Wednesday, July 24, 2024

Kuliah Lagi di Usia Tua (1)

Di tengah kegaduhan pandemi dan stress yang tak mereda. Ditambah lagi aku sempat positif Covid, tiba-tiba saja ada berita dari sahabatku. Sahabatku ini salah satu pekerjaannya adalah dosen di Universitas Padjadjaran (Unpad). Kebetulah tahun itu, dia juga kebagian jabatan sebagai kepala program studi pasca sarjana di Fakultas Ekonomi, Jadi dia memiliki target untuk menerima mahasiswa baru. Dia kemudian menawarkan aku untuk menjadi mahasiswa magister di fakultasnya. Tawaran yang langsung aku tolak. Adalah hal yang gila menambah masalah di keruwetan pekerjaan dengan hal lain yang menurutku tak ada faedahnya di dunia pekerjaan. Tempatku bekerja tidak memberikan benefit lebih kalau kita sekolah lagi atau mendapatkan gelar tambahan. Tidak seperti di pemerintahan.

Semakin hari, anehnya, kok tawaran itu semakin kepikiran. Aku kemudian menuangkan ide itu dalam guratan pro dan contra. Kontranya lebih banyak, dilihat dari hal waktu, pikiran, dan tentu saja biaya, semua merugikan. Pro nya adalah: hal baru dan perkuliahan dilakukan secara online. Aku pun mencari informasi dengan lebih banyak lagi. Detail jurusan apa saja, biayanya berapa, tahapannya apa saja, dan hal lain. Terus terang saja, semua catatan menunjukkan arah saran untuk tidak kuliah. Tapi hatiku semakin condong untuk mengambilnya. Akupun kemudian berdiskusi bersama isteriku. Isteriku memberi lampu hijau. 

Izin itu membuat langkahku semakin bulat. Tapi jurusan yang menarik perhatianku malah bukan di fakultas ekonomi, tetapi Komunikasi Bisnis di Fakultas Komunikasi (fikom). Keputusan ini sekan menyulut sebuah semangat baru. Gairah yang bisa jadi penawar kesibukan dan kejenuhan aku selama ini. Lebay tapi begitulah adanya. Aku kuliah di tahun 1995, dan lulus di tahun 2000. Lebih dari 20 tahun! Aku terus terang sudah lupa rasanya. Perasaan ini sulit aku gambarkan. Aku tiba-tiba diliputi kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan baru, akan tetapi juga rasa ingin tahu yang sangat luar biasa.

Kutelusuri syarat-syarat tes penerimaan. Banyak prosedur, website, istilah yang sama sekali asing kutemukan. Aku merasa tua dan tertinggal. Wahana apa ini? Tes Kemampuan Akademik, TOEFL. Oh Tuhan, tes apa ini? Aku lantas membuka Tokopedia dan langsung menambahkan buku belajar ke keranjang belanja. Aku sangat bersemangat mempelajarinya. Ternyata dalam alam bawah sadar, aku sangat rindu akan suasana ini. Belajar lagi hal baru. Aku semakin lega, aku mengambil keputusan ini.

Aku mengupayakan waktu untuk tes demi tes. Aku sengaja tak membagi informasi tentang keputusanku untuk kuliah lagi ke atasanku di kantor. Ini adalah ruang "bermainku". Tempat pelepasan penatku yang baru. Tes dilakukan secara online. Setelah tak sabar menunggu hasilnya. Alhamdulillah nilai-nilaiku memenuhi syarat. Prosesi selanjutnya adalah membuat surat yang memuat tujuan untuk kuliah, dilanjutkan dengan wawancara.

Ini adalah isi suratku:

Dengan hormat,

Perkenalkan, saya Dodi, berusia 44 tahun pada 6 Agustus nanti. Status berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Saat ini saya bekerja di xxx sebagai xxx.

Saya menempuh Pendidikan sarjana (S1) di Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada tahun 1995 sampai dengan 2000.

Setelah lulus saya tidak pernah mengikuti Pendidikan formal lainnya, kecuali pelatihan/training yang diselenggarakan kantor tempat saya bekerja. Saya mulai bekerja di XXX pada akhir 2000 sebagai tenaga outsource, dan mulai bekerja sebagai karyawan organik tahun 2003. Pekerjaan saya sebagian besar di bagian pelayanan pelanggan, dimulai dari team penanganan keluhan pelanggan di Call Center. Kemudian mengelola manajemen operasional service point dengan pihak ketiga di wilayah Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung. Setelah itu menangani strategi pelayanan dan operasional pelayanan di wilayah Jabotabek dan Jawa Barat.

Setelah berkecimpung di dunia pelayanan, sejak tahun 2018 saya mendapatkan tanggung jawab di bidang sales, baik itu sales policy maupun penyusunan strategi sales dan mengkomunikasikan strategi sales tersebut dengan team sales di Area.

Selama ini, perusahaan memberikan berbagai bentuk dan cara untuk meningkatkan kemampuan karyawan, baik itu diselenggarakan oleh fungsi HRD maupun internal sub direktorat, bahkan level divisi dan departemen. Bentuk yang selama ini diadakan adalah sharing session, pelatihan/training, reading assignment, webinar, quiz yang sifatnya wajib maupun tidak, dan lomba inovasi tahunan. Sejak pandemik,kegiatan-kegiatan ini pun tetap dilakukan, hanya saja tanpa melalui pertemuan fisik.

Walaupun saya mendapatkan berbagai kegiatan di atas, terus terang saya tergelitik untuk mencoba hal baru untuk menambah pengetahuan, skill, networking dan mendapatkan point of view yang baru melalui hal yang belum pernah saya coba sebelumnya, melalui Pendidikan formal. Sahabat saya, Dini Rosdini, seorang dosen Akuntansi di Unpad, suatu hari menyarankan saya untuk ikut program Magister. Sebuah peluang untuk mewujudkan keinginan itu. Tapi saya ragu, terus terang saja. Pandemi di awal 2019 memang membuat saya bekerja di rumah, di Bandung. Tapi bukan berarti membuat waktu senggang saya semakin banyak. Koordinasi pekerjaan seringkali berlangsung jauh melebihi waktu kerja regular dan dimulai sejak dini hari. Screen time saya melonjak melebihi sebelum pandemic, belum lagi harus membagi konsentrasi dengan keluarga dan dua anak balita saya. Ide kuliah lagi seolah seperti bukan ide yang baik.

