengkapi dengan colokan headset untuk mendengarkan guide menerangkan cerita masing2 spot, tapi pas aku colokin malah mendenging.
Spot yang pertama kita temukan adalah Kasbah La Mamounia, tempat tinggal sultan, di luar gerbangnya terdapat warung yang berwarna warni menjual aneka buah-buahan dan barang lainnya. Warnanya sangat kontras dan aneh dimataku. Sayangnya mereka gak suka difoto, ada turis yang memegang kamera saja mereka sudah teriak
no photo! no photo! Ihh suka kegeeran deh hehe. Tak jauh dari Kasbah itu terdapat istana yang dijaga oleh dua penjaga di gerbangnya, kawasan ini samasekali tidak boleh difoto.
Berikutnya adalah sebuah villa art deco yang dibangun
tahun 1925 yang kini menjadi Hotel Le Marrakech. Didepannya terdapat Cyber Park, sebuah taman rimbun, penuh pohon eucalyptus (ini kan makanannya Koala ya?). Banyak orang hang out disana. Tampak seperti menyenangkan sih. Dilanjutkan ke kantor pariwisata yang tidak terlalu istimewa dan Hotel Agdal yang katanya merupakan sisa bukti keberadaan Dinasti Almohade, tapi menurut aku hotel itu seperti bangunan 80an biasa.
Dilanjutkan ke Royal Theatre, Gedung Kongres dan Royal Mirage. Di Royal Mirage ini kalo di foto sih kita bisa melihat pegunungan bersalju, tapi sayangnya kita hanya mengunjungi gerban
gnya saja. Sudah keburu tutup. Kemudian kita mengunjungi Hivernage, sebuah kawasan yang asri, hotel-hotel mahal dan rumah-rumah elit. Sangat menyenangkan melihat kawasan ini, disini pula kita melihat sebuah kasino. Hal yang aneh di sebuah negara islam. Sambil menuju ke arah pemberhentian selanjutnya kita melihat sisi lain dari Marrakesh, sebuah kawasan modern lengkap dengan sidewalk café, mcDonalds, outletnya Zara, dan butik maupun antique shop modern. Dan oiya, sepanjang jalan penuh pohon jeruk lengkap dengan buahnya lho, nice view!
Spot terakhir adalah Koutoubia, salah satu mesjid terbesar, yang kalau dilihat dari luar sih seperti kastil dengan minaret yang sangat besar. Mesjid ini kabarnya merupakan tiruan mesjid di Seville, Spanyol.
Berada di atas bus itu terus terang saja memberikan
kenyamanan dan kelegaan. Bisa menikmati kota tanpa harus repot bertemu orang-orang mengganggu yang untuk saat itu aku hindari terlebih dahulu. Setelah kembali ke riad sejenak untuk mandi dan beristirahat, kita memutuskan untuk ke Djema El Efna. Sumpah, keramaian disana benar sebuah hal yang unik dan indah. Ramai dengan pemandangan aneh juga ramai dengan suara yang bercampur aduk. Ada yang atraksi ala capoiera, snake charmer—itu loh yang niup suling biar ularnya nari, gerombolan ala tagonian, pembuat tattoo pake heina, storyteller, dan macam-macam, ditambah lagi yang jualan macam-macam baju, rempah, bumbu dapur, kadal yang dikeringkan, jus jeruk (uenak banget!), pajangan gigi (ga tau buat apa) dan entah apa lagi. Semuanya bersatu membuat keindahan dan keriuhan dalam saat yang sama. Disaat hari mulai gelap, suasana menjadi lebih ramai, hal itu dikarenakan warung-warung makanan mulai muncul, sinar lampunya menyemarakan lapangan luas itu. Satu hal yang baru lagi adalah asap dan bau makanan itu sendiri, yummm, sepertinya nikmat. Kita akhirnya mencoba makan disana, ada banyak macamnya, dari mulai hidangan biasa Maroko, seperti couscous, tajine and the gang, disana juga menyajikan kerang (kayak tutut kalo di Bandung), kepala kambing (yakk), macam-macam seafood, kue-kue, dan banyak makanan yang kita gak tau namanya.
Sayangnya semua itu hanya ada di kepala aku. Sulit rasanya menggambarkan suasana disana dengan sempurna. Apalagi ditambah kesulitan mengambil foto. Tapi kemudian kita melihat sebuah kafe tiga tingkat dengan balkon diatasnya. Rasanya akan menjadi tempat yang tepat untu
k Rony memuaskan hasratnya untuk mendokumentasikan Djema El Efna dengan nyaman. Kafe itu sangat ramai, ternyata banyak turis yang memang bertujuan sama. Kita tidak ditarik bayaran, kita hanya diwajibkan membeli minuman atau makanan di kafe tersebut pas kita masuk. Harga minuman mayoritas lebih mahal dibanding di warung, tapi gak mahal banget kok, misalnya Diet Coke harga normal 8dh disana dijual 12dh, sangat worthed. Lagian kita bisa selama mungkin disana hehe.
Suasana diatas kafe itu sangat nyaman, apalagi kalau kita dapat pas di bibir pagar. Kita bisa menikmati kesemarakan Djema El Efna dengan tenang tanpa gangguan. Rasanya betah berlama-lama disana, tak peduli hembusan angin yang sangat kencang. Kita menghabiskan tiap malam di Marrakesh selalu di kafe itu. Apalagi Rony memang membawa lensa tele sege
de bagong. Aku seperti melamun, tapi sebenarnya tak melamunkan apa-apa, hanya diam, melihat, mendengar dan menikmatinya. Tak pernah bosan. Kita pulang karena memang sudah lelah dan waktunya istirahat.
Dalam perjalanan pulang, sambil berdesak2an berjalan menuju ri
ad di gang-gang sempit medina, kita masih sempat belanja makanan, ayam bakar kesukaan Rony, cherry segar kesukaan aku, yummm segar, dan cherry itu murah! Sekilo hanya 15dh, tapi aku hanya beli 5dh aja. Bahkan kami sempat ke warnet segala, cuma sekedar pingin tahu ada apa kabar dunia facebook walau sesaat hehe. Akses internet disini super cepat! Harganya 3dh setengah jam, 6dh satu jam. Yang menyebalkan hanya keyboardnya. Diset untuk yang berbahasa perancis dan bahasa arab, contohnya tempat ‘a’ dan ‘q’ saling bertukar. Untuk dapet nomor harus sambil teken ctrl atau alt, ah bingung!

