Aku sangat kangen dengan John Grisham. Dan sudah sangat lama aku tidak membaca novelnya. Aku rindu dengan ketegangan berbalut drama hukum ala The Client atau A Time To Kill. Dan untung saja minggu kemarin aku menemukan novel "The Last Juror" yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di Gramedia. Buku ini sudah aku tunggu sejak lama.
Buku ini mengisi hari-hari aku ketika di Rumah Sakit. Sayangnya buku ini buku yang tidak tepat untuk menghibur hari-hari yang sakit. Preview buku ini sangat menjanjikan. Bersetting tahun 1970an di Clanton, Mississippi yang tentunya mengingatkan aku akan buku A Time To Kill dan isu rasialismenya. Bercerita tentang kedatangan seorang mahasiswa dari Syracuse yang terpelajar, Willie Traynor, ke kota Clanton yang sangat bersahaja dan jauh dari hingar bingar. Willie akhirnya membeli satu-satunya koran mingguan yang ada disana, dan memberikan nuansa baru pada kota itu. Nuansa kota itu berubah setelah terjadi pembunuhan keji yang dilakukan oleh bajingan kelas kakap, Danny Padgitt, yang ditengah-tengah sidang melontarkan ancaman akan membunuh semua jajaran juri bila memvonis dia bersalah.
Sampai disini Anda pasti mengira, novel ini akan berisi kengerian penduduk kota akan kebengisan Danny Padgitt kan? Sama seperti saya, Anda semua akan tertipu. Novel ini hanya akan memaparkan perjalanan Willie Traynor yang menjalin persahabatan dengan seisi kota, terutama dengan Sang Juri Terakhir, Miss Callie, si kulit hitam yang sangat terpelajar. Di tengah-tengah buku, novel ini terasa melelahkan dan tua.
Sebetulnya tidak ada yang terlalu salah dengan novel ini. Akan tetapi promo buku ini yang seakan-akan The Last Juror bergenre thriller sungguh sangat mengesalkan.
Buku ini mengisi hari-hari aku ketika di Rumah Sakit. Sayangnya buku ini buku yang tidak tepat untuk menghibur hari-hari yang sakit. Preview buku ini sangat menjanjikan. Bersetting tahun 1970an di Clanton, Mississippi yang tentunya mengingatkan aku akan buku A Time To Kill dan isu rasialismenya. Bercerita tentang kedatangan seorang mahasiswa dari Syracuse yang terpelajar, Willie Traynor, ke kota Clanton yang sangat bersahaja dan jauh dari hingar bingar. Willie akhirnya membeli satu-satunya koran mingguan yang ada disana, dan memberikan nuansa baru pada kota itu. Nuansa kota itu berubah setelah terjadi pembunuhan keji yang dilakukan oleh bajingan kelas kakap, Danny Padgitt, yang ditengah-tengah sidang melontarkan ancaman akan membunuh semua jajaran juri bila memvonis dia bersalah.
Sampai disini Anda pasti mengira, novel ini akan berisi kengerian penduduk kota akan kebengisan Danny Padgitt kan? Sama seperti saya, Anda semua akan tertipu. Novel ini hanya akan memaparkan perjalanan Willie Traynor yang menjalin persahabatan dengan seisi kota, terutama dengan Sang Juri Terakhir, Miss Callie, si kulit hitam yang sangat terpelajar. Di tengah-tengah buku, novel ini terasa melelahkan dan tua.
Sebetulnya tidak ada yang terlalu salah dengan novel ini. Akan tetapi promo buku ini yang seakan-akan The Last Juror bergenre thriller sungguh sangat mengesalkan.
No comments:
Post a Comment