Akan tetapi, saya sadar, kesempatan terbaik membutuhkan keberanian, selain itu restu dari keluargapun sudah saya dapatkan. Oleh karena itu saya memberanikan diri untuk mendaftar program magister tahun ini. Setelah browsing dan bertanya dengan teman-teman yang berprofesi dosen di Unpad, saya memilih Magister Ilmu Komunikasi, dengan rencana peminatan Komunikasi Bisnis. Saya melihat program ini sejalan dengan pekerjaan saya saat ini, selain memang komunikasi merupakan minat saya sejak lama.

Fungsi kerja saya saat ini diantaranya menentukan metode campaign yang efektif, membuat sosialisasi yang mudah dan efektif, serta merumuskan UI/UX suatu apps yang baik dan mudah digunakan. Oleh karena itu, program Magister Ilmu Komunikasi saya rasa pilihan yang tepat. Harapan saya program ini dapat memperluas cakrawala berpikir saya sebagai seorang praktisi dengan memperkaya teori, informasi perkembangan pengetahuan serta tentunya ilmu berharga dari akademisi berpengalaman.

Demikian pernyataan tujuan ini saya buat, terima kasih.


Tahapan selanjutnya adalah wawancara. Aku diwawancara oleh dua dosen, Ibu Pur (yang kelak akan menjadi penguji tesisku) dan Ibu Ira, yang kelak akan menjadi dosen pembimbingku. Alhamdulillah aku berhasil menjadi mahasiswa baru program magister Komunikasi Bisnis Universitas Padjadjaran.

Hipertensi di Kala Pandemi

Pada saat pandemi, di tahun 2020-2021, untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku divonis darah tinggi. Aku gak ngerti kenapa hampir setiap hari pusing tapi kok gak kunjung berhenti. Minum panadol yang biasanya ampuh, sekarang ini reaksinya cuma sebentar saja. Tes covid berkali-kali hasilnya negatif. Ke dokter saat itu agak malas, soalnya tahu sendiri kan, selain sulit mencari dokter yang praktik, perjalanan buat diperiksa saat itu lumayan repot. Harus tes covid, janjian, pakai masker lah, dan sebagainya. 

Akhirnya aku memaksakan diri. Aku agak khawatir. Lalu aku datang ke dokter di kawasan Cicendo. Dokter yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Selama pemeriksaan terus terang aku merasa kurang sreg. Tingkah laku si dokter ini agak aneh menurutku. Apa ya, gambaran yang tepat.. agak grasak-grusuk. Selain itu, dia juga tiba-tiba aja cerita tentang kredibilitas dia. Padahal aku gak nanya apa-apa. Terus dia, sambil mengukur tekanan darah, bilang dan cerita tentang bahaya kegemukan, dan hasil pengukuran menyatakan kalau tekanan aku tinggi. Aku lupa angkanya, sekitar 160/95 segituan lah. Aku memang sudah biasa dengan pernyataan dokter yang sudah menjudge aku darah tinggi sebelum pengukuran dilakukan, karena aku memang gendut. Tapi yang ini beda. Hasilnya memang ternyata tinggi.

Akupun kemudian diberi obat darah tinggi yang harus aku makan seumur hidupku. Aku kok sepertinya gak rela. Karena aku yakin aku gak darah tinggi. Tapi keyakinanku berbenturan dengan fakta. Aku pun membeli alat ukur tekanan darah sendiri. Dan hasilnya tetap sama. Akupun kemudian bertahap menerimanya. Sambil mencari second opinion ke dokter dekat rumahku. Dokter Arif, salah satu dokter yang merawat almarhum Apih di kala stroke. Aku mendapatkan penjelasan yang lebih bisa diterima olehku. Ternyata dokter Arif penyandang darah tinggi juga, jadi dia share pengalamannya. Dia menyarankan aku untuk menghentikan obat sementara, dan mencoba mengatur pernafasan secara periodik. Dia menemukan kasus serupa di masa pandemi ini. Di mana banyak orang mengalami perubahan pola hidup, pola kerja, dan berimbas pada pola kesehatan.

Setelah mencoba selama sebulan, alhamdulillah, tekanan darah aku berangsur normal. Hal yang kemudian aku sadari kalau perubahan pola hidup itu menyebabkan aku stress. Dan itu memengaruhi tekanan darahku. Alhamdulillah, sampai hari ini, tekanan darahku gak pernah tinggi lagi.


Aku sebetulnya bukan mau cerita ini sih, hahaha, tapi mau cerita yang lain, bersambung di posting berikutnya ya..

Friday, April 19, 2024

Menuliskan Ingatan: (1989 - 1992) Dengan Siapa Kamu Berteman? Part1

Setelah lebaran kemarin, group whatsapp SMP dipenuhi canda tawa dan nostalgia seperti biasa. Lalu muncul ide untuk berhalal bihalal, setelah rencana bukber sudah terlalu terlambat untuk direalisasikan. Kami pun berhalal bihalal di hari lebaran kelima. Di group, yang daftar hanya 10 orang, tapi ternyata yang datang sekitar 14 orang.


Setelah berkumpul, pembicaraan kami sangatlah beragam, dari mulai masalah pengasuhan anak, pendidikan, masalah kesehatan, diet, aturan zonasi, hipnotis, peraturan izin usaha makanan, dan banyak lagi. Serandom itu, seramai itu. Aku, yang dianggap sebagai yang masih ingat kejadian-kejadian waktu SMP dulu, sering menyelipkan nostalgia di halal bihalal itu. Hal inilah yang membuatku menulis kali ini. Selagi masih ingat, selagi belum pikun, aku mencoba menuliskan guratan ingatan yang masih ada.


