Monday, June 29, 2009

Liburan Hadiah

Hari itu sepertinya hari Jum’at standar biasa. Seperti biasa, rencana dibuat. Standar lah, pesen tiket M-tix buat nonton di Sun sabtu, minggu kayaknya renang dan belanja buku bekas. Excited. Tapi tidak ada yang istimewa.
Itu pikirku. Alloh ternyata punya rencana lain.

Siang hari ada 3 missed
call. Oops. Dari atasan aku. Aku telepon balik. Ternyata ada suruhan untuk menghadiri sosialisasi aplikasi baru di Jakarta! Tanpa pikir panjang aku langsung minta tolong order tiket Medan-Jakarta buat sore sepulang kantor. Bandunggggggg here I come!!!!
Setelah menjejakan kaki di rumah jam 1 malam. Tertidur 2 jam kemudian. Selebihnya hidup aku seperti di fast forward. Berjuta giga byte kejadian diterima seluruh indera tubuhku. Semuanya indah, semuanya tak terduga, sepertinya hidup tanpa rencana pun tak apa. Tidak ada yang biasa dalam hari-hari aku di Bandung kali ini.

Dimulai dengan bangun pagi. Pergi ke toko kue, hanya sekedar ingin sensasi bau dan warnanya, aku tak sedikit pun memakannya. Terus ke SMA 2, hanya untuk melihat dan mendengar gurauan dan obrolan guru-guru disana. Jika aku memiliki jubah tak terlihat a
ku ingin menggunakannya. Tak apa dianggap tak ada. Aku benar-benar merindukan sejuta obrolan dan keceriaan orang lain. Walaupun benar-benar tak terlibat.
Berlanjut ke Ciparay, ke rumah Herlan, berkumpul bersama teman-teman Call Center Bandung, kembali tertawa dan mengumbar cerita sepanjang perjalanan. Di Ciparay aku tak tahan hanya sekedar mendengar dan merasakan. Aku kembali ke kebodohan lama. Si Cerewet Dodi Purwana. Mancing ikan, makan, ngobrol, makan, tertawa, makan, tertawa kembali, makan lagi, sepertinya hari itu tak pernah akan berhenti. Pulangnya jauh, lewat Sapan, tapi aku gak keberatan sama sekali, karena kita tertawa sepanjang perjalanan. Aneh, bahan ketawaan kita sepertinya gak habis-habis.

Selepas maghrib, ke H. Yasin, ngajak yang (seringnya) sudah gak kuat ingin jalan-jalan main. Sebelumnya kembali ngobrol dan berbagi keceriaan. Sejuta bahagia terbit di dada melihat keceriaan seisi rumah. Jalan-jalan kali ini beda. Aku ingin ke Lembang. Dari Selatan Bandung di pagi hari, ke utara di malam hari. Hahaha. Kembali menikmati dinginnya Lembang, entah kapan terakhir aku kesana. Makan colenak, ketan bakar, jagung bakar (tak peduli nyelap di gigi juga), sate kambing, minum kopi dan lemon tea. Tak terasa hari sudah malam, nyampe rumah jam 1 malam
.
Bangun subuh untuk sholat. Terasa berat. Mengingat di Medan, adzan subuh baru jam 05.15. Setelah sholat harap-harap cemas, jadi gak ya rencana jalan2 kemarin? SMS baru terbaca jam 7 lebih, padahal dikirim dari jam 6 kurang. Gara-gara ga liat di hape yang satunya lagi. Tapi sekali lagi, takdir Alloh memang diatas segalanya. Semua ini sudah direncanakanNya menjadi sebuah paket Tour sempurna buat aku. Aku orang yang beruntung.

