Tuesday, April 18, 2023

Aku, Candra, dan Hendrik

 Aku menulis lagi. Ingin rasanya menulis tentang hal yang sebenarnya sedang mengganjal hati. Tapi aku belum siap sepertinya. Masalahnya pun belum selesai. Ketakutan dan kekhawatiran sedang berpadu. Jadi aku coba redakan dengan menulis lagi.


Beberapa tahun lalu, aku menulis tentang cerita masa kecilku dengan sahabatku, Candra, di tulisan ini. Memori itu lantas kemudian menuntunku untuk mencari keberadaan sahabatku yang lain. Namanya Hendrik. Jadi sekitar masa kelas 1 SMP, kami -aku dan Candra--, bersahabat dengan Hendrik. Keluarganya baru pindah ke lingkungan kami dari Blok 7. Kawasan satu komplek yang tidak terlalu jauh. Hendrik usianya terpaut satu tahun lebih tua dari kami. Dia satu sekolah dengan Candra di SMP 26.

Cerita Handrik tentang kehidupan dia di Panjalu seringkali menarik perhatian kami. Jadi, sehabis sholat tarawih berjamaah di mesjid, biasanya kita ngumpul bersama anak-anak lain di depan rumah pak Uuh, sebelah rumahku. Sambil jajan, karena memang dekat warung dan banyak mang jualan yang lewat gang itu, kami biasanya duduk di tembok rendah rumah pak Uuh sambil mendengarkan cerita Hendrik dan Isam, adiknya, tentang kehidupan mereka di Panjalu. Hendrik sekeluarga pernah pindah ke Panjalu dari Sarijadi. Hendrik pandai bercerita, jadi kami lantas seperti bisa melihat Panjalu, yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Ceritanya seru, tentang kekagetan dia sekolah di sana dengan harus bertelanjang kaki, jalan-jalan ke hutan mencari bunga anggrek, bermalam di rumah guru sambil belajar kelompok, sholat tarawih berjamaah sambil bercanda, dan banyak lain lagi. Cerita Hendrik dan Isam tidak selesai dalam satu malam, tapi berhari-hari lamanya. Kami dengan setia menunggu mereka bercerita saking asyiknya.

Aku, Candra dan Hendrik kemudian selalu main bersama. Kami hampir selalu bersama main sepulang sekolah. Biasanya kita ngobrol di rumah kami. Acak, kadang dirumahku, Candra atau rumah Hendrik. Seringnya sih di rumah Candra. Ada banyak kegiatan yang kita lakukan bersama, jalan-jalan ke Setra Duta, taman yang sekarang menjadi Nu Art, studionya seniman terkenal, Nyoman Nuarta. Kita betah menghabiskan waktu berjam-jam di sana. Kita juga suka jalan-jalan ke BIP, beli baju lebaran bareng. hahaha.

Satu hal yang berkesan yang sering kami lakukan adalah jalan-jalan ke sawah, yang sekarang sudah hilang menjadi perumahan mewah Setra Duta. Sepulang sekolah kita jalan kaki ke sawah dan berteduh di saung luas yang teduh. di sana kami mengerjakan PR bersama, atau membaca buku cerita yang kami bawa dari rumah hasil sewa di taman bacaan. Kami seringkali menelusuri kawasan pesawahan. Menelusuri saluran irigasi, kebun, dan kampung-kampung sekitar. Pernah suatu hari hujan deras, dan kami sedang di saung (dangau). Terpaksa kami tunggu sampai reda. Saking lamanya aku sambil tertidur. Setelah hujan reda, kami pulang melewati pematang yang basah. Aku terpeleset dan pantatku kotor berlumur tanah. Hendrik dan Candra tertawa terbahak-bahak. Memori yang tidak mungkin terulang lagi.

Hendrik pindah rumah saat kita mulai kuliah. Pindahnya lumayan jauh, sehingga kami kesulitan bertemu. Sampai akhirnya kita bertemu setelah kami masing-masing telah berkeluarga. Kami lalu bertelepon bertiga, mengenang masa lalu. Hendrik tinggal di Ciamis, dan ternyata dalam kondisi sakit parah. Tak lama kemudian dia meninggal dunia. Innalillahiwainnailaihi rojiun.


Friday, April 14, 2023

Batu yang Kembali Lagi

 Wahh sudah 2023. Sampai sempet lupa caranya gimana posting di sini. Mohon maaf ya tentanghijauku. Dulu blog ini media buat mencurahkan segala kegelisahan dan wahana biar aku gak lupa mengingat sebuah kejadian.


