Friday, May 25, 2018

Aku dan Candra


Gara-gara nanya judul buku berkemah yang biasa kita baca waktu kecil dulu, akhirnya aku terlibat dalam chatting nostalgia tak berkesudahan dengan Candra, sahabatku dari zaman aku kecil dulu. Sontak saja memori demi memori zaman dahulu meluncur deras mengundang gelitik kelucuan.

Candra pindah ke Sarijadi saat kami kelas 3 SD. Tak lama setelah itu kami pun bersahabat. Sampai kemudian rumahnya bisa dibilang jadi rumah aku juga hehe. Banyak hal yang kita lalui bersama-sama sampai bertahun-tahun kemudian. 

Aku bisa naik sepeda diajarin Ujang, tetangga yang lebih tua. Tapi lancarnya bareng Candra. Apalagi pas Candra punya sepeda, warna hitam bermerk Marubeni. Kita sering boncengan jalan-jalan ke semua blok di Sarijadi. Boncengan karena aku gak punya sepeda hehe. Bertahun kemudian, Candra juga lah yang mengajarkan aku naik motor, pake motor vespanya Papap, ayahnya Candra. Walau gak punya SIM, kita sering jalan-jalan ke Pasteur.


Kami tidak pernah satu sekolah, baik SD sampai kuliah. Jadi kegiatan kita memang di rumah saja. Bahkan rasanya, selepas waktu sekolah, aku lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya Candra. Ruang keluarganya seringkali kami jadikan tempat ngobrol kesana kemari. Kadang bersama Mamah, Papap dan Anggia, kakaknya Candra. Bahkan aku memiliki spot khusus di sofa cokelat. Spot favorit dekat TV. Hahaha.


Candra punya kucing, yang seingatku walau sering berganti, namanya tetap Barong. Ceritanya yang suka kucing cuma Candra, Anggia sama Papap, kalau mamah kurang suka walau gak anti juga. Alasan ga suka soalnya suka jorok. Nah suatu hari si Barong eek (maaf!) di kamar mamah. Tepat di tengah kasur! Untung saja Anggia dan Candra yang pertama kali menemukannya. Mereka cepat-cepat menutup pintu takut mamah yang sedang di dapur tahu. Mereka berbisik-bisik berdebat bagaimana caranya agar mamah gak tahu. Mereka takut amukan mamah yang memang galak dan lebih takut lagi si Barong diusir.  Sialnya kemudian mereka mendengar suara langkah mamah yang berjalan ke arah kamar. Mereka semakin ketakutan. Akhirnya Candra meraup eek kucing itu, saking paniknya. Genggaman itu disembunyikan di belakang badannya sambal pelan-pelan berjalan keluar. Hahaha. 


Pada saat kita kelas 1 SMP, kita sama-sama sekolah siang. Masuk jam 12. Oiya, aku sekolahnya di SMP 15, Jl Setiabudhi sedangkan Candra di SMP 26 masih di Sarijadi. Nah sambal nunggu masuk, kita suka main bareng. Kalau gak baca cerita bareng, kita juga sering main yang aneh. Yang paling aku inget adalah kita main bakar-bakaran. Pakai lilin kita membakar banyak tanaman. Juga mainan yang kita anggap rusak. Candra juga pernah membuat roket dari isi pulpen. Isi pulpen jadul ada yang terbuat dari material logam. Nah logam itu kemudian diisi ujung korek api yang dikerik sampai penuh, Setelah penuh, kemudian dibuat semacam sumbu. Untuk meluncurkan roket itu, sumbu tinggal dibakar. Saat itu aku sedang membaca komik di ruang keluarga. Tiba-tiba terdengar suara ledakan di kamar Candra. Aku dan mamah yang sedang masak bergegas menuju sumber suara ledakan. Di sana kita melihat Candra yang berdiri dengan muka pucat memandang warna gosong di dinding. Ternyata dia meluncurkan roket buatannya di kamar itu Hahahaha. Mamah melotot sambil menghardik: TEU LUCU!!