Sampai di SMA 2 jam setengah delapan, bareng dengan kepala sekolah. Kita akhirnya pergi ke Limbangan, Garut untuk menghadiri undangan syukuran kelulusan salah satu murid setelah itu baru ke Buah Dua, Sumedang. Aku gak peduli stamina ku akan kuat atau tidak. Themanya kali ini adalah ‘Just Do It!’ Tempat acara tepat di depat mesjid Al-Mahdiyin. Sebuah rumah besar dengan halaman besar pula.
Acaranya biasa, sambutan demi sambutan, khotbah, qasidahan dan makan tentunya. Sambutan dan khotbah sepertinya sebuah acara yang membosankan. Tapi tidak! Walau sambil facebookan di handphone aku menikmati isi khutbah dan sensasinya. Sensasi apa sih? Baya
ngkan berada ditengah-tengah kepala sekolah, guru-guru SMA baik yang ngajar aku dulu dan aku kebetulan tahu, ataupun guru-guru baru. Ternyata didalam hati aku masihlah seorang murid SMA. Hahaha. Gaya khutbahnya klasik sunda, bahasa sunda (tentunya), humor-humor sunda dan tak terlewat lagu-lagu dangdut dan sunda. Dilanjut qasidahan segala. I missed them soo much, ternyata. Aku baru menyadarinya. Makanannya pun enak!!!
Tepat adzan dzuhur aku meninggalkan rumah besar itu untuk menuju Sumedang. Lewat Parakan Muncang. Ke Cadas Pangeran. Aku belum pernah nyetir kesana! Aku tak lupa menelepon Maknya Kanjeng Gusti Metti Muliawati (Miss You Mak!), sang kuncen Sumedang. Setelah melewati alun-alun otomatis membuat otak aku seperti membuka kembali lembaran masa KKN tahun 1999. Apalagi setelah berbelok ke Paseh. Tak sabar rasanya untuk sampai ke Conggeang. Kecamatan tempat aku KKN.
Ternyata tempat pemancingan tujuan kita bukan di Buah Dua, tap
i ada tak jauh dari Conggeang. Sampai di pemancingan jam 2, sudah banyak ikan yang berhasil didapat. Aku tidak ikut mancing, hanya menonton saja. Sudah banyak karyawan SMA 2 yang mancing. Sambil nunggu balong dibedahkeun, aku dan Pa Toto mencari kopi, sudah mulai sakaw. Sengaja aku ke warung dekat alun-alun Conggeang, warung tempat aku nangkring dulu, sekaligus ngehutang kalo gak punya uang hehe. Aku juga menyempatkan mengunjungi rumah dinas pengairan yang dulu jadi penginapan sekaligus basecamp KKN aku. Sayangnya sekarang sudah porak poranda.
Setelah melihat balong tempat mancing mulai sedikit airnya. Aku sudah mulai gak kuat ingin anclub dan ngagujubar (apa sih bahasa Indonesia yang kesannya benar2 sama?—terjun kali ya). Conggeang itu sangat kaya air. Waktu KKN mengunjungi Cipulus, —sebuah mata air jernih nan sejuk— adalah agenda yang rutin kita jalani. Haha tapi si bapa kayaknya lebih parah dibanding aku. Sampai hulang huleng mikirnya. Tapi itu tak kami lakukan.

Setelah mulai agak sore, kami ke rumah Pak Kusnadi, guru Bahasa Indonesia, sang tuan rumah. Rumahnya tipikal rumah jaman dulu, dan sumpah, benar-benar Conggeang. Rumah agak kuno dengan kolam ikan di depannya. Tapi satu hal yang kembali mengejutkan adalah kemudian dia mengajak kami ke Citiis sebuah kolam mata air jernih seperti pemandian dewi, dan aku tidak merasa melebih2kannya. Aku tak tahan lagi. Tak lagi peduli dengan urusan baju ganti dan apapun. Aku masuk ke kolam itu dengan celana panjang digulung. Tidak berg
una. Karena jelas-jelas airnya sampai sepinggang. Aku makin tak peduli lagi kubuka kaos, mengeluarkan segala isi saku (uangnya ketinggalan hehe) dan langsung berenang. Aku belum pernah merasa sebebas itu rasanya. Air super dingin dan perasaan tak peduli dengan semua pikiran logis seperti meledak membuat sebuah euphoria. Bapa dan Pak Usep (guru olahraga aku dulu) juga kemudian menyusul. Kami seperti anak kecil hari itu. Aku tak tahan berenang kesana kemari, memfoto apapun yang aku temui, kegelian karena kakiku digerayangi ikan kecil dan akhirnya tertawa seperti tanpa henti, menertawakan urutan kejadian dari kemarin yang benar-benar seperti sebuah hadiah kejutan untuk aku. Hanya aku spesial dari Alloh SWT. Semua kelelahan dan sakit kepala yang sebelumnya aku rasakan hilang musnah.
Setelah puas kami pulang ke rumah Pak Kus. Sholat dan akhirnya makan ikan hasil pancingan. Kami pun akhirnya pulang. Gara-gara gak bawa celana ganti, aku nyetir dengan menggunakan sarung tanpa celana dalam hahaha. Aku masih tak peduli! Aku sangat bahagia.

Pulang sampai rumah, aku masih belum kelelahan. Tapi aku harus tidur, aku harus pergi jam 4 subuh untuk training di Jakarta. Tadi subuh aku meninggalkan Bandung. Tanpa sadar aku terharu, di perjalanan aku mendengar sayup-sayup adzan subuh. Biasanya aku mendengarkan suara adzan setelah sampai di bandara. Tidak kali ini. Dan aku masih bahagia.
Terimakasih semuanya.
Terimakasih Alloh. Allohu Akbar.