Di antara sebanyak itu topik pembicaraan, ada satu pertanyaan dari Eski, siapa teman2 yang akrab dulu waktu SMP, kamu mah pasti banyak sama teman perempuan yah? Naha, gak main ke rumah saya? Haha. Ditimpalin sama Sofyan, saya mah suka main ke Sarijadi, walau rumah di Cihampelas.

Aku coba ingat-ingat. Aku datang dari SD Sarijadi 5, sendirian. Jadi gak punya teman yang berangkat dari SD yang sama. Hal itu, seingatku cukup menakutkan. Sekolah dari komplek perumnas, ke "kota". Harus naik angkot, tapi gak punya teman. Masih teringat jelas ingatanku saat itu, di hari pertama penataran P4. Cukup gelisah, melihat kakak-kakak senior, yang menurutku, tingi-tinggi dan cakep-cakep. Terus melihat sesama murid baru kelas 1 SMP dari SD lain, yang mayoritas berkelompok, mungkin karena mereka satu sekolah dulunya. Aku saat itu hanya sendirian. Tidak juga diantar orang tua. Naik angkot Sarijadi - Ciroyom, berhenti di Karang Setra, dan jalan kaki ke Setiabudi. Pernah juga naik angkot jurusan Ledeng. Tapi jarang kulakukan, karena itu akan menguras uang bekalku yang tidak seberapa. Hal ini lumayan membuatku cemas.


Aku ditempatkan di kelas 1C. Untung saja, ada yang kenal, Andi (yang kelak akan satu kelas di SMA) dan Jajang. Mereka sama-sama tinggal di Sarijadi Blok 1 dengan aku. Tapi mereka dari SD Cilandak. Aku cukup mengenal mereka, terkadang kami bertemu di mesjid Al Hidayah. Tapi lantas aku sebangku dengan Yunus. Momen pertama di SMP cukup chaotic seingatku. Aku melihat-lihat dan menerka seperti apa teman-temanku ini. Saat itu perhatian guru sering tertuju pada empat murid di deretan bangku pertama. Lola, Indah, Agustina, dan Iva. Siswi-siswi dominan, pintar dan cantik di kelas. Agustina kebetulan terpilih menjadi Ketua Murid. Dia galak, seingatku. haha. Berteman di kelas 1C cukup menyenangkan saat itu, aku terpilih menjadi seksi olahraga, sesuatu yang tidak aku mengerti. Atletis pun tidak, kok bisa terpilih haha. 

Event porseni antar kelas, merupakan kegiatan yang monumental saat itu. Event ini mempertandingkan banyak jenis pertandingan. Bulutangkis, voli, menggambar, paduan suara, atletik lengkap (lari 100m, 200m, 400m, estafet, lompat jauh) dan bertempat di stadion Pajajaran. Selain itu ada juga lomba renang dan polo air di Karang Setra. Pembukaan porseni juga diawali lomba defile antar kelas. Kami bahkan memiliki kaos kelas masing-masing. Logo 1C dibuat Andi, yang memang jago gambar. Event yang luar biasa untuk level SMP, menurutku. Event itu menumbuhkan kekompakan dan juga perasaan deg-degan. Walau kelas kami kalah, karena memang kecil-kecil badannya. Haha. Event ini pula membuat aku jadi sasaran protes teman-teman yang tidak puas dengan pilihan aku saat penempatan atlet di masing-masing cabang olahraga. Misal, Iwan protes ditempatkan di lomba 400m. Sonny protes ditempatkan di lomba 200m. Yah... ini jadi pelajaran berharga buatku.

Momen lain yang menurutku keren adalah pelajaran keterampilan. Saat itu, pelajaran keterampilan tidak sama di masing-masing orang, walau dalam satu kelas. Kita dikasih pilihan paket yang mau diambil. Dan pilihan itu akan menentukan jenis keterampilan sampai kita kelas 2 SMP. Sebuah hal yang sangat modern dan way ahead of the times. Pilihan keterampilan yang dapat dipilih adalah: mengetik, ukiran, anyaman, tata boga, dan tata busana. Aku memilih kelas mengetik, dilanjutan dengan administrasi korespondensi di kelas 2. Nah, pada kelas keterampilan ini, kelasnya akan mengikuti jenis yang dipilih. Jadi aku akan bergabung bersama siswa lain yang memilih mengetik. Momen ini membuat kita lebih saling mengenal siswa kelas lain.

Di kelas 1 ini, aku masuk siang. Kelas dimulai pukul 12, dan pulang jam 5 sore. Hal ini juga lumayan membuatku terpaksa beradaptasi, karena selama SD aku selalu bersekolah di pagi hari. Waktu itu, walau aku sebangku dengan Yunus, tapi aku gak pernah main ke rumahnya. Karena memang jauh dari rumahku, di daerah Cisitu. Aku lebih sering main ke rumah Fadian (yang kemudian pindah ke Taruna Bakti di semester 2) di daerah kompleks NHI, Setiabudi. Atau di rumah Andi di deket rumahku di Sarijadi. Fadian dan Andi sangat jarang main ke rumahku, karena aku gak punya kamar sendiri. Jadi paling ngumpul di ruang tamu. Hal yang membuat aku minder atau insecure, istilah sekarang mah. Aku malu dan takut kalau ada teman-temanku yang mau datang ke rumah. Aku merasa rumahku gak bagus, gak punya mainan atau buku cerita untuk dibagikan bersama teman-teman. Perasaan minder itu padahal gak pernah ada sebelumnya pada saat SD. Padahal teman-teman SDku sering datang ke rumah.

Perasaan itu adalah sesuatu yang baru buat aku. Alhamdulillah bisa kuatasi bertahun kemudian.

Back to akrab dengan siapa. Di rumah Fadian, awalnya kita ngerjain tugas bareng. Tugas latihan drama bahasa Inggris kalau gak salah, Aku, Andi, dan Fadian kebetulan satu kelompok. Kita pun latihan di rumah Fadian. Di kamarnya. Kamarnya luas, enakeun. Dann mainannya banyak. Kita bisa main Nintedo di rumahnya. Selain itu ibunya baik. Kita suka disuguhin makanan yang enak, atau dibeliin Mie Ayung. Kalau di kamarnya Andi, kita dulu ngerjain bikin bendera kelas buat defile. Andi yang gambar dan kita bantu mewarnai. Kalau rumahnya Andi, karena dekat, jadi sudah relatif kenal dengan keluarganya. Di rumah Andi ada komputer, kita suka main bareng game Prince of Persia, Summer Olympic 88 dan banyak lagi. Di rumah Andi pun, sering dimasakkan makanan yang enak. haha.