Kejadian dua hari lalu membuat aku memutuskan untuk kembali menulis di sini.

Oiya. Biar keingetan, aku cerita dulu konteksnya ya (tsahh). Aku saat ini ngekos di Jakarta, dekat dengan kantor. Bisa jalan kaki aja, tapi hahaha lebih sering pulang pergi pake ojol sih. Tiap akhir minggu aku pulang ke Bandung dan kembali ke Jakarta di Senin subuh.

Dua hari lalu, seperti tidak ada yang berbeda dengan rutinitas aku. Seharusnya jam 4 sore aku sudah pulang ke kosan. Tapi entah kenapa aku agak males, undangan buka bareng temen-temen pun aku tolak. Sejam kemudian baru aku memutuskan pulang. Suasana sore pulang kerja di bulan puasa itu chaotic, teman-teman. Macet di mana-mana, motor pun dengan ganas ugal-ugalan. Ojol susah didapat. Akhinya aku memutuskan jalan kaki. Sekalian olah raga. Ternyata sama sekali tidak melelahkan haha.

Sampai kosan, ku lihat menu di warung sebelah masih sama, nasi bungkus rendang. Sudah hampir tiap hari itu yang jadi menu buka puasa dan sahur aku. Bosan ah, aku beli gorengan aja, nanti jam 7an baru ke mall yang deket aja, biar beda. Sekali-kali. Pas adzan maghrib, aku pun makan gorengan dengan susu ultra yang ada di kulkas. Terus video call-an sama keluarga di rumah, dan scrolling tiktok, dilanjut sholat maghrib. Jam 7 perutku agak aneh. Sepertinya efek gorengan, cengek, dan susu, pikirku. Duuh, perut melilit nih.

Aku kemudian banyak minum air putih. Tapi kok gak mereda ya, bahkan sekarang pinggang kiriku yang sakit. Rasa sakit itu makin lama kok makin meningkat. Berbagai posisi tidur sudah aku coba, miring kanan, miring kiri, telungkup, terlentang, berdiri, duduk. Terdengar berlebihan, tapi itu yang literally terjadi. aku pun mengambil sebutir panadol dan cepat-cepat meminumnya. Tapi rasa sakit tetap ada, bahkan tak bisa lagi aku tahan. Keringat bercucuran di dahi. Aku memutuskan harus ke rumah sakit. Aku pun kemudian memakai celana panjang dan pesan taksi lewat aplikasi MyBlueBird. Semoga kemacetan sudah mereda, harapku.

Tepat jam 8 taksiku datang, dan aku segera mengambil dompet dan mengunci pintu kosan. Bergegas naik taksi. nama drivernya Pak Ferdinan. Aku minta pak Ferdinan untuk segera maju. Tampaknya pak supir sudah mengerti, aku mengerang kesakitan sepanjang jalan. Lafaz takbir, tahlil, sampai jeritan gak jelas keluar dari mulutku. Pak sopir mencoba tenang dan mengendarai taksi secepat yang dia bisa. sialnya kemacetan di daerah Semanggi lagi gila-gilanya. Aku pasrah sambil mengerang kesakitan. Pak Ferdinan sampai membuka kaca dan minta pengendara motor untuk minggir karena mau ke rumah sakit. Aku pun berterima kasih. Pak sopir berkali-kali menginjak rem agar gak nabrak.

Akhirnya aku sampai UGD Rumah sakit Siloam Semanggi. Aku langsung dinaikan ke emergency bed, sambil tak henti mengaduh. Rasa sakitnya makin hebat. Aku langsung teringat peristiwa 10 tahun lalu, kala aku harus ke rumah sakit di Bandung, karena rasa sakit yang sama. Ceritanya ada di sini. Aku langsung menceritakan rasa sakitku ke petugas di sana, sambil bilang ada kartu asuransi di dompet di kantung celanaku. Aku pun didorong menuju ruang, sambil mengaduh dan berteriak. Sambil menahan sakit, pikiran berkelebat. Aku seperti bersiap mati. Teriakan berubah-ubah seperti orang gila. Aku ingat, aku menangis, tapi aku merasa percuma, karena tangisan tak mengurangi rasa sakitku. 