Friday, June 26, 2009

Marrakesh -- The Fun

Karena hari masih terang, Ken menyarankan kita untuk mengikuti city tour menggunakan bis “Marrakech Tour”, sebuah bis dua tingkat, tingkat atas terdiri atas deretan bangku tanpa jendela dan atap, sehingga para turis dapat menikmati pemandangan dengan bebas. Dalam perjalanan ke bus stop terdekat, kita menemukan seorang turis wanita sedang bertengkar dengan penduduk lokal yang menuduhnya mengambil foto tanpa izin, si penduduk memaksa si turis untuk membayar, sedangkan si turis keukeuh merasa gak ambil foto dan tak mau membayar. Terdengar teriakan si turis, You’re crazy, I’m going to tell the Police! Trauma pertengkaran beberapa waktu dengan si ABG itu seakan teringatkan kembali.
Paksaan-paksaan dan perdebatan2 itu kelak menjadi sebuah hal yang biasa di Marrakesh ini. Pokoknya apapun yang dilakukan, saranku adalah tawar di awa
l!! Marrakesh ini sangat mengagumkan, tapi aku gak yakin akan bertahan lama jika hal ini tak segera dibereskan. Setelah sampai di bus stop yang tidak jauh dari Djema El Efna, kita agak menunggu sebentar, yang kita gunakan tentunya untuk foto2. Kita membayar 130dh/orang. Bus ini melewati 18 spot, dan kita bisa turun dan naik di bus stop manapun selama dari pukul 9 pagi sampai pukul 5 sore. Bus stop ini seharusnya dilengkapi dengan colokan headset untuk mendengarkan guide menerangkan cerita masing2 spot, tapi pas aku colokin malah mendenging.
Spot yang pertama kita temukan adalah Kasbah La Mamounia, tempat tinggal sultan, di luar gerbangnya terdapat warung yang berwarna warni menjual aneka buah-buahan dan barang lainnya. Warnanya sangat kontras dan aneh dimataku. Sayangnya mereka gak suka difoto, ada turis yang memegang kamera saja mereka sudah teriak
no photo! no photo! Ihh suka kegeeran deh hehe. Tak jauh dari Kasbah itu terdapat istana yang dijaga oleh dua penjaga di gerbangnya, kawasan ini samasekali tidak boleh difoto.
Berikutnya adalah sebuah villa art deco yang dibangun
tahun 1925 yang kini menjadi Hotel Le Marrakech. Didepannya terdapat Cyber Park, sebuah taman rimbun, penuh pohon eucalyptus (ini kan makanannya Koala ya?). Banyak orang hang out disana. Tampak seperti menyenangkan sih. Dilanjutkan ke kantor pariwisata yang tidak terlalu istimewa dan Hotel Agdal yang katanya merupakan sisa bukti keberadaan Dinasti Almohade, tapi menurut aku hotel itu seperti bangunan 80an biasa.
Dilanjutkan ke Royal Theatre, Gedung Kongres dan Royal Mirage. Di Royal Mirage ini kalo di foto sih kita bisa melihat pegunungan bersalju, tapi sayangnya kita hanya mengunjungi gerban
gnya saja. Sudah keburu tutup. Kemudian kita mengunjungi Hivernage, sebuah kawasan yang asri, hotel-hotel mahal dan rumah-rumah elit. Sangat menyenangkan melihat kawasan ini, disini pula kita melihat sebuah kasino. Hal yang aneh di sebuah negara islam. Sambil menuju ke arah pemberhentian selanjutnya kita melihat sisi lain dari Marrakesh, sebuah kawasan modern lengkap dengan sidewalk café, mcDonalds, outletnya Zara, dan butik maupun antique shop modern. Dan oiya, sepanjang jalan penuh pohon jeruk lengkap dengan buahnya lho, nice view!
Spot terakhir adalah Koutoubia, salah satu mesjid terbesar, yang kalau dilihat dari luar sih seperti kastil dengan minaret yang sangat besar. Mesjid ini kabarnya merupakan tiruan mesjid di Seville, Spanyol.
Berada di atas bus itu terus terang saja memberikan
kenyamanan dan kelegaan. Bisa menikmati kota tanpa harus repot bertemu orang-orang mengganggu yang untuk saat itu aku hindari terlebih dahulu. Setelah kembali ke riad sejenak untuk mandi dan beristirahat, kita memutuskan untuk ke Djema El Efna. Sumpah, keramaian disana benar sebuah hal yang unik dan indah. Ramai dengan pemandangan aneh juga ramai dengan suara yang bercampur aduk. Ada yang atraksi ala capoiera, snake charmer—itu loh yang niup suling biar ularnya nari, gerombolan ala tagonian, pembuat tattoo pake heina, storyteller, dan macam-macam, ditambah lagi yang jualan macam-macam baju, rempah, bumbu dapur, kadal yang dikeringkan, jus jeruk (uenak banget!), pajangan gigi (ga tau buat apa) dan entah apa lagi. Semuanya bersatu membuat keindahan dan keriuhan dalam saat yang sama. Disaat hari mulai gelap, suasana menjadi lebih ramai, hal itu dikarenakan warung-warung makanan mulai muncul, sinar lampunya menyemarakan lapangan luas itu. Satu hal yang baru lagi adalah asap dan bau makanan itu sendiri, yummm, sepertinya nikmat. Kita akhirnya mencoba makan disana, ada banyak macamnya, dari mulai hidangan biasa Maroko, seperti couscous, tajine and the gang, disana juga menyajikan kerang (kayak tutut kalo di Bandung), kepala kambing (yakk), macam-macam seafood, kue-kue, dan banyak makanan yang kita gak tau namanya.
Sayangnya semua itu hanya ada di kepala aku. Sulit rasanya menggambarkan suasana disana dengan sempurna. Apalagi ditambah kesulitan mengambil foto. Tapi kemudian kita melihat sebuah kafe tiga tingkat dengan balkon diatasnya. Rasanya akan menjadi tempat yang tepat untu
k Rony memuaskan hasratnya untuk mendokumentasikan Djema El Efna dengan nyaman. Kafe itu sangat ramai, ternyata banyak turis yang memang bertujuan sama. Kita tidak ditarik bayaran, kita hanya diwajibkan membeli minuman atau makanan di kafe tersebut pas kita masuk. Harga minuman mayoritas lebih mahal dibanding di warung, tapi gak mahal banget kok, misalnya Diet Coke harga normal 8dh disana dijual 12dh, sangat worthed. Lagian kita bisa selama mungkin disana hehe.
Suasana diatas kafe itu sangat nyaman, apalagi kalau kita dapat pas di bibir pagar. Kita bisa menikmati kesemarakan Djema El Efna dengan tenang tanpa gangguan. Rasanya betah berlama-lama disana, tak peduli hembusan angin yang sangat kencang. Kita menghabiskan tiap malam di Marrakesh selalu di kafe itu. Apalagi Rony memang membawa lensa tele sege
de bagong. Aku seperti melamun, tapi sebenarnya tak melamunkan apa-apa, hanya diam, melihat, mendengar dan menikmatinya. Tak pernah bosan. Kita pulang karena memang sudah lelah dan waktunya istirahat.
Dalam perjalanan pulang, sambil berdesak2an berjalan menuju ri
ad di gang-gang sempit medina, kita masih sempat belanja makanan, ayam bakar kesukaan Rony, cherry segar kesukaan aku, yummm segar, dan cherry itu murah! Sekilo hanya 15dh, tapi aku hanya beli 5dh aja. Bahkan kami sempat ke warnet segala, cuma sekedar pingin tahu ada apa kabar dunia facebook walau sesaat hehe. Akses internet disini super cepat! Harganya 3dh setengah jam, 6dh satu jam. Yang menyebalkan hanya keyboardnya. Diset untuk yang berbahasa perancis dan bahasa arab, contohnya tempat ‘a’ dan ‘q’ saling bertukar. Untuk dapet nomor harus sambil teken ctrl atau alt, ah bingung!