Sore hari sebelum meninggalkan Marrakesh, aku minta referensi Ken untuk ditunjukkan sebuah toko oleh2 yang gak maksa, nyaman, bahkan kalo bisa pake credit card. Dia menyebutkan Le Maison el Arabi dengan petunjuk belok kanan dan belok kiri yang membingungkan. Sebetulnya Marrakesh ini terkenal akan Souk atau pasarnya. Koleksinya lengkap dan dipisah menurut barang dagangannya, karpet, souvenir kecil, kulit, rempah, emas, baju dan lainnya, hanya saja ya itu, asal harus rela tersesat-sesat. Ken bilang, it’s alright to get lost, just enjoy the lost. Mmm, tampaknya bukan ide yang menyenangkan, dan kita ga segila belanja itu kok. Tapi kami akhirnya menyempatkan melihat pintu masuk Souk, asal tidak terlalu dalam, ok-ok aja, pikir kami. Wah banyak godaan ternyata, barang-barang nya beneran sangat menarik. Tanpa sadar kami ternyata melihat tulisan Le Maison el Arabi, toko yang diceritakan Ken.
Toko itu benar-benar seperti yang disebut Ken, masuk saja katanya, dan kau akan merasa seperti berada di gua Aladdin. Dia sama sekali tak berlebihan. Aku merinding. Belum pernah kulihat koleksi semenakjubkan itu. Penjaganya sangat ramah, apalagi ketika kita menyebutkan nama Ken. Dari perhiasan kecil seperti cincin, anting, sampai ke lampion, peti berbagai ukuran, kursi meja, sepatu melengkung, piring keramik dan logam, pedang, jubah, tas kulit kuno, cermin, bahkan daun pintu pun ada. Semua serba indah, antik dan sangat Maroko. Andai ku punya milyaran dollar, akan ku beli toko itu. Bahkan harganya bisa ditawar segala. Tidak terlalu murah memang, tapi sama sekali tidak mengecewakan.
Dari sebuah awal yang mengerikan, tak menyangka aku akhirnya bisa sangat menikmati Marrakesh!

Monday, June 22, 2009

Flash Back Intermezzo

Suka keingetan celotehan keponakan-keponakanku waktu kecil. Lucu.

