Friday, November 25, 2011

Another Goodbye

Tadi siang, sepulang sholat Jum’at, diantara hiruk pikuk pekerjaan, kakakku menelepon. Ah, paling juga urusan minjem mobil atau sebangsanya, pikirku. Tapi ternyata, bukan, kakakku ngasih tahu kalau Mumuh meninggal.

Pembicaraan berlangsung singkat, karena aku tak percaya. Mumuh? Mumuh temanku? Tapi, Mumuh mana lagi. Aku gak punya banyak teman bernama Mumuh. Karena sedang di depan komputer, langsung kubuka facebooknya. Ternyata wallnya sudah penuh dengan ucapan bela sungkawa. Sambil membaca, ada perasaan aneh dalam diriku. Perasaan seperti ada sesuatu yang terrenggut entah apa dari tubuhku. Tenggorokanku panas, air mataku mengalir deras. Aku benar-benar ingin menjerit tapi suaraku tak kunjung keluar.

Sambil mata tak lepas dari layar komputer, jariku mengklik fotonya satu persatu. Masih tak percaya temanku telah pergi.


Dia satu kampus denganku, satu fakultas, beda jurusan, bahkan beda angkatan. Aku Administrasi Negara, dia jurusan Antropologi. Aku anak 95, dia angkatan 94. Kami disatukan oleh KKN—Kuliah Kerja Nyata. Kami satu kelompok. Di desa Conggeang Kulon, di daerah Sumedang. Banyak cerita tentang kami disana. Kami sama-sama gendut, akibatnya kami gak kebagian kamar tidur yang memang hanya dua. Akhirnya kami terdampar di kursi ruang tamu. Sambil menunggu terlelap, kami sering saling bercerita dan bersenda gurau. Dari sana pula kami akhirnya tahu, ternyata orangtua kami sama-sama dari Ciamis. Bahkan lebih parahnya lagi, ayah kami ternyata saling bersahabat dan pernah sama-sama menghabiskan masa kecil di Pasirluyu. Aku kebagian tugas mengajar bahasa Inggris di SD Conggeang, sedang dia mengajarkan karate. Tapi sebetulnya itu hanya kamuflase. Sebenarnya kami lebih banyak bersenang-senang disana dibanding mengerjakan tugas. Kami lebih sering menghabiskan waktu dengan bermain kartu, mandi di cipanas dan berendam di mata air Cipulus dikala hari sedang panas. Hahaha.

Setelah KKN berakhir, kami nyaris tak pernah bertemu. Paling bertemu kembali pada saat reunian dengan pemuda Conggeang yang datang ke Bandung. Kami sibuk dengan kuliah masing-masing. Sampai kami lulus satu persatu, tak ada lagi pertemuan yang kami ingat.

Sampai suatu saat di tahun 2003/2004 kami bertemu kembali. Dia telah menikah dan bekerja di kantor pemda. Kami pun memutuskan bertemu. Aku benar-benar terkejut melihatnya. Dia sangat kurus dan memakai kacamata. Aku nyaris tak mengenalnya. Dia pun sampai tertawa geli melihatku yang tak henti melihat wajahnya dan terus bertanya kenapa. Dia pun bercerita dia terpaksa harus diet ketat karena dia menderita diabetes. Setelah itu kami mulai berhubungan lagi lewat telepon atau facebook. Bahkan dia dan Alif, anak tunggalnya pernah datang ke rumahku. Kemudian, seingatku pertemuan secara fisik terakhir tahun lalu di Warung Pasta, Jl. Ganesha.

Kami memang telah lama tak bertemu. Tapi kabar kepergiannya seolah membawa kembali ingatan dahulu dan menggiring penyesalan demi penyesalan. Aku tak pernah bertemu isterinya, padahal adik kelasku di SMA. Aku tak pernah ke rumahnya, dan seribu “Tak pernah” lainnya. Tiba-tiba saja aku sangat ingin bertemu dengannya. Sangat sangat sangat ingin. Sesuatu yang tak pernah lagi bisa aku lakukan.

Kerinduan ini pula yang menuntun aku untuk menuliskan posting ini. Berharap untuk sedikit mengobati dengan mengenangnya.
Terimakasih banyak Muh, atas segala canda tawa yang kau bagikan.
Terimakasih atas segala cerita yang kau sampaikan.
Semoga Alloh menempatkanmu ditempat terbaikNya.

Selamat jalan kawan.
Sesungguhnya kita milik Alloh dan akan kembali kepadaNya.

Semoga yang ditinggalkan mendapat kesabaran. Aamiin.

2 comments:

Sri said...

turut berduka cita yah kak, semoga segala amal dan ibadahnya diterima oleh allah SWT...amiiin

hijau said...

terimakasih. aamiin