Sore hari sebelum meninggalkan Marrakesh, aku minta referensi Ken untuk ditunjukkan sebuah toko oleh2 yang gak maksa, nyaman, bahkan kalo bisa pake credit card. Dia menyebutkan Le Maison el Arabi dengan petunjuk belok kanan dan belok kiri yang membingungkan. Sebetulnya Marrakesh ini terkenal akan Souk atau pasarnya. Koleksinya lengkap dan dipisah menurut barang dagangannya, karpet, souvenir kecil, kulit, rempah, emas, baju dan lainnya, hanya saja ya itu, asal harus rela tersesat-sesat. Ken bilang, it’s alright to get lost, just enjoy the lost. Mmm, tampaknya bukan ide yang menyenangkan, dan kita ga segila belanja itu kok. Tapi kami akhirnya menyempatkan melihat pintu masuk Souk, asal tidak terlalu dalam, ok-ok aja, pikir kami. Wah banyak godaan ternyata, barang-barang nya beneran sangat menarik. Tanpa sadar kami ternyata melihat tulisan Le Maison el Arabi, toko yang diceritakan Ken.
Toko itu benar-benar seperti yang disebut Ken, masuk saja katanya, dan kau akan merasa seperti berada di gua Aladdin. Dia sama sekali tak berlebihan. Aku merinding. Belum pernah kulihat koleksi semenakjubkan itu. Penjaganya sangat ramah, apalagi ketika kita menyebutkan nama Ken. Dari perhiasan kecil seperti cincin, anting, sampai ke lampion, peti berbagai ukuran, kursi meja, sepatu melengkung, piring keramik dan logam, pedang, jubah, tas kulit kuno, cermin, bahkan daun pintu pun ada. Semua serba indah, antik dan sangat Maroko. Andai ku punya milyaran dollar, akan ku beli toko itu. Bahkan harganya bisa ditawar segala. Tidak terlalu murah memang, tapi sama sekali tidak mengecewakan.
Dari sebuah awal yang mengerikan, tak menyangka aku akhirnya bisa sangat menikmati Marrakesh!

Monday, June 22, 2009

Flash Back Intermezzo

Suka keingetan celotehan keponakan-keponakanku waktu kecil. Lucu.