Kalau ditanya kenapa deketnya sama mereka. Aku terus terang gak terlalu mikirin. Saat itu kok rasanya, ada momen, terus ya dilakuin aja gitu. Tapi, kalo mikir sekarang, tampaknya kemiripan kepribadian yang membuat itu terjadi. Pan, teorinya, orang akan berkumpul dengan yang banyak kesamaannya. Selain ada trigger tugas dan kerja kelompok tadi. Kalau di kelas, soalnya yang akrab jauh lebih banyak lagi. Seingetku aku cukup akrab sama Yunus, Rudi, Sulistiyono, Dedi, Sonny, Andri, Jehan, Tati Karyati, dan banyak lagi. Oiya, di kelas ini aku ranking ke-4. Lumayan lah ya.

Untuk kelas 2 dan kelas 3 nanti disambung yak...

Tuesday, January 16, 2024

When You Think You Know Everything (About Your Kids)

 Setelah memiliki dua orang anak. Aku sadar bahwa keduanya memang individu yang berbeda. Bukan fisik yang aku maksud. Mereka sejak bayi sudah berbeda kebiasaan dan perilakunya. Hal itu semakin menyadarkanku, mereka tidak bisa sepenuhnya dibanding-bandingkan.

Walau perbedaan itu betul adanya, aku senang ketika A Angga dan Letra --kedua anakku-- semangat ingin sekolah, Apalagi de Letra yang sepertinya tidak sabar menunggu hari pertama sekolah. Hari-demi hari di sekolah dilalui dengan suka cita. Kita jadi tahu apa yang dia suka, apa yang dia kurang suka. Dia suka art & craft, tapi gak terlalu suka pelajaran olahraga. Dia suka main sama anak laki-laki dibanding anak perempuan. Dia suka pakai rok dibanding celana panjang, dan banyak lagi. Aku merasa sudah sangat mengenal de Letra. TK A dilalui dengan suka cita. TK B pun dijalani dengan riang gembira. De Letra sudah ga malu tampil di panggung untuk nari. Dia sudah sangat luwes dan percaya diri. Sudah hampir dua tahun de Letra sekolah di Bianglala. Tahun depan insya Alloh akan melanjutkan ke SD yang sama.

Sampai sebulan yang lalu, dia sakit panas. Bukan sesuatu yang aneh sih, tidak harus diopname juga. Apalagi memang musim pancaroba, banyak anak yang sakit juga. Setelah sembuh, de Letra kembali bersekolah seperti biasa. Tetapi, suatu hari de Letra gak mau sekolah. Kita pikir dia masih merasa sakit. Jadi kita minta dia di rumah saja. Keesokannya dia masih belum mau sekolah, padahal sudah benar-benar sehat. Hari berikutnya dia malah nangis gak mau sekolah lagi. Kita paksa tapi malah nangis di parkiran sekolah. Dia gak mau masuk sekolah. Bahkan pernah dia memilih nangis di ruang guru daripada ke kelas. Hal ini berlangsung sampai dua minggu. Kami coba menerka-nerka apa yang membuat dia gak mau sekolah. Karena setelah nangis di sekolah, di rumah dia sudah bahagia seperti sedia kala.

Kita coba dia kita hukum. Tidak ada lagi nonton TV. Tidak ada lagi main handphone di weekend. Hal yang paling disukainya. Tapi dia seperti tidak berkeberatan, asalkan tidak sekolah. Kami pun mencoba diskusi dengan gurunya di sekolah. Bahkan kami sudah menjadwalkan sesi bertemu psikolog anak. Kalau kami tanya de Letra, jawabannya seperti tak tentu. Dia bilang diganggu anak lain, tapi dia bilang juga pinginnya di rumah saja. Kami makin khawatir. Takut kejadian ini berlanjut sampai SD. Sempat terpikir, kemungkinan untuk pindah sekolah. Tapi kami gak mau gegabah, apalagi kami sudah bayar biaya registrasi yang tidak sedikit jumlahnya. 

Hasil diskusi dengan guru, akan kita coba kunjungan anak-anak sekelas ke rumah. Jadi secara periodik, sekolah de Letra ada sesi belajar di rumah siswa. Aku pun memasang CCTV, agar aku di Jakarta bisa melihat interaksinya. Sepanjang sesi kelas di rumah, aku berharap-harap cemas. Tapi kecemasan itu hilang, ketika de Letra dengan suka cita menyambut teman-temannya, bahkan sambil berpelukan dengan sahabat-sahabatnya. Dia juga ternyata kangen dengan mereka, hanya saja ada yang takut dia temui di sekolah. Sepanjang acara, de Letra memperhatikan dengan senang dan ngobrol dengan semangat bersama guru dan teman-teman. Setelah kunjungan itu, de Letra alhamdulillah sudah mau sekolah lagi.

Sambil berkomunikasi dengan orang tua siswa lain, akupun menjadi tahu, ternyata ada satu anak laki-laki yang berlaku kasar terhadap teman-temannya, tidak hanya de Letra. Padahal, anak itu dulunya sahabat de Letra, akan tetapi entah kenapa sekarang dia menjadi seperti over reaktif. Kami pun memahami keadaan, dan memuji de Letra yang berani sekolah lagi. Setelah itu, de Letra pun lebih berani dan senang karena kami orang tuanya dan teman-temannya membantu dia mengatasi keadaan ini. Walau dia masih takut kalau bertemu anak itu. Kamipun berpesan sama guru-guru di sekolah dan mengajarkan de Letra untuk tidak harus berteman dengan orang yang dia gak suka. Semoga hal ini menjadi pelajaran buat kami dan buat de Letra.


Maha suci Alloh. 