Kemudian entah kenapa rasa sakit itu sedikit mereda. Aku bisa sedikit tenang sambil memegang pinggang belakang kiri. Rasanya panas. Saat tenang tersebut, suster datang dan mencoba memasang infus. Aku berterima kasih. Suster kesulitan mencari pembuluh darahku, darah kemudian seperti muncrat dan membasahi tangan, dia berkali-kali meminta maaf. Aku bilang tidak apa-apa, karena memang tidak terasa sakit, apalagi dibandingkan rasa sakit di pinggangku. Setelah infus terpasang, rasa sakit hebat itu kembali lagi. Aku pun kembali mengerang dan menggeliat. Dokter datang dan bertanya apakah aku terbiasa memiliki penyakit batu di saluran kencing, dan aku menjawab historikal penyakitku secara efektif. Dokterpun kemudian menyiapkan suntikan penghilang rasa sakit.

Setelah suntikan dimasukan. Dalam hitungan detik, rasa sakit hebat itu pun hilang. Aku sangat bersyukur. Aku terdiam kelelahan sambil mengucap syukur. Aku pun akhirnya bisa menelepon keluargaku, dan menyiapkan rencana untuk sesegera mungkin ke Bandung untuk bertemu dokter urolog. Travel paling malam berangkat pukul 23. Saat itu pukul 22:00. Sepertinya tidak akan terkejar, karena aku harus ke kantor untuk mengambil laptop kerjaku.

Jadi sebetulnya rasa sakit ini yang aku sangat takutkan. Pada saat general checkup di bulan November 2022, ditemukan batu di ginjal kiriku. Berdasarkan hasil tersebutlah, aku kemudian minta agar batu dihancurkan dengan menggunakan ESWL. Aku pun kemudian mendaftar di RS Melinda, yang fasilitasnya lebih lengkap. Bahkan di rumah sakit tersebut ada seksi khusus urologi. Kebetulan dr Kuncoro pun berpraktik di sana. ESWL aku pilih, karena 10 tahun yang lalu aku sudah merasakannya. Prosesnya tak lama, hanya satu jam, dan langsung pulang tanpa rawat inap. ESWL pun kemudian aku jalani di bulan Januari. Ohiya, harganya sekarang 10 juta. Makanya, karena sudah ESWL, aku heran kenapa pinggang kiriku bisa sakit lagi.

Setelah diperbolehkan pulang oleh dokter di rumah sakit Siloam, aku pun naik ojol, karena lebih singkat. Kemudian aku memesan makanan, dan makan, karena selain lapar, aku juga ingin secepatnya minum obat penahan sakit. Aku tahu, khasiat obat penahan sakit yang disuntikan tadi akan hilang. Makanya aku berencana untuk segera tidur, dan berangkat ke Bandung jam 4:30 subuh. Setelah tidur, aku terbangun sejam kemudian. Rasa sakit itu sedikit kembali, tapi untungnya dapat aku tahan. Aku pun buang air kecil. Semenjak rasa sakit itu datang, air kencingku hanya sedikit, seperti yang tersumbat. Aku pun mencoba kembali tidur.

Aku bangun jam 3 subuh untuk sahur. Aku makan seperlunya dan kembali minum obat penahan sakit. Aku bersiap-siap, dan memesan ojol untuk mengantarkanku ke kantor. Aku harus mengambil laptop. Ojol hanya bisa mengantarkan sampai gerbang, artinya aku harus berjalan kaki sampai ke gedung. Tapi tak apa, itu sudah biasa, dan syukurnya rasa sakit itu masih bisa ditahan. Dibantu pak security, aku pun bergegas mengambil laptop dan langsung ke pintu keluar gedung. Sebelumnya aku buang air kecil ke toilet. masih tersendat. Aku pun terus jalan kaki ke pintu keluar sambil pesan ojol untuk ke pool travel ke Bandung.

Pas jalan kaki, aku merasa pinggangku menjadi ringan. Apa ya, rasa mengganjal yang asalnya ada seperti lepas. Aku pun kemudian naik mobil travel menuju Bandung. Penumpangnya hanya aku sendirian. Sepanjang perjalanan aku tertidur. Aku masih kelelahan. Aku terbangun setelah sampai di Bandung pukul setengah tujuh. Setelah sampai rumah, aku ke toilet untuk kencing, dan alhamdulillah, airnya deras. Sepertinya batunya memang sudah turun.

Jam 10 aku langsung ke RS Melinda. dan, pendek kata, alhamdulillah, benar saja batunya sudah tidak ada, ginjalku pun tidak bengkak. Kalu bengkak, artinya penyumbatan masih terjadi. Duh... sungguh bersyukur tak terkira. Semoga saja aku tak harus kembali bertemu rasa sakit itu. Aamiin.


(NOT SO) FUN FACT : Masalah batu ini ternyata menduduki peringkat 9 dalam Top 10 Most Painful Conditions versi situs ini.