Fanny: Sayur Nangka..Sayur Nangka..sampai berjumpa pulang
Amih (neneknya): sanes sayur nangka atuh, sayonara!
Fanny: ih amih mah sok tahu, saur bu guru ge sayur nangka
Amih: Kumaha maneh ah..
Tiffany, sekarang lulus SMA

Salman sedang memperhatikan Amih yang sedang mengelap meja.
Salman: Amih..ini kan rumah amih?
Amih: Iya. Kenapa?
Salman: Amih kok kayak pembantu?
Amih: hihihi..aduh siah urang disebut pembantu ku incu!
Salman, sekarang kelas 2 SMP

Aku: Amam, kenapa gak main diatas, tuh Aa lagi main PS..
Tamam: Engga mau.
Aku: Kenapa? biasanya juga suka main PS.
Tamam: Gak mau ada nenek-nenek.
Aku: Itu nenek kamu tahu!
Tamam, sekarang kelas 3 SD, udah ga takut lagi sama nenek-nenek.

Aku: Zaki, om dodi beli anggur tuh.
Zaki: gak mau.
Aku: Enak tau.
Zaki: Aku gak suka buah-buahan.
Aku: Kenapa?
Zaki: Soalnya kalo makan buah2an, eeknya suka gak bagus.
Zaki, sekarang kelas 3 SMP, ketua OSIS.

Hari ini keponakanku secara resmi menjadi 14. Welcome to the world little one!