Fanny: Sayur Nangka..Sayur Nangka..sampai berjumpa pulang
Amih (neneknya): sanes sayur nangka atuh, sayonara!
Fanny: ih amih mah sok tahu, saur bu guru ge sayur nangka
Amih: Kumaha maneh ah..
Tiffany, sekarang lulus SMA

Salman sedang memperhatikan Amih yang sedang mengelap meja.
Salman: Amih..ini kan rumah amih?
Amih: Iya. Kenapa?
Salman: Amih kok kayak pembantu?
Amih: hihihi..aduh siah urang disebut pembantu ku incu!
Salman, sekarang kelas 2 SMP

Aku: Amam, kenapa gak main diatas, tuh Aa lagi main PS..
Tamam: Engga mau.
Aku: Kenapa? biasanya juga suka main PS.
Tamam: Gak mau ada nenek-nenek.
Aku: Itu nenek kamu tahu!
Tamam, sekarang kelas 3 SD, udah ga takut lagi sama nenek-nenek.

Aku: Zaki, om dodi beli anggur tuh.
Zaki: gak mau.
Aku: Enak tau.
Zaki: Aku gak suka buah-buahan.
Aku: Kenapa?
Zaki: Soalnya kalo makan buah2an, eeknya suka gak bagus.
Zaki, sekarang kelas 3 SMP, ketua OSIS.

Hari ini keponakanku secara resmi menjadi 14. Welcome to the world little one!

