Hal yang diributkan ibu-ibu waktu menasihati anaknya.
Hal yang tidak aku pahami.
Kenapa perkataan tetangga sebegitu pentingnya.
Seiring bertambahnya umur, ternyata celoteh tetangga untuk sebagian banyak orang, merupakan hal yang penting. Bahkan saking pentingnya, bisa menjadi pertengkaran, atau menjadi alasan sebuah keputusan besar. Apa kata tetangga bisa membuat cerai, atau pindah rumah, misalnya.
Bertambah umur, celotehan itu kemudian menjadi makin rumit. Karena gak hanya tetangga yang komen, tapi juga orang lain yang sama sekali tidak kita kenal, atau bahkan tidak pernah kita temui sebelumnya. Mereka dikenal dengan sebutan netizen atau warganet. Mereka bisa dengan mudah masuk ke ranah sosmed kita, seringkali tanpa permisi. Komen mereka banyak yang lucu, tapi juga tak jarang sangat brutal. Kalau scrolling facebook, instagram, atau tiktok, aku seringkali tak habis pikir, kenapa orang bisa sedemikian sadis menuliskan hal kepada orang yang tidak mereka kenal.
Hal itu kemudian menjadi retrospektif buatku. Aku menganggap aneh hal di atas, karena ternyata tak lepas dari kehidupan masa kecilku. Salah satu hal terbesar yang Amih Apih ajarkan kepada kami, disadari atau tidak, adalah tidak menganggap penting celotehan tetangga atau orang lain. Tidak pernah, seingatku, di keluargaku membahas apa kata tetangga. Mungkin karena Amih dan Apih bekerja sepertinya, jadi mereka tidak sempat. Walau di luar jam kerja mereka tetap bergaul dengan sekitar, apalagi Apih yang aktif di RT dan DKM. Sesekali kami bahas apa-apa yang terjadi di seputaran tetangga, tapi apa pendapat tetangga terhadap kami tak pernah menjadi hal utama.
Warisan yang ternyata sangat aku syukuri. Membuat kami, khususnya aku, tak pernah ambil pusing dengan apa kata tetangga. Tak peduli bukan berarti tak tahu. Sesekali terdengar pendapat beberapa tetangga tentang aku yang belum dapat kerja setelah lulus, tidak kunjung menikah padahal sudah punya pekerjaan dan kendaraan. Tahu, tapi sama sekali tidak memberikan efek buatku. Efek yang dimaksud misalnya, seperti happy, sedih, atau sakit hati. Sama sekali tidak.
Syukur itu, ternyata seringkali membuatku geli. Karena omongan tetangga ini seringkali di luar perkiraan. Sekali waktu aku membeli gorengan, dan saat itu tukang gorengan (yang adalah teman masa kecilku) lagi penuh orang yang nunggu, jadi kita sambil ngobrol. Tiba-tiba saja ada yang nanya: Gaji kan sudah 20 juta, kang, kenapa gak beli mobil aja? Malah beli motor! Pertanyaan kurang ajar yang melibas privasi, tapi sumpah gak bikin aku sakit hati, tapi aku asli terkejut dan tertawa terbahak-bahak. Saya tak mengerti ternyata kehidupan saya sedemikian penting dijadikan perhatian. Dari mana mereka menerka jumlah gaji yang sangat salah itu. Padahal saya jarang sekali ke luar rumah. Pertanyaan itu tak aku jawab, aku benar-benar tertawa. Sepertinya jawaban tak pernah penting buat mereka, sama seperti pendapatnya, yang mungkin hanya sekedar basa-basi.
Tidak menganggap penting omongan orang lain ini, akan aku tularkan kepada keluarga kecilku. Karena pendapat orang lain cukup hanya untuk diketahui, dan disaring sekedarnya saja, menurutku. Hal yang tanpa disangka, ternyata merupakan skill penting untuk survival di dunia yang makin absurd ini.
No comments:
Post a Comment