Monday, June 15, 2009

Marrakesh -- The Hassle


Marrakesh adalah boleh dibilang tujuan utama Maroko. Kota ini yang selalu banyak dibicarakan orang. Hal ini pula yang membuat aku sangat bersemangat menuju ke kota ini. Aku berharap akan keindahan arsitek dan luapan kebudayaan Maroko akan aku dapatkan disini. Sebelum pergi ke negara ini, aku sudah memesan penginapan di Riad (rumah khas Maroko) dan bukan dihotel. Saking inginnya mencicipi kebudayaan asli Maroko.
Berangkat pagi hari dari Casablanca menggunakan kereta kelas 1 pukul 08:50. Kereta di Maroko ini hebatnya selalu tepat waktu. Dari seluruh perjalanan kereta api yang kita gunakan di negara ini hanya satu kali saja kita mengalami keterlambatan, itupun hanya 5 menit gara-gara kabarnya ada anak kecil tertabrak kereta api, dalam perjalanan Tangiers ke Fes.
Tiba di Marrakesh pukul 12:05. Stasiun keretanya sangat bersih, indah, dan terlihat masih baru. Kita menemukan KFC disana, tanpa pikir panjang kita langsung membeli dan berencana untuk memakannya di penginapan.
Setelah itu kita langsung mencari taksi. Lonely Planet menyarankan kita agar berhati-hati terhadap supir taksi. Menawar di awal atau gunakan argo. Syukurlah kita mendapatkan supir yang jujur, ongkosnya hanya 12dh, lebih rendah 8dh dari yang disarankan Lonely Planet. Kita diturunkan di sebuah jalan dekat Djama El Efna, sebuah lapangan kosong luas semacam alun-alun yang merupakan daya tarik utama kota ini.
Aku agak
terkejut dengan kota ini. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah turis dan pedagang. Sialnya cuaca Marrakesh cukup panas dan anginnya kering.
Riad yang aku pesan bernama Dar Mauresque. Petunjuk yang tertera di website adalah, cari Café de France, kemudian ikuti jalan, dan cari Gang bernama Derb Jdid kemudian ikuti sampai
menemukan rumah nomor 132. Atau tunggu saja di café tersebut, akan ada orang yang mengantarkan sampai ke penginapan. Ok, terdengar mudah dan simple. Hal yang salah. Sangat salah.
Sambil menggeret kopor masing-masing dan bungkusan KFC kita mencari-cari jalan utama itu. Bahkan kami tak yakin apakah tempat kami berdiri ini adalah Café de France atau bukan. Habisnya gak ada yang menunjukan itu. Yang ada adalah Restaurant de France. Beda kan? Akhirnya Rony memutuskan pergi sendiri mengandalkan GPS di Nokia Mapnya. Aku menanyakan ke beberapa orang yang berlalu lalang. Tapi mereka tak tahu. Selagi Rony pergi, aku akhirnya bertanya ke salah satu waiter di restoran ini, dengan bahasa Inggris yang nyaris tidak berguna. Akhir
nya aku mendapat kepastian kalau tempat yang aku diami sekarang adalah benar Café de France. Tapi dimanakah orang yang mengantarkan aku ke Riad itu? Si waiter pun tak mengetahuinya.
Akhirnya Rony datang dengan wajah kesal. Dia tak menemukannya. Kami pun menyerah dan menanyakan ke seorang ABG yang dengan senang hati mengantarkan kami. Di tengah jalan dia mengajak ABG lainnya, jadi total sekitar 4 orang. Kami melewati gang berkelok-kelok. Kalaupun petunju
k di website itu lebih detail, kami tak yakin akan bisa menemukannya. Kami pun akhirnya berhenti di sebuah pintu bertuliskan angka 132. Tak ada tulisan apapun. Setelah memencet bel keluar seorang wajah pemuda Arab yang mempersilahkan kami masuk.
Permasalahan muncul disini. Si ABG itu meminta uang,
kami pun tak keberatan, kami memberi 20dh, mereka tak mau, katanya uang sebesar itu hanya untuk bayi dan melemparkannya. Mereka meminta 200dh. Sial, suasana makin gak enak, penuh tawar menawar yang terdengar seperti ancaman dan teriakan. Aku pun memperlihatkan isi dompetku yang kebetulan hanya berisi uang Rupiah. Salah seorang dari mereka mengambil uang 20.000 rupiah dan bilang semua beres. Ok. Monyet-monyet sialan.
Kami pun melepas lelah di tengah Riad. Riad sendiri adalah rumah dengan gerbang kokoh tertutup, dan semacam plaza ukuran mini di tengah-tengah pusat rumah. Biasanya ada kebun dan air terjun melengkapi kursi dan meja disana. Tapi Riad yang kami tempati tidak memiliki kebun ataupun air mancur. Hanya meja makan dan beberapa kursi. Tapi yang menakjubkan adalah detailnya. Rumah ini penuh dengan tegel dan keramik dengan motif khas Maroko. Bahkan lengkap dengan seekor kucing yang katanya berumur dua belas tahun bernama Popsie. Andai mood kami bagus saat itu, kami akan super excited. Tapi baru saja kami selesai duduk melepas lelah dan memasukan barang ke kamar. Terdengar bunyi bel.
Kemudian
terdengar percakapan dalam bahasa Arab antara Yasin (pemuda Arab yang membukakan gerbang tadi) dengan si pemencet bel. Semakin lama terdengar seperti pertengkaran. Aku mulai gak enak. Sepertinya si monyet-monyet itu kembali. Tak lama kemudian datang seorang bule separuh baya dengan kaca mata Rayban Aviator masuk ke Riad. Aku langsung lemas. Mungkin dia pimpinan preman2 sialan itu.
Dengan bahasa Inggris logat yang sangat Inggris sekali (mengingatkanku akan Simon Cowell) dia berkata kalau ada sekumpulan ABG didepan yang mencoba menukarkan uang yang aku berikan (salah sendiri maen rebut seenaknya) di money changer, akan tetapi ditolak, dan sekarang minta uang dirham sebagai gantinya. Mereka minta 100dh, tapi aku berhasil membujuknya menjadi 50dh saja. Kami pun tak ada pilihan lain selain memberikan apa yang mereka minta. Hal itu membuat mood kami berubah dari buruk menjadi mengerikan.
Kami pun bahkan memikirkan untuk pindah penginapan di malam berikutnya. Tak peduli dengan uang muka yang sudah kami bayarkan sebelumnya.
Setelah monyong-monyong itu pergi, si bule kemudian duduk di meja tengah. Kami berkenalan. Ternyata dia Ken, pemilik Riad, bukan pimpinan preman seperti yang aku kira. Dia menyebutkan bahwa sebelumnya sudah mengirim email yang menyebutkan jika sudah sampai di Marrakesh segera menelpon penginapan agar langsung dijemput. Dia mengirim email tanggal 15 Mei. Tanggal dimana aku sudah berada di Casablanca. Tentu saja aku tak membacanya, siapa yang peduli dengan email di saat liburan, bukan. Kami pun berbicara panjang lebar dengan Ken, sambil mengajak tur di penginapannya. Bahkan dia pun mempunyai paket tur ke gurun maupun High Atlas. Percakapan itu cukup membuat kami merasa lebih baik, apalagi ditambah sajian teh mint yang membuat segar. Ok, kita lihat nanti, apakah kami jadi pindah hotel atau tidak.