Friday, July 07, 2023

Flashback: Cerita Amih di Rumah Sakit 2012

Ingatanku tiba-tiba kembali ke 2012. Ingatan yang kemudian membuatku membuka kembali posting demi posting di blog ini. Blog ini menjadi semacam buku harian kenanganku. Bersyukur masih dianugerahi memori oleh Alloh, sehingga aku masih bisa mengingat rasa pada setiap tulisan yang aku posting di blog ini. Posting lama di 11 tahun lalu tentang kenangan aku akan keluargaku, di link ini

Ada hal yang tidak aku ceritakan dengan detil di postingan kala itu. Sebetulnya kejadian ketika Amih masuk rumah sakit adalah seperti ini. Malam hari bagian aku nunggu Apih di RS Advent paska operasi. Kita memang giliran. Syukurnya aku bisa pulang ke Bandung dari Palembang. Kemudian setelah jaga malam, aku bersiap-siap pulang ke rumah untuk beristirahat di pagi keesokan harinya. Sebagai ganti yang jaga, pagi sampai sore akan diisi Amih. Di kepala kami, anak-anaknya, Amih merupakan sosok ibu yang tangguh. Amih adalah sosok sentral pengambil keputusan yang membuat kami merasa aman berada di dekatnya. Selain itu Amih terbiasa mengendalikan keuangan, operasional setiap hari, memberikan saran tentang pilihan hidup anak-anaknya, seperti ke sekolah mana, konsultasi pernikahan dan sebagainya. Semua itu Amih lakukan dengan sambil bekerja sebagai PNS di Pemkot Bandung.

Karena bertahun-tahun, kami hidup dengan pikiran seperti itu, kami seperti tidak memiliki ruang dalam pikiran bahwa beliau mungkin saja lelah atau ada kejadian yang tak bisa beliau tangani lagi. Kami tak pernah khawatir kalau Amih sakit. Karena beliau terbiasa tahu apa yang harus dilakukan, pergi ke dokter sendiri, tanpa sulit minum obat dan istirahat. Beliau memang sosok semandiri itu. Makanya dalam usia yang sebetulnya tak muda lagi, kami berpikir tidak apa-apa Amih kebagian jaga Apih di rumah sakit. Lagian, Amih memang memaksa untuk ikut jaga.

Hari itu, pada saat Amih jaga ternyata kami mendapat kabar, kalau Apih jatuh dari tempat tidurnya. Rupanya Apih kesulitan buang air kecil, dan mau pergi ke kamar mandi sendiri. Saat itu, Amih sedang tidur di kursi penjaga. Kemudian dokter meminta Apih dirujuk ke dokter spesialis lain untuk menangani saluran kencingnya. Sepertinya Amih merasa bersalah, padahal kami tak ada satupun yang menyalahkan beliau akan kejadian ini. Amih seperti terguncang, saat dokter bilang bahwa Apih kemungkinan harus dioperasi. Saat itu, Apih sebetulnya sudah di tahap akhir masa pemulihan dan dalam beberapa hari sudah boleh pulang.

Setelah kejadian itu, Amih merasa tidak enak di bagian dada dan perut. Amih tak bisa makan. Amih minta diantarkan ke rumah sakit, tapi tidak mau ke RS Advent. Amih hanya ingin diantarkan ke RS Salamun di Ciumbuleuit yang menerima BPJS. Kami pun mengantarkannya ke sana. Amih ternyata harus dirawat inap. Jadi dalam waktu bersamaan kedua orang tua kami dirawat di rumah sakit berbeda. Syukurlah kemudian hasil dokter spesialis internis keluar, dan Apih dinyatakan boleh pulang. jadi kami bisa fokus ke kesembuhan Amih.

Amih bersikukuh tidak mau dirawat di kelas 1, walaupun BPJS (dulu Askes) mengcovernya di kelas itu. Amih hanya ingin dirawat di kelas 3, di barak beserta 10 pasien lainnya. Di ruang perawatan besar itu tak ada tempat khusus buat keluarga untuk menunggu. Hanya ada satu buah kursi. Jadi kalau kita mau nunggu sambil tidur, ya di kolong ranjang pasien. Saat itu bulan Ramadhan beberapa hari sebelum idul fitri. Alhamdulillah aku diizinkan cuti agak lebih lama, jadi bisa nunggu Amih di RS. Karena kami harus membagi tugas dengan merawat Apih di rumah.

Ini kali pertama aku di RS beramai-ramai seperti ini. Sebetulnya senang karena, gak merasa kesepian dan selalu ramai. Gak enaknya, kamar mandinya jauh untuk pasien. Jadi kalau Amih mau pipis, harus berjalan cukup jauh. Padahal perut Amih sedang sakit. Selain itu, yang paling agak serem adalah, kita otomatis akan bisa mendengar rintihan dan teriakan pasien lainnya dengan jelas. Selama di sana, kami bisa melihat dua orang pasien yang meninggal. Hasil pemeriksaan dokter, Amih sebetulnya tidak apa-apa. Hasil lab menunjukan hasil yang baik. Tapi anehnya, Amih masih tetap saja merasa sakit di ulu hati dan tidak bisa menelan makanan. Dokter bahkan pernah bilang sambil guyon, kalau Amih sebetulnya pura-pura sakit agar dirawat di sini. Tapi aku tahu pasti kalau Amih bukan type drama seperti itu.

Sampai suatu malam aku mendengar percakapan Amih dengan pasien sebelah. Amih bercerita bahwa dia kasihan sama anak-anaknya yang harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar biaya rumah sakit Apih. Amih bercerita panjang lebar, karena menyangka aku sudah tidur. Kemudian Amih bilang, bahwa sengaja dia pingin dirawat di RS ini karena gak mau memberatkan anak-anaknya dengan biaya pengobatan tambahan. Terus terang saja, perawatan Apih memang memakan biaya cukup banyak buat kami. Amih sampai menjual kolam ikan di Ciamis. Kami anak-anaknya pun gotong royong mengumpulkan uang untuk itu. Alhamdulillah, walau tabunganku habis, tapi tidak sampai harus menjual rumah maupun kendaraan. Walau, kalaupun harus begitu, kami sama sekali tak keberatan. Kami mencintai Amih dan Apih sepenuh hati. Percakapan itu membuat aku tersadar, bahwa hal ini mungkin yang membebani Amih, hingga beliau mengalami sakit sepert ini.

