Setiap mau lebaran Amih persiapannya banyak. Dimulai dari masakan. Amih biasa bikin kue bolu 11 buah. Terus kue kering motif bunga (ya, selalu bunga setiap tahun) beberapa toples, kue keju, kacang goreng, tape ketan, rengginang (bikin sendiri dari ketan, dijemur dan digoreng). Dilanjutkan dengan membuat ketupat 150 buah dan gulai memakai bumbu merk Bamboe juga opor ayam. Dipadukan dengan ase cabe dan sambel goreng kentang. Jumlahnya masif, karena memang anaknya banyak dan rumah kami tujuan ngumpul paman dan bibi beserta keluarganya. Soalnya amih dan apih anak pertama.
Malam takbiran semua terlibat dalam acara bersih-bersih. Karpet digelar di ruang tengah. Vas bunga yang semula kosong, semua diisi bunga sedap malam, gladiol warna oranye dan anyelir merah. Tak terhitung berapa kali aku harus keluar masuk rumah hari itu. Disuruh beli ini itu, selalu ada yang kurang. Masih sangat jelas hiruk pikuk suasana malam itu.
Semua itu selalu sama setiap tahunnya. Itulah mungkin yang disebut dengan tradisi. Lebaran adalah momen yang sangat tepat untuk menggambarkan tradisi. Tradisi di rumah kami. Semua itu kadang berjalan tak terasa, karena memang sudah menjadi bagian hidup. Di rumahku, sabun yang kami pakai adalah Lux, odolnya Pepsodent, shampoo nya Sunsilk (kemudian berubah sesuai pilihan masing-masing ketika kami, para anak-anaknya menjadi besar), deterjen yang kami pakai adalah Rinso. Pelembut yang dipakai adalah Molto, cairan pel yang dipakai adalah Keramik warna kuning. Semua itu aku hapal, karena sering aku yang menemani Amih belanja bulanan. Semua itu baunya sudah sangat aku hapal. Wangi cucian sudah sangat khas.
Kenapa hal ini tiba-tiba aku tulis? Semua itu karena lebaran kemarin. Lebaran tahun ini adalah lebaran aku pertama menikah. Di rumah aku sendiri, berdua saja dengan isteriku. Lebaran pertama tanpa Amih. Aku harus bahu membahu bersama kakak perempuanku menghidupkan tradisi itu di rumah kami. Padahal kakakku pun sama telah memiliki keluarga sendiri. Sambil aku menyiapkan di rumahku sendiri. Untung saja lokasinya berdekatan. Aku dan Teh Dena, kakakku mencoba mengingat apa-apa saja yang biasa disiapkan Amih, sebagai sosok sentral tradisi itu. Kami seringkali kewalahan mengestimasi berapa banyak yang harus kami siapkan. Karena memang Amih yang biasa melakukan. Satu hal yang tak berubah adalah, aku tetap pontang panting disuruh membeli ini itu yang selalu ada saja. Hahaha. Bahkan sampai tengah malam.
Untungnya di rumah baru hanya ada aku dan isteriku. Jadi tak terlalu banyak yang harus disiapkan. Tak ada kue bolu, tak ada acara membuat kue. Kami cukup minta dari rumah orang tua kami. Hehehe. Paling hanya gule yang dibuat isteriku. Itu pun sambil tanya apa aja resepnya. Hari lebaran kemarin membuat aku serasa berada di dua dunia. Tentu saja, wangi rumahku tak seperti rumah Amih. Bajuku tak lagi wangi Rinso, sekarang wanginya sudah Attack. Sabunnya sudah berubah, walau odolnya tetap Pepsodent. Ya, tradisi aku dan isteriku sudah melebur menjadi sebuah tradisi baru.
Hari lebaran pun menjadi tradisi yang baru. Sholat Ied di Sariwangi, lanjut ke Sarijadi, terus pake motor untuk menghindari macet ke Muhammad Toha. Balik lagi ke Sarijadi terus ke makam Amih dan A Fikri ke Banjaran. Capek, tapi memang itulah Lebaran hehehe. Dilanjut lagi besoknya ke Mangunreja, Tasikmalaya, destinasi yang benar-benar baru buatku.
Yah.. tradisi memang bisa diusahakan, tapi tak harus dipaksakan. Embrace the new tradition.
Maaf lahir bathin semuanya.
2 comments:
nice posting :)
Visit me nareswariindralokaa.blogspot.com :) thanks
Aku suka baca ini...jadi sedih ingat nini di ciamis yang udah engga ada. seiring dengan waktu tradisi yang dulu juga hilang. kapan-kapan saya juga mau cerita ah
Post a Comment