Tuesday, June 02, 2009

First Stop, Casablanca

Tiba di airport Casablanca agak-agak grogi. Takut. Selain masih ga percaya, aku menginjakan kaki di tanah yang selama lebih dari 10 tahun hanya ada dalam bayangan saja, juga takut kalau visa nya ga disetujui.
Dari yang aku baca, visa untuk orang Indonesia bisa didapat on arrival, dan itu bersifat reciprocal, alias berlaku juga buat orang Morocco yang datang ke Indonesia. Tapi kenyataaan itu tetap saja tak membuat hati jadi tentram.
Setelah mengambil bagasi. Kita hanya mengikuti arah panah yang ditulis dalam bahasa Ara
b dan Perancis. Kita hanya melihat tulisan Sortie dan gak ada secuilpun yang bertuliskan immigration ataupun visa. Yah apa mau dikata, ga ada jalan lain kecuali pasrah. Arah panah keluar itu akhirnya mengarahkan kita ke antrian pemeriksaan paspor. Gak terlalu antri. Cenderung kosong bahkan. Setelah hanya dilihat dan dibubuhkan cap, tanpa membayar apapun atau ditanya apapun. Kita dibiarkan lewat. Aku bertanya-tanya, mungkin aka nada pos berikutnya. Tapi nihil. Kita dibiarkan saja sampai keluar airport. What? That’s it? Ah lega. Gak ada kesulitan apapun ternyata. Alhamdulillah.
Selanjutnya kita menukarkan uang di money changer. 1USD = kurang
lebih 8 dirham. Selanjutnya, kita tinggal turun satu lantai dan pesan tiket kereta ke Casablanca. Perjalanan hanya berlangsung sekitar 30 menit saja.
Setelah sampai terminal, Kita langsung pesan tiket buat besok ke Marrakesh. Biar besok gak riweuh. Keluar dari terminal selain disambut tukang taksi yang entah ngomong apa (asli clueless bahasa Perancis nih), kita juga disambut semilir angin dingin yang langsung mengundang senyum dan beribu semangat. Anginnya dingin tapi cuaca cerah. Gosh, I love this weather!
Kita nginep di hotel Central yang sudah kita booking lewat internet sebelumnya. Hotelnya sederhana, lumayan bersih. Tapi sialnya kita ditempatkan di lantai 3 dan tidak ada lift. Kita harus ngegusur koper lewat tangga. Setelah kita minta kamar lain di kamar yang lebih rendah, dia bilang gak ada kamar lain yang kosong, dan nice view, cenah. Well, setidaknya dia gak bohong soal view itu. Benar, pemandangan dari balkon kamar kita menakjubkan, langsung ke pelabuhan, dan tepat di depan hotel kami ada sebuah taman kecil yang asri dan menyenangkan. Kita betah hanya dengan nongkrong di balkonnya saja.
Tapi apa enaknya cuma tinggal di hotel? Kita memutuskan langsung menelusuri kota. Bermodalkan GPS nya Rony, temenku. Ternyata memang gak jauh2 amat dari hotel kita, kalau mau ke kota. Setelah menelusuri jalan yang penuh dengan toko cindera mata, kita berhenti di sebuah persimpangan besar yang ternyata juga dekat dengan gerbang medina, kawasan kota lama Casablanca. Tanpa pikir panjang
kita langsung memasukinya. Dan disanalah kita bertemu seorang bernama Abdul Karim yang tiba-tiba menawarkan perjalanan masuk ke medina. Baiklah..
Dia mengajak menelusuri medina, dengan sekali-kali berhenti di toko, entah itu toko tas, toko jelabah (pakaian seperti jubah luar yang biasanya digunakan untuk sho
lat), toko emas bahkan, dan toko-toko lainnya. Akhirnya kita menjelaskan bahwa ini kota pertama kami, dan menjinjing oleh2 kemana2 bukanlah ide yang baik. Syukurlah dia mengerti, akhirnya kita diajak menelusuri sisi lain medina. Medina adalah kawasan kota lama yang berupa jalan kecil, bahkan bisa disebut gang. Medina ini ada hampir di semua kota di Maroko, bahkan di negara –negara lainnya. Medina di Casablanca ini kumuh, dan tidak seindah medina kota lain (yang kelak akan kami kunjungi). Tapi menelusuri sudut-sudut kota itu tetap saja hal yang baru buat kami dan menarik untuk dilakukan. Si Abdul itu menerangkan tempat laundry, warung, hamam (tempat semacam spa), tempat mandi umum, sekolah, pasar, tempat pembakaran roti, tempat membuat kostum dan peralatan pernikahan, tempat mengambil air untuk umum (yang biasanya berhiaskan keramik Maroko yang khas dan indah), rumah Yahudi dan terakhir mesjid yang biasanya mudah dikenali, selain dari gerbang dan arsitekturnya yang indah, juga dari menara yang typikal (kotak dan berornamen nyaris serupa dengan mesjid lainnya di Maroko).
Disini pula kita selalu ditanya orang dari negara mana kami berasal. Biasanya, Malaysia? Philippines? Brasil? Tapi yang paling sering, dan kelak kami harus terbiasa adalah
: Konichiwa? Menjengkelkan. Selain kami tentu saja bukan orang Jepang, kami juga gak tau harus menjawab apa (mungkin nanti aku tanyakan sama Tari hehe). Di tengah perjalanan kami berdiskusi akan membayar si Abdul ini berapa, 50? 100? Oke, 100 dirham kami nilai layak. Tapi kemudian dia khir perjalanan di Abdul itu bilang, Ok, this is the end of the Medina, and you have to pay me 100 dollars. What?!! Semanis itu dia bilang 100 dollar atau 800 dirham. Idih ogah! Akhirnya setelah tawar menawar, kita terpaksa merelakan 30 dollar. Pelajaran buat kita untuk menawar diawal perjalanan, bukan diakhir.
Setelah beristirahat sejenak di warung juice. Sumpah juice jeruk dan juice mangga nya enak banget!! Dan murah! 5 dirham saja. Kita berunding akan pergi kemana. Akhirnya kita setuju untuk mengambil walking tour yang ada di
buku panduan Lonely Planet. Lagi-lagi bermodalkan GPS Rony kita berhasil menemukan Gereja Katedral yang menjadi start si walking tour itu. Walking tour itu menunjukan tempat-tempat bersejarah dan penting kota Casablanca. Seperti katedral, kantor pos utama, gedung pengadilan, alun-alun, hotel bersejarah, dan gedung bioskop lama. Walking tour ini melelahkan, anjrot!! Berjalan, melihat peta sekaligus memotret sama sekali bukan hal yang santai. Selain itu tour ini sama sekali tidak menyenangkan, bukan karena gak bagus, tapi karena bangunan yang kita lihat bukanlah sesuatu yang aneh. Percaya atau tidak, semua ya semua bangunan yang kita lihat mirip sekali dengan Bandung, gaya art deco dan jalanan bahkan alun-alunnya mirip sekali dengan bangunan lama di Bandung. Hanya satu dua saja yang dikombinasikan gaya Maroko.
Akhirnya di akhir tour itu kita kelelahan. Beristirahat sejenak di kawasan pertokoan. Saat itu kita baru sadar kalau menjelang sore, banyak kafe yang penuh oleh laki-laki, kalaupun ada perempuan hanya sedikit sekali dan itupun didampingi keluarga ata
u pasangannya. Mereka semua hanya duduk berlama-lama dengan meminum satu gelas minuman, kebanyakan sih teh mint.