Esoknya aku berbagi cerita malam itu dengan kakak-kakakku. Aku pun punya ide, aku berbohong sama Amih. Aku cerita kalau kalau aku baru mendapatkan bonus dari perusahaan, dan mau aku pakai untuk membeli mobil baru. Aku minta pendapat Amih soal warna mobil yang akan aku beli. Hahaha, bohong yang menggelikan sebetulnya. Tapi ternyata cerita itu sangat manjur. Amih tersenyum, dan bilang alhamdulillah, mobil apapun gak penting buat Amih katanya, yang penting kita semua sehat dan berlimpah rezeki. Percakapan itu terbukti mujarab, siangnya Amih bisa makan walau sedikit demi sedikit. Besoknya Amih boleh pulang, dua hari sebelum hari raya Idul Fitri.

Aku selalu ingat cerita itu, walau Amih sudah lama pergi. Sekuat apapun, orang tua adalah manusia biasa juga. Mereka bisa sakit dan rapuh. Terutama mengenai anak-anaknya. Kekhawatiran mereka seringkali tak berani mereka ungkapkan. Walau kami anak-anaknya tak merasa keberatan sama sekali. Ku gak tahu, mungkin akupun begitu suatu hari haha. Maha Suci Alloh yang Maha Memelihara makhluk-makhluknya.

Monday, July 03, 2023

Cerita Sebelum Tidur

 Saat ini kalau aku pulang ke Bandung di akhir minggu, selalu tidur bareng dalam hamparan dua tempat tidur tanpa ranjang. Biasanya urutannya: de Letra, ibunya, a Angga, kemudian aku. Rencananya mulai tahun ini Aa akan mulai belajar tidur di kamarnya sendiri. 

Akan tetapi malam kemarin agak berbeda, de Letra ingin mendominasinya ibunya sendiri. Dia keukeuh gak mau pindah ke posisi biasanya. Hal itu memaksa a Angga kemudian harus mepet deket sama aku, karena dia ngambek sama de Letra. Aku pun memeluknya, sambil pillow talk banyak hal dengan a Angga. Sudah seminggu ini a Angga libur sekolah. Kegiatan sehari-harinya diisi dengan nonton TV, main Nintendo Switch, dan permainan lainnya. A Angga melakukan semua ini tidak sendirian, tapi dilakukan bersama de Letra dan Fatih, saudara sepupunya, anak kakakku, yang tinggal tak jauh dari rumahku. A Angga dan Fatih sama-sama kelas 1 SD di sekolah yang berbeda walau usianya terpaut 6 bulan. Karena kesibukan ini, mereka jadi sibuk. A Angga jadi jarang berinteraksi denganku. Paling hanya sesekali saja kalau ada yang ingin ditanyakan atau pas mereka aku ajak jajan ke warung terdekat.

Kesempatan sebelum tidur itulah yang menjadi momen ngobrol aku sama a Angga setelah sibuk seharian. Peristiwa ini ternyata menjadi hal yang asyik. Walau cerita dan pertanyaan a Angga bertubi-tubi, aku sangat menikmatinya. Pertanyaannya macam-macam, tentang komik Marvel apa yang aku baca sewaktu aku kecil, karakter apa yang menjadi favorit aku di Super Mario Bros, kenapa teman aku ada yang tinggal di New Jersey, siapa saja nama teman-temanku, dan banyak lagi. Terkadang cerita tak selalu berupa pertanyaan, tapi ada juga cerita tentang kejadian yang dia temukan, seperti adegan film-film yang kita tonton bersama, seperti Transformers: Rise of The Beast atau Super Mario Bros: The Movie. Aku pun menanggapi pertanyaannya dengan serius, sebisa mungkin aku jawab sesuai dengan apa yang aku rasakan dan aku ketahui. A Angga pun seperti menikmat cerita aku di masa kecil yang tak pernah membaca komik Marvel, tetapi lebih banyak komik DC seperti Batman, Justice League, The Outsiders, Hawkman, Plastic Man, dan sebagainya.

Sambil bercerita, ingatanku aku terbang ke 6-7 tahun lalu. Ketika aku khawatir akan perkembangan a Angga ketika bayi. Sempat khawatir ketika dia belum bisa menyebutkan sepatah kata pun di usia 1 tahun. Lalu kemudian lega, ketika dia menyebutkan kata pertamanya: Kakang. Hahaha. Teringat pula, pada saat itu pun kita terpaksa memutus ASI dan mengganti dengan susu lain karena ibunya hamil de Letra. Semua kilatan kejadian yang mengingatkan aku untuk bersyukur memiliki anak yang sehat dan mampu menceritakan apa yang ada di kepalanya. Alhamdulillahirobbil'alamiin.

Tuesday, April 18, 2023

Aku, Candra, dan Hendrik

 Aku menulis lagi. Ingin rasanya menulis tentang hal yang sebenarnya sedang mengganjal hati. Tapi aku belum siap sepertinya. Masalahnya pun belum selesai. Ketakutan dan kekhawatiran sedang berpadu. Jadi aku coba redakan dengan menulis lagi.


Beberapa tahun lalu, aku menulis tentang cerita masa kecilku dengan sahabatku, Candra, di tulisan ini. Memori itu lantas kemudian menuntunku untuk mencari keberadaan sahabatku yang lain. Namanya Hendrik. Jadi sekitar masa kelas 1 SMP, kami -aku dan Candra--, bersahabat dengan Hendrik. Keluarganya baru pindah ke lingkungan kami dari Blok 7. Kawasan satu komplek yang tidak terlalu jauh. Hendrik usianya terpaut satu tahun lebih tua dari kami. Dia satu sekolah dengan Candra di SMP 26.