Monday, June 15, 2009

Marrakesh -- The Hassle


Marrakesh adalah boleh dibilang tujuan utama Maroko. Kota ini yang selalu banyak dibicarakan orang. Hal ini pula yang membuat aku sangat bersemangat menuju ke kota ini. Aku berharap akan keindahan arsitek dan luapan kebudayaan Maroko akan aku dapatkan disini. Sebelum pergi ke negara ini, aku sudah memesan penginapan di Riad (rumah khas Maroko) dan bukan dihotel. Saking inginnya mencicipi kebudayaan asli Maroko.
Berangkat pagi hari dari Casablanca menggunakan kereta kelas 1 pukul 08:50. Kereta di Maroko ini hebatnya selalu tepat waktu. Dari seluruh perjalanan kereta api yang kita gunakan di negara ini hanya satu kali saja kita mengalami keterlambatan, itupun hanya 5 menit gara-gara kabarnya ada anak kecil tertabrak kereta api, dalam perjalanan Tangiers ke Fes.
Tiba di Marrakesh pukul 12:05. Stasiun keretanya sangat bersih, indah, dan terlihat masih baru. Kita menemukan KFC disana, tanpa pikir panjang kita langsung membeli dan berencana untuk memakannya di penginapan.
Setelah itu kita langsung mencari taksi. Lonely Planet menyarankan kita agar berhati-hati terhadap supir taksi. Menawar di awal atau gunakan argo. Syukurlah kita mendapatkan supir yang jujur, ongkosnya hanya 12dh, lebih rendah 8dh dari yang disarankan Lonely Planet. Kita diturunkan di sebuah jalan dekat Djama El Efna, sebuah lapangan kosong luas semacam alun-alun yang merupakan daya tarik utama kota ini.
Aku agak
terkejut dengan kota ini. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah turis dan pedagang. Sialnya cuaca Marrakesh cukup panas dan anginnya kering.
Riad yang aku pesan bernama Dar Mauresque. Petunjuk yang tertera di website adalah, cari Café de France, kemudian ikuti jalan, dan cari Gang bernama Derb Jdid kemudian ikuti sampai
menemukan rumah nomor 132. Atau tunggu saja di café tersebut, akan ada orang yang mengantarkan sampai ke penginapan. Ok, terdengar mudah dan simple. Hal yang salah. Sangat salah.
Sambil menggeret kopor masing-masing dan bungkusan KFC kita mencari-cari jalan utama itu. Bahkan kami tak yakin apakah tempat kami berdiri ini adalah Café de France atau bukan. Habisnya gak ada yang menunjukan itu. Yang ada adalah Restaurant de France. Beda kan? Akhirnya Rony memutuskan pergi sendiri mengandalkan GPS di Nokia Mapnya. Aku menanyakan ke beberapa orang yang berlalu lalang. Tapi mereka tak tahu. Selagi Rony pergi, aku akhirnya bertanya ke salah satu waiter di restoran ini, dengan bahasa Inggris yang nyaris tidak berguna. Akhir
nya aku mendapat kepastian kalau tempat yang aku diami sekarang adalah benar Café de France. Tapi dimanakah orang yang mengantarkan aku ke Riad itu? Si waiter pun tak mengetahuinya.
Akhirnya Rony datang dengan wajah kesal. Dia tak menemukannya. Kami pun menyerah dan menanyakan ke seorang ABG yang dengan senang hati mengantarkan kami. Di tengah jalan dia mengajak ABG lainnya, jadi total sekitar 4 orang. Kami melewati gang berkelok-kelok. Kalaupun petunju
k di website itu lebih detail, kami tak yakin akan bisa menemukannya. Kami pun akhirnya berhenti di sebuah pintu bertuliskan angka 132. Tak ada tulisan apapun. Setelah memencet bel keluar seorang wajah pemuda Arab yang mempersilahkan kami masuk.
Permasalahan muncul disini. Si ABG itu meminta uang,
kami pun tak keberatan, kami memberi 20dh, mereka tak mau, katanya uang sebesar itu hanya untuk bayi dan melemparkannya. Mereka meminta 200dh. Sial, suasana makin gak enak, penuh tawar menawar yang terdengar seperti ancaman dan teriakan. Aku pun memperlihatkan isi dompetku yang kebetulan hanya berisi uang Rupiah. Salah seorang dari mereka mengambil uang 20.000 rupiah dan bilang semua beres. Ok. Monyet-monyet sialan.
Kami pun melepas lelah di tengah Riad. Riad sendiri adalah rumah dengan gerbang kokoh tertutup, dan semacam plaza ukuran mini di tengah-tengah pusat rumah. Biasanya ada kebun dan air terjun melengkapi kursi dan meja disana. Tapi Riad yang kami tempati tidak memiliki kebun ataupun air mancur. Hanya meja makan dan beberapa kursi. Tapi yang menakjubkan adalah detailnya. Rumah ini penuh dengan tegel dan keramik dengan motif khas Maroko. Bahkan lengkap dengan seekor kucing yang katanya berumur dua belas tahun bernama Popsie. Andai mood kami bagus saat itu, kami akan super excited. Tapi baru saja kami selesai duduk melepas lelah dan memasukan barang ke kamar. Terdengar bunyi bel.
Kemudian
terdengar percakapan dalam bahasa Arab antara Yasin (pemuda Arab yang membukakan gerbang tadi) dengan si pemencet bel. Semakin lama terdengar seperti pertengkaran. Aku mulai gak enak. Sepertinya si monyet-monyet itu kembali. Tak lama kemudian datang seorang bule separuh baya dengan kaca mata Rayban Aviator masuk ke Riad. Aku langsung lemas. Mungkin dia pimpinan preman2 sialan itu.
Dengan bahasa Inggris logat yang sangat Inggris sekali (mengingatkanku akan Simon Cowell) dia berkata kalau ada sekumpulan ABG didepan yang mencoba menukarkan uang yang aku berikan (salah sendiri maen rebut seenaknya) di money changer, akan tetapi ditolak, dan sekarang minta uang dirham sebagai gantinya. Mereka minta 100dh, tapi aku berhasil membujuknya menjadi 50dh saja. Kami pun tak ada pilihan lain selain memberikan apa yang mereka minta. Hal itu membuat mood kami berubah dari buruk menjadi mengerikan.
Kami pun bahkan memikirkan untuk pindah penginapan di malam berikutnya. Tak peduli dengan uang muka yang sudah kami bayarkan sebelumnya.
Setelah monyong-monyong itu pergi, si bule kemudian duduk di meja tengah. Kami berkenalan. Ternyata dia Ken, pemilik Riad, bukan pimpinan preman seperti yang aku kira. Dia menyebutkan bahwa sebelumnya sudah mengirim email yang menyebutkan jika sudah sampai di Marrakesh segera menelpon penginapan agar langsung dijemput. Dia mengirim email tanggal 15 Mei. Tanggal dimana aku sudah berada di Casablanca. Tentu saja aku tak membacanya, siapa yang peduli dengan email di saat liburan, bukan. Kami pun berbicara panjang lebar dengan Ken, sambil mengajak tur di penginapannya. Bahkan dia pun mempunyai paket tur ke gurun maupun High Atlas. Percakapan itu cukup membuat kami merasa lebih baik, apalagi ditambah sajian teh mint yang membuat segar. Ok, kita lihat nanti, apakah kami jadi pindah hotel atau tidak.