Tuesday, January 16, 2024

When You Think You Know Everything (About Your Kids)

 Setelah memiliki dua orang anak. Aku sadar bahwa keduanya memang individu yang berbeda. Bukan fisik yang aku maksud. Mereka sejak bayi sudah berbeda kebiasaan dan perilakunya. Hal itu semakin menyadarkanku, mereka tidak bisa sepenuhnya dibanding-bandingkan.

Walau perbedaan itu betul adanya, aku senang ketika A Angga dan Letra --kedua anakku-- semangat ingin sekolah, Apalagi de Letra yang sepertinya tidak sabar menunggu hari pertama sekolah. Hari-demi hari di sekolah dilalui dengan suka cita. Kita jadi tahu apa yang dia suka, apa yang dia kurang suka. Dia suka art & craft, tapi gak terlalu suka pelajaran olahraga. Dia suka main sama anak laki-laki dibanding anak perempuan. Dia suka pakai rok dibanding celana panjang, dan banyak lagi. Aku merasa sudah sangat mengenal de Letra. TK A dilalui dengan suka cita. TK B pun dijalani dengan riang gembira. De Letra sudah ga malu tampil di panggung untuk nari. Dia sudah sangat luwes dan percaya diri. Sudah hampir dua tahun de Letra sekolah di Bianglala. Tahun depan insya Alloh akan melanjutkan ke SD yang sama.

Sampai sebulan yang lalu, dia sakit panas. Bukan sesuatu yang aneh sih, tidak harus diopname juga. Apalagi memang musim pancaroba, banyak anak yang sakit juga. Setelah sembuh, de Letra kembali bersekolah seperti biasa. Tetapi, suatu hari de Letra gak mau sekolah. Kita pikir dia masih merasa sakit. Jadi kita minta dia di rumah saja. Keesokannya dia masih belum mau sekolah, padahal sudah benar-benar sehat. Hari berikutnya dia malah nangis gak mau sekolah lagi. Kita paksa tapi malah nangis di parkiran sekolah. Dia gak mau masuk sekolah. Bahkan pernah dia memilih nangis di ruang guru daripada ke kelas. Hal ini berlangsung sampai dua minggu. Kami coba menerka-nerka apa yang membuat dia gak mau sekolah. Karena setelah nangis di sekolah, di rumah dia sudah bahagia seperti sedia kala.

Kita coba dia kita hukum. Tidak ada lagi nonton TV. Tidak ada lagi main handphone di weekend. Hal yang paling disukainya. Tapi dia seperti tidak berkeberatan, asalkan tidak sekolah. Kami pun mencoba diskusi dengan gurunya di sekolah. Bahkan kami sudah menjadwalkan sesi bertemu psikolog anak. Kalau kami tanya de Letra, jawabannya seperti tak tentu. Dia bilang diganggu anak lain, tapi dia bilang juga pinginnya di rumah saja. Kami makin khawatir. Takut kejadian ini berlanjut sampai SD. Sempat terpikir, kemungkinan untuk pindah sekolah. Tapi kami gak mau gegabah, apalagi kami sudah bayar biaya registrasi yang tidak sedikit jumlahnya. 

Hasil diskusi dengan guru, akan kita coba kunjungan anak-anak sekelas ke rumah. Jadi secara periodik, sekolah de Letra ada sesi belajar di rumah siswa. Aku pun memasang CCTV, agar aku di Jakarta bisa melihat interaksinya. Sepanjang sesi kelas di rumah, aku berharap-harap cemas. Tapi kecemasan itu hilang, ketika de Letra dengan suka cita menyambut teman-temannya, bahkan sambil berpelukan dengan sahabat-sahabatnya. Dia juga ternyata kangen dengan mereka, hanya saja ada yang takut dia temui di sekolah. Sepanjang acara, de Letra memperhatikan dengan senang dan ngobrol dengan semangat bersama guru dan teman-teman. Setelah kunjungan itu, de Letra alhamdulillah sudah mau sekolah lagi.

Sambil berkomunikasi dengan orang tua siswa lain, akupun menjadi tahu, ternyata ada satu anak laki-laki yang berlaku kasar terhadap teman-temannya, tidak hanya de Letra. Padahal, anak itu dulunya sahabat de Letra, akan tetapi entah kenapa sekarang dia menjadi seperti over reaktif. Kami pun memahami keadaan, dan memuji de Letra yang berani sekolah lagi. Setelah itu, de Letra pun lebih berani dan senang karena kami orang tuanya dan teman-temannya membantu dia mengatasi keadaan ini. Walau dia masih takut kalau bertemu anak itu. Kamipun berpesan sama guru-guru di sekolah dan mengajarkan de Letra untuk tidak harus berteman dengan orang yang dia gak suka. Semoga hal ini menjadi pelajaran buat kami dan buat de Letra.


Maha suci Alloh.