Cerita Handrik tentang kehidupan dia di Panjalu seringkali menarik perhatian kami. Jadi, sehabis sholat tarawih berjamaah di mesjid, biasanya kita ngumpul bersama anak-anak lain di depan rumah pak Uuh, sebelah rumahku. Sambil jajan, karena memang dekat warung dan banyak mang jualan yang lewat gang itu, kami biasanya duduk di tembok rendah rumah pak Uuh sambil mendengarkan cerita Hendrik dan Isam, adiknya, tentang kehidupan mereka di Panjalu. Hendrik sekeluarga pernah pindah ke Panjalu dari Sarijadi. Hendrik pandai bercerita, jadi kami lantas seperti bisa melihat Panjalu, yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Ceritanya seru, tentang kekagetan dia sekolah di sana dengan harus bertelanjang kaki, jalan-jalan ke hutan mencari bunga anggrek, bermalam di rumah guru sambil belajar kelompok, sholat tarawih berjamaah sambil bercanda, dan banyak lain lagi. Cerita Hendrik dan Isam tidak selesai dalam satu malam, tapi berhari-hari lamanya. Kami dengan setia menunggu mereka bercerita saking asyiknya.

Aku, Candra dan Hendrik kemudian selalu main bersama. Kami hampir selalu bersama main sepulang sekolah. Biasanya kita ngobrol di rumah kami. Acak, kadang dirumahku, Candra atau rumah Hendrik. Seringnya sih di rumah Candra. Ada banyak kegiatan yang kita lakukan bersama, jalan-jalan ke Setra Duta, taman yang sekarang menjadi Nu Art, studionya seniman terkenal, Nyoman Nuarta. Kita betah menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Kita juga suka jalan-jalan ke BIP, beli baju lebaran bareng. hahaha.

Satu hal yang berkesan yang sering kami lakukan adalah jalan-jalan ke sawah, yang sekarang sudah hilang menjadi perumahan mewah Setra Duta. Sepulang sekolah kita jalan kaki ke sawah dan berteduh di saung luas yang teduh. di sana kami mengerjakan PR bersama, atau membaca buku cerita yang kami bawa dari rumah hasil sewa di taman bacaan. Kami seringkali menelusuri kawasan pesawahan. Menelusuri saluran irigasi, kebun, dan kampung-kampung sekitar. Pernah suatu hari hujan deras, dan kami sedang di saung (dangau). Terpaksa kami tunggu sampai reda. Saking lamanya aku sambil tertidur. Setelah hujan reda, kami pulang melewati pematang yang basah. Aku terpeleset dan pantatku kotor berlumur tanah. Hendrik dan Candra tertawa terbahak-bahak. Memori yang tidak mungkin terulang lagi.

Hendrik pindah rumah saat kita mulai kuliah. Pindahnya lumayan jauh, sehingga kami kesulitan bertemu. Sampai akhirnya kita bertemu setelah kami masing-masing telah berkeluarga. Kami lalu bertelepon bertiga, mengenang masa lalu. Hendrik tinggal di Ciamis, dan ternyata dalam kondisi sakit parah. Tak lama kemudian dia meninggal dunia. Innalillahiwainnailaihi rojiun.


Friday, April 14, 2023

Batu yang Kembali Lagi

 Wahh sudah 2023. Sampai sempet lupa caranya gimana posting di sini. Mohon maaf ya tentanghijauku. Dulu blog ini media buat mencurahkan segala kegelisahan dan wahana biar aku gak lupa mengingat sebuah kejadian.


Kejadian dua hari lalu membuat aku memutuskan untuk kembali menulis di sini.

Oiya. Biar keingetan, aku cerita dulu konteksnya ya (tsahh). Aku saat ini ngekos di Jakarta, dekat dengan kantor. Bisa jalan kaki aja, tapi hahaha lebih sering pulang pergi pake ojol sih. Tiap akhir minggu aku pulang ke Bandung dan kembali ke Jakarta di Senin subuh.

Dua hari lalu, seperti tidak ada yang berbeda dengan rutinitas aku. Seharusnya jam 4 sore aku sudah pulang ke kosan. Tapi entah kenapa aku agak males, undangan buka bareng temen-temen pun aku tolak. Sejam kemudian baru aku memutuskan pulang. Suasana sore pulang kerja di bulan puasa itu chaotic, teman-teman. Macet di mana-mana, motor pun dengan ganas ugal-ugalan. Ojol susah didapat. Akhinya aku memutuskan jalan kaki. Sekalian olah raga. Ternyata sama sekali tidak melelahkan haha.

Sampai kosan, ku lihat menu di warung sebelah masih sama, nasi bungkus rendang. Sudah hampir tiap hari itu yang jadi menu buka puasa dan sahur aku. Bosan ah, aku beli gorengan aja, nanti jam 7an baru ke mall yang deket aja, biar beda. Sekali-kali. Pas adzan maghrib, aku pun makan gorengan dengan susu ultra yang ada di kulkas. Terus video call-an sama keluarga di rumah, dan scrolling tiktok, dilanjut sholat maghrib. Jam 7 perutku agak aneh. Sepertinya efek gorengan, cengek, dan susu, pikirku. Duuh, perut melilit nih.

Aku kemudian banyak minum air putih. Tapi kok gak mereda ya, bahkan sekarang pinggang kiriku yang sakit. Rasa sakit itu makin lama kok makin meningkat. Berbagai posisi tidur sudah aku coba, miring kanan, miring kiri, telungkup, terlentang, berdiri, duduk. Terdengar berlebihan, tapi itu yang literally terjadi. aku pun mengambil sebutir panadol dan cepat-cepat meminumnya. Tapi rasa sakit tetap ada, bahkan tak bisa lagi aku tahan. Keringat bercucuran di dahi. Aku memutuskan harus ke rumah sakit. Aku pun kemudian memakai celana panjang dan pesan taksi lewat aplikasi MyBlueBird. Semoga kemacetan sudah mereda, harapku.

Tepat jam 8 taksiku datang, dan aku segera mengambil dompet dan mengunci pintu kosan. Bergegas naik taksi. nama drivernya Pak Ferdinan. Aku minta pak Ferdinan untuk segera maju. Tampaknya pak supir sudah mengerti, aku mengerang kesakitan sepanjang jalan. Lafaz takbir, tahlil, sampai jeritan gak jelas keluar dari mulutku. Pak sopir mencoba tenang dan mengendarai taksi secepat yang dia bisa. sialnya kemacetan di daerah Semanggi lagi gila-gilanya. Aku pasrah sambil mengerang kesakitan. Pak Ferdinan sampai membuka kaca dan minta pengendara motor untuk minggir karena mau ke rumah sakit. Aku pun berterima kasih. Pak sopir berkali-kali menginjak rem agar gak nabrak.