Kami sama-sama memiliki Gimwot (Game Watch), punyaku Nintendo Donkey Kong, punya Candra bermerk Casio, Submarine Battle. Kadang kita tukeran. Candra suka membawa gimwot itu ke sekolah. Suatu hari sepulang sekolah dia masuk ke rumah sambil menunduk bermain gimwot. Mamah nanya, mana tas sekolahnya. Candra kaget. Karena keasyikan main gimwot ternyata tasnya ketinggalan di angkot. Dia pun kemudian dihukum harus diam di luar di pinggir jalan nunggu angkot yang lewat dengan harapan supir angkot pas kembali bisa mengembalikan tas itu. Syukurlah setelah menunggu lama, si supir baik hati mengantarkan tas itu.


Kita pun memiliki ritual camping pas liburan sekolah. Tapi kemahnya Cuma di halaman rumah Candra hahaha. Tendanya lumayan besar, bisa menampung 4 orang. Biasanya kita bertiga ditambah Hendrik. Tenda itu ga tahan air, jadi kita harus menambalnya dengan karung yang dicapit pakai capit jemuran, Terus agar kita bisa tidur nyaman, alasnya menggunakan bata yang disusun, terus dipasang papan. Rasanya sangat asyik sekali. Tapi kalau dilihat dari luar lebih mirip rumah kumuh sih. Momen paling menyenangkan adalah kalau sudah malam, tiba-tiba datang Mamah dengan membawa nasi goreng masing-masing satu piring. Enaaaakk!!


Saat paling zonk adalah kalau aku ke rumah Candra pas harus bantuin motongin ekor toge hahaha. Saat ini kita sangat sangat jarang ketemu. Apalagi setelah aku bekerja ke luar Bandung. Kita juga sudah sibuk dengan rumah tangga masing-masing. Candra sudah beranak dua, menuju tiga. Aku pun punya dua bayi. Paling kita sekarang Cuma chatting. Itu pun jarang juga. Kangen juga ketemuan.


Tuesday, February 13, 2018

Ritual Sabtu Minggu

Setelah hidup terpisah selama weekdays, otomatis ritme pun berubah. Walau kurang lebih sama seperti kehidupanku dulu di Palembang dan Medan, tapi tetap saja berbeda. Sabtu Minggu sudah aku plot sebisa mungkin hanya untuk keluarga, untuk isteri dan anak-anakku. Oiya sekarang anaknya jadi jamak, karena Desember kemarin Aa punya adik perempuan bernama Letra Fatimah Purwana.

Sabtu Minggu menjadi full. Sulit untuk menggagendakan untuk kepentingan lain. Tapi masih bisa kalau untuk kepentingan keluarga besar, seperti nganter Apih kontrol ke rumah sakit, ke undangan, atau acara keluarga lainnya. Kalau tak ada, aku di rumah atau pergi ke luar bersama.

Selama dua hari itu, Aa Angga, anak pertamaku nempel nyaris tak bisa lepas. Mandi, makan, cebok, main, ke mesjid ingin bareng sama aku. Priceless moments. Aku menyukai momen ini, walau terus terang memang capek hehe. Selalu ada momen lucu dan mencengangkan kalau aku bersamanya. Walau ada asisten rumah tangga, Aa suka jadi judes, ga mau sama teteh di rumah. Maunya sama aku.

Nah, kalau Minggu malam, tibalah saatnya aku kembali ke Jakarta. Dari sore aku bilang sama dia kalau nanti malam aku kembali ke Jakarta buat kerja, Aa yang pinter, nurut sama ibu. Walau dia terlihat tak menyimak, kadang-kadang, ternyata dia mengerti. Kalau aku sudah dijemput taksi, dia mau sun dan dadah gak nangis. Aku masih takjub dengan kenyataan ini.

Yang soleh ya Aa sayang.