Dulu, kalau melihat bandara, aku sangat suka banget. Apalagi waktu SD, view dari kelas adalah Bandara Husein Sastranegara. Selalu excited kalau ke bandara, baik itu mau liburan maupun kerja. Bandara juga seringkali dianggap tempat yang mewah. Tak heran memang, soalnya tiket pesawat (dulu) tidak murah. Selain itu bandara juga dianggap sebagai tempat yang angker, begitu banyak pintu yang harus kita lewati dengan berbagai pengamanannya.
Pada dasarnya, ke Bandara itu ilustrasinya kurang lebih seperti ini: Datang ke terminal tertentu (kalau bandara besar biasanya lebih dari satu terminal, tapi kalau di daerah sih gak ada terminal2an segala) dengan menunjukan tiket kita bisa masuk dan kemudian semua barang bawaan harus melewati x-ray scan. Terus check-in ke counter maskapai sambil menunjukan tiket, ditukar dengan boarding pass sambil milih tempat duduk, mau di aisle (gang), window (jendela) atau di tengah. Barang yang mau dimasukan bagasi juga dilaporkan disini. Posisi di tengah biasanya pilihan terakhir. Terus masuk ke gate setelah sebelumnya bayar airport tax, beda bandara beda pula tarifnya. Kalau international flight, sebelumnya bayar dulu fiskal, tapi bisa gratis dengan menunjukan NPWP. Di mulut gate, boarding pass kita discan terlebih dahulu. Barang bawaan cabin melalui x-ray lagi. Terus duduk di ruang tunggu gate. Setelah dibuka, kita masuk pesawat, bisa direct pake garbarata (belalai) atau pake bis dulu, atau jalan kaki. Tergantung kondisi parkir pesawat.
Mutasi ke Medan di awal tahun 2009 mengubah persepsi aku akan bandara. Aku jadi harus sering ketemu bandara, baik untuk pulang ke Bandung maupun dinas. Kalau pulang ke Bandung, perjalanan akan lebih panjang, karena harus ditambah travel Jakarta-Bandung lewat Cipularang. Agar bisa melalui rentetan proses di bandara, lama-lama aku terpaksa mengubah banyak kebiasaan. Bawaan tak pernah banyak kalau tidak terpaksa. Travel light dengan satu ransel sangat dianjurkan. Selalu menyimpan tiket dan boarding pass di saku depan kemeja atau di saku jaket atau di tas kecil, yang penting aksesnya mudah dan tidak mudah jatuh. Semua itu akan mempercepat.
Oiya, kalau pulang weekend, aku ngambil flight sore di hari Jum'at, biasanya jam 17:00, sampai di Cengkareng jam 19:00 terus pesan travel. Baliknya aku naik travel jam 2 dini hari, sampai di jakarta jam 04:30 naik flight jam 06:00. Awalnya sangat melelahkan, tapi lama2 badan ini sudah terbiasa, yang penting aku harus tahu kapan memanfaatkan waktu untuk tidur, makan dan aktivitas toilet. Semua itu makin buruk kalau ada sebuah binatang bernama: DELAY. Hahaha. Rencana travel Jkt-Bdg jadi kacau balau.
Perjalanan subuh di Bandara, terutama di Cengkareng, menuntut kita ahli menyesuaikan dengan jam biologis kita. Di terminal 1, aku biasa ke toilet di luar terminal dekat kedatangan, soalnya lebih banyak, kalau sudah masuk gate, toiletnya sedikit. Di sana aku sering menggunakan toilet untuk pengguna kursi roda hehe. Dilanjutkan dengan sholat subuh di mushola yang tak jauh lokasinya. Tapi ingat, kalau jadwal kita mepet, mending di dalam terminal saja ya. Soalnya dijamin akan pontang panting mengingat lokasi yang lumayan jauh. Terminal 2 lebih nyaman, apalagi kalau kita masuk lounge. Toiletnya lebih banyak dan mushola yang lebih besar.
Nah, setelah sekian lama menghabiskan waktu di bandara, aku jadi mengkoleksi kartu kredit platinum demi mendapatkan akses ke lounge gratis. Awalnya cuma satu, Citibank Co-Brand Garuda. Tapi lama-lama, kartu itu gak lagi diterima di banyak lounge. Akhirnya dengan terpaksa aku apply kartu platinum lain. Lounge BRI adalah favorit aku selain Garuda. Tapi Garuda jarang banget aku akses, soalnya cuma buat kelas executive aja. Aku kan modal diskon tiketnya juga hehe. Kalau kita gak punya kartu kredit, biasanya kita bisa masuk dengan cara membayar. Ada juga lounge yang strict cuma buat member atau pemegang kartu kredit saja.
Lounge BRI buka jam 04:30, paling pagi dibanding yang lain. Di dalamnya ada mushola, toilet yang sangat nyaman, juga tentunya ada makanan, dan tempat charge device kita. Di Lounge ini lebih aman, jadi kalau kita mau sholat atau mau ke toilet dan kita pergi sendirian, kita gak usah repot nenteng-nenteng tas. Simpan saja di sofa atau titip ke petugas di sana. Lounge BRI juga menyediakan petugas untuk men-check in-kan tiket Garuda kita. Jadi gak usah repot-repot ngantri. Juara lah Lounge BRI ini!
Di bandara-bandara lain juga biasanya ada lounge, kecuali yang kecil seperti Bandung dan Bengkulu, misalnya. Eh di Bengkulu ada deh, tapi gak bisa pake kartu kredit. Harus bayar.
Antrian di counter check-in seringkali menyita stok kesabaran kita. Terutama di masa peak season. Masih banyak yang tidak biasa untuk mengantri, jadi saling serobot. Biasanya aku pasang tampang waspada ala satpam kalau ketemu penumpang macam gini, hehe.
Setelah terbiasa, suasana bandara yang menakutkan lama-lama akan luntur kok. Berubah menjadi emmm menyebalkan hahaha. Jadi inget film Up In The Air, dimana George Clooney yang hidupnya banyak dihabiskan di bandara, sampai2 punya tips ala dia segala. Tapi bandara ini kalau tujuannya mau liburan, dengan sendirinya kesan menyebalkan itu akan jadi menyenangkan kok. Semua itu memang tergantung mindset, tampaknya.
No comments:
Post a Comment