Sudah sejak lama aku seringkali ingin nonton film Indonesia di bioskop. Tapi selalu rencana tersebut gagal. Penyebabnya pun bermacam2, dari mulai samasekali tidak berminat, membatalkan niat, sudah merasa cukup dengan membaca review nya saja atau bahkan memang tak ada waktu. Bayangkan, film Indonesia (pasca kekosongan yang lama) terakhir yang aku tonton adalah Petualangan Sherina. Sudah lama sekali bukan?
Hal ini pula yang membuat aku tak pernah berkomentar sedikitpun tentang film Indonesia. Aneh bukan, membicarakan sesuatu yang tak pernah kita saksikan dan rasakan? Well, hari ini aku sudah membulatkan niat untuk memulai (kembali) menonton film Indonesia. Film yang aku rencanakan adalah “Long Road to Heaven”. Film yang iklannya hanya aku liat di detik.com.
Nonton di blitz, dan hanya sedikit kursi yang terisi. Menurut aku film ini sebuah cita-cita yang besar dan membutuhkan nyali yang besar. Ya. Membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan pemerintah, SARA adalah sesuatu yang sangat tabu di Indonesia. Terus terang aku gak bisa mengingat film yang menyinggung pemerintah atau hal SARA yang tidak “pro pemerintah” di sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Tidak seperti JFK atau buku Da Vinci Code.
Film ini bercerita tentang Bom Bali in the making dan akibatnya pada orang-orang. Film ini mencoba menyibakkan apa gerangan yang menyebabkan orang-orang gila berlabel muslim memutuskan untuk membom Bali. Suatu hal yang sangat ingin diketahui dan dimengerti semua orang di dunia. Film ini mencoba menerangkan perasaan orang Bali yang tidak terlihat marah, keingintahuan seorang jurnalis, orang barat awam korban Bali, seorang muslim dan tentu saja para bombers itu sendiri.
Tidak seperti kesan yang dibuat filmmaker masa kini yang biasanya secara visual sangat indah, --mengingat banyak yang berawal dari iklan video musik-- film ini sangat biasa. Tidak ada aktor yang terkenal kecuali Surya dan Alex Komang (damn, I miss him so bad!). Dialognya on dan off. Tapi sekaligus film ini lucu dan dengan sangat gamblang menunjukan pendapatnya. Seperti menyatakan kekesalannya kepada Amrozi dan Imam Samudera (well, siapa yang enggak, sih!), Malaysian assholes (Noordin, Azahari. Aku suka line “Don’t shit in our own yard” hehehe). Bahkan teori menentukan lokasi bom berdasarkan tulisan di t-shirt agak2 berbau Shyamalan—in the funny way.
Pemeran teroris2 terlihat aneh, setting terlihat sangat low budget dan turis2 yang jadi figuran terlalu terlihat bersenang2. Hehehe.
Selain itu timeline dan cara editing agak membingungkan dan kasar, jadi kesannya melonjak-lonjak. Tapi aku gak kapok kok nonton film Indonesia lagi. Asal dengan syarat thema nya menantang logika, bukan membodohinya. Aku gak heran kalo nanti banyak golongan yang akan keberatan dengan penggunaan kata suci “Allahu Akbar” dan lainnya di pihak para teroris. Aku faham itu hanya cara untuk menggambarkan segala kesalahkaprahan pola pikir mereka.
Walau film ini masih jauh dari gambaran paparan pengobat kesedihan. Tapi entah kenapa obrolan kesedihan akan bom Bali ini masih menohok ulu hati. Mungkin luka yang dialami semua orang memang belum sepenuhnya tersembuhkan. Walau secara hitungan waktu, sudah terasa lama.