Kemudian kami memutuskan untuk mengunjungi mesjid Hasan II yang terkenal dan kebetulan menaranya terlihat jelas dari hotel kami. Kami menempuhnya dengan berjalan kaki, karena terlihat dekat di GPS Rony. Keputusan bodoh yang nantinya akan kami sesali sekaligus kami tertawakan. Menara yang terlihat dekat itu ternyata anjrot cukup jauh untuk dikunjungi dengan berjalan. Bahkan dari hotel pun akan jauh, apalagi dari pusat kota. Ah kami memang bodoh. Setelah sampai di mesjid aku langsung duduk istirahat. Rony langsung mengeluarkan kameranya, foto sana sini. Dingin dan kelelahan tidak menyurutkan aku untuk melihat-lihat detail mesjid itu. Mesjid Hasan II sangat besar tapi sepi, mungkin karena hari itu hari Jum’at. Entahlah. Sambil menunggu Rony, aku putuskan untuk sholat di Mesjid ini. Awalnya aku dilarang, setelah bilang
muslim akhirnya aku diperbolehkan masuk. Detail di dalamnya sangat menakjubkan, walau gak seindah Masjidil Haram ataupun Mesjid Nabawi, ukiran kayu cedar dan detail di dinding dan langit-langit sangat unik dan sangat Maroko. Hanya saja, di dalam terasa gelap, dan pengunjung yang sholat terlalu sedikit. Bahkan anehnya adzan maghrib tidak dikumandangkan melalui menara. Entah kenapa.
Setelah gelap kami memutuskan pulang ke hotel. Lebih bodoh lagi, kita memutuskan untuk kembali berjalan. Ah, kami tolol hari itu. Sepanjang perjalanan kami mencari restoran atau minimal tukang ayam bakar yang biasanya lazim di kota masyarakat Arab. Hasilnya nihil. Sampai akhirnya di tengah perjalanan kami melihat sebuah restoran mewah. Kami gak peduli berapa harganya yang penting makan. Kami s
elapar serigala hahaha.
Restoran yang kami masuki adalah Sqala, kalau dilihat dari depan (kami masuk lewat pintu belakang), bentuknya seperti kastil lengkap dengan pagar tinggi dan meriam menghadap laut. Yang datang pun fully dress up. Kita tak peduli. Tampilan turis membawa ransel dan kaus oblong menjelaskan dengan gamblang kalau kami memang turis. Ditambah ternyata kami tidak memahami buku menu yang ditulis dalam bahasa perancis hahaha. Kami minta dijelaskan masing-masing menu. Ok, kami memilih tajine. Tajine Legumes, kalau tidak salah si pelayan tadi bilang, kalau makan itu pake daging ayam. Salah besar! Hahaha. Kami tahu itu setelah Rony ngucek2 makanan untuk mencari daging. Setelah itu kami mengingat-ingat. Poisson=ikan, Boisson=minuman, poulet=chicken, agneau=daging kambing, boeuf=daging sapi.
Setelah makan, kami langsung menuju kamar hotel, dan tanpa banyak bicara kami langsung tertidur..