Akhirnya aku sampai UGD Rumah sakit Siloam Semanggi. Aku langsung dinaikan ke emergency bed, sambil tak henti mengaduh. Rasa sakitnya makin hebat. Aku langsung teringat peristiwa 10 tahun lalu, kala aku harus ke rumah sakit di Bandung, karena rasa sakit yang sama. Ceritanya ada di sini. Aku langsung menceritakan rasa sakitku ke petugas di sana, sambil bilang ada kartu asuransi di dompet di kantung celanaku. Aku pun didorong menuju ruang, sambil mengaduh dan berteriak. Sambil menahan sakit, pikiran berkelebat. Aku seperti bersiap mati. Teriakan berubah-ubah seperti orang gila. Aku ingat, aku menangis, tapi aku merasa percuma, karena tangisan tak mengurangi rasa sakitku. 

Kemudian entah kenapa rasa sakit itu sedikit mereda. Aku bisa sedikit tenang sambil memegang pinggang belakang kiri. Rasanya panas. Saat tenang tersebut, suster datang dan mencoba memasang infus. Aku berterima kasih. Suster kesulitan mencari pembuluh darahku, darah kemudian seperti muncrat dan membasahi tangan, dia berkali-kali meminta maaf. Aku bilang tidak apa-apa, karena memang tidak terasa sakit, apalagi dibandingkan rasa sakit di pinggangku. Setelah infus terpasang, rasa sakit hebat itu kembali lagi. Aku pun kembali mengerang dan menggeliat. Dokter datang dan bertanya apakah aku terbiasa memiliki penyakit batu di saluran kencing, dan aku menjawab historikal penyakitku secara efektif. Dokterpun kemudian menyiapkan suntikan penghilang rasa sakit.

Setelah suntikan dimasukan. Dalam hitungan detik, rasa sakit hebat itu pun hilang. Aku sangat bersyukur. Aku terdiam kelelahan sambil mengucap syukur. Aku pun akhirnya bisa menelepon keluargaku, dan menyiapkan rencana untuk sesegera mungkin ke Bandung untuk bertemu dokter urolog. Travel paling malam berangkat pukul 23. Saat itu pukul 22:00. Sepertinya tidak akan terkejar, karena aku harus ke kantor untuk mengambil laptop kerjaku.

Jadi sebetulnya rasa sakit ini yang aku sangat takutkan. Pada saat general checkup di bulan November 2022, ditemukan batu di ginjal kiriku. Berdasarkan hasil tersebutlah, aku kemudian minta agar batu dihancurkan dengan menggunakan ESWL. Aku pun kemudian mendaftar di RS Melinda, yang fasilitasnya lebih lengkap. Bahkan di rumah sakit tersebut ada seksi khusus urologi. Kebetulan dr Kuncoro pun berpraktik di sana. ESWL aku pilih, karena 10 tahun yang lalu aku sudah merasakannya. Prosesnya tak lama, hanya satu jam, dan langsung pulang tanpa rawat inap. ESWL pun kemudian aku jalani di bulan Januari. Ohiya, harganya sekarang 10 juta. Makanya, karena sudah ESWL, aku heran kenapa pinggang kiriku bisa sakit lagi.

Setelah diperbolehkan pulang oleh dokter di rumah sakit Siloam, aku pun naik ojol, karena lebih singkat. Kemudian aku memesan makanan, dan makan, karena selain lapar, aku juga ingin secepatnya minum obat penahan sakit. Aku tahu, khasiat obat penahan sakit yang disuntikan tadi akan hilang. Makanya aku berencana untuk segera tidur, dan berangkat ke Bandung jam 4:30 subuh. Setelah tidur, aku terbangun sejam kemudian. Rasa sakit itu sedikit kembali, tapi untungnya dapat aku tahan. Aku pun buang air kecil. Semenjak rasa sakit itu datang, air kencingku hanya sedikit, seperti yang tersumbat. Aku pun mencoba kembali tidur.

Aku bangun jam 3 subuh untuk sahur. Aku makan seperlunya dan kembali minum obat penahan sakit. Aku bersiap-siap, dan memesan ojol untuk mengantarkanku ke kantor. Aku harus mengambil laptop. Ojol hanya bisa mengantarkan sampai gerbang, artinya aku harus berjalan kaki sampai ke gedung. Tapi tak apa, itu sudah biasa, dan syukurnya rasa sakit itu masih bisa ditahan. Dibantu pak security, aku pun bergegas mengambil laptop dan langsung ke pintu keluar gedung. Sebelumnya aku buang air kecil ke toilet. masih tersendat. Aku pun terus jalan kaki ke pintu keluar sambil pesan ojol untuk ke pool travel ke Bandung.

Pas jalan kaki, aku merasa pinggangku menjadi ringan. Apa ya, rasa mengganjal yang asalnya ada seperti lepas. Aku pun kemudian naik mobil travel menuju Bandung. Penumpangnya hanya aku sendirian. Sepanjang perjalanan aku tertidur. Aku masih kelelahan. Aku terbangun setelah sampai di Bandung pukul setengah tujuh. Setelah sampai rumah, aku ke toilet untuk kencing, dan alhamdulillah, airnya deras. Sepertinya batunya memang sudah turun.

Jam 10 aku langsung ke RS Melinda. dan, pendek kata, alhamdulillah, benar saja batunya sudah tidak ada, ginjalku pun tidak bengkak. Kalu bengkak, artinya penyumbatan masih terjadi. Duh... sungguh bersyukur tak terkira. Semoga saja aku tak harus kembali bertemu rasa sakit itu. Aamiin.


(NOT SO) FUN FACT : Masalah batu ini ternyata menduduki peringkat 9 dalam Top 10 Most Painful Conditions versi situs ini.