Setelah buka puasa dilanjutkan dengan sholat tarawih. 23 rakaat. Dan mesjid terasa penuh. Teriakan “AMIN” nya terdengar merdu. Maklum banyak yang jago ngaji. Setelah malam ke 20, setiap hari rakaatnya ditambah 2, jadi 25, 27, 29, dst. Ajeuww! Cangkeul.
Yang paling malas adalah, setelah tarawih dilanjutkan kembali dengan pelajaran ilmu falak. Sampai dengan jam 11 malam. Banyak yang terkantuk-kantuk. Bahkan ada yang tak tahan, ngagoler di pinggir mesjid. Setelah pelajaran selesai kita setengah berlari ke kobong. Tak sabar ingin tidur. Tapi biasanya sebelum tidur pasti ngobrol dulu. Ngobrol segala macem, dan akhirnya tertidur dengan sendirinya.
Waktu sahur, ada yang datang ke tiap-tiap kamar dengan membawa senter, jam beker yang digantung di leher dan lonceng besar yang biasa dipakai kerbau. Yang jadi petugas, biasanya bergantian dari anak kelas 1 dan 2. Tapi biasanya kamar kita sudah pada bangun sebelum petugas itu datang. Oh iya, jangan membayangkan anak kelas 1 dan 2 itu anak-anak semuran SD. Kelas hanya untuk membedakan materi pelajaran. Pesertanya biasanya nyaris sama. Kelas 1 dan 2 biasanya seumuran 1 SMA sampai dengan umur 20an. Sedangkan kelas 3 memang mayoritas sudah berumur dan berkumis. Yang paling muda adalah aku yang saat itu berumur 18-19 tahun, yang lain sekitar 20-30 tahun. Tak sedikit yang sudah menikah.
Setelah sahur dan sholat subuh kita biasanya tidur lagi hehe. Tapi tak jarang diisi pelajaran tambahan. Bangun jam 7, mandi dan nyuci baju. Tempat mandi ada di mata air yang tak terlalu jauh dari pesantren. Mata airnya sangat jernih dan dingin, aku betah berlama-lama disana. Tapi kalau pagi suka banyak yang antri, jadi harus tahu diri. Setelah mandi dilanjutkan pelajaran lagi jam 8 sampai jam 10. Dan jam 10 adalah waktunya bekerja!!!
Ada beberapa pilihan. Dan semuanya sudah pernah aku coba. Yang pertama adalah jadi tukang bangunan. Darul ulum sedang membangun kelas baru, jadi butuh bantuan tenaga bangunan. Berhubung aku gak punya keahlian, aku jadi tukang antar jemput adukan, ember demi ember aku antar dari tempat ngaduk ke bangunan baru. Aku memilih disini, karena aku pikir ini yang paling ringan. Tapi ternyata itu salah! Panas, cape dan tangan pun sukses pareurih. Hiks. Menjelang adzan dzuhur aku menyerah. Ke kamar dan langsung tiduran. Sholat dzuhur pun jadi tak berjamaah. Maafkan.
Besoknya aku ganti ‘pekerjaan’ baru. Aku disuruh ikut ke balong (kolam ikan/empang). Kemarinnya hujan besar. Jadi balong ajengan terkena longsor, dan kita harus mengurasnya. Istilah sundanya mah “nawu”. Kita pergi beramai-ramai pergi sambil bersenda gurau. Tapi langsung ternganga ketika melihat balong itu. Balongnya luas dan hampir seluruhnya tertimbun lumpur. Jadi kita harus menguras lumpur itu. Hiks. Semua disuruh mengambil cangkul/pacul. Aku boro-boro bisa nyangkul, megang aja jarang. Walhasil aku diketawain. Untung aku ada teman, Mang Uus juga sama ternyata. Aku dan Mang Uus diberi singkup/sekop dan harus masuk ke longsoran lumpur. Ternyata si lumpur itu dalem banget. Sepinggang aku. Dengan bergelimang lumpur aku dan Mang Uus menyekop lumpur itu. Dan sumpah, satu sekopan aja sangat beratt!!
Oiya, semua santri membawa satu celana untuk bekerja. Biasanya celana yang agak butut dan penuh tambalan. Tandanya sering dipakai bekerja. Aku gak tahu, tentu saja. Aku hanya membawa dua celana panjang. Satu katun, satu lagi jeans belel andalan. Akhirnya si jeans itu harus rela dijadikan celana bekerja. Celana itu pula yang aku pakai ketika bekerja di balong. Jeans terkena gumpalan lumpur terasa sangat berat tentu saja. Berjalan pulang dilalui dengan susah payah. Langsung saja celana itu aku cuci. Caranya: masih aku pakai, taburi Rinso, dan sikat sekuat tenaga. Untung saja airnya berlimpah ruah jadi tidak susah.
Jenis pekerjaan terakhir, yang akhirnya menjadi pilihan aku seterusnya adalah ke kebon. Ajengan pesantren itu terkenal sebagai petani cikur (kencur) yang sukses. Jadi kebon kencurnya banyak. Kita disuruh merawat dan menyianginya (ngarambet kalo sundanya mah). Sebelum ke kebon aku selalu memakai Autan. Walau biasanya tetap saja ada nyamuk yang kurang ajar sukses membuat bentol. Kerja di kebon ini gak terlalu berat dan yang lebih menyenangkannya lagi, kita bisa heureuy sambil bekerja. Walau heureuy nya gak berhenti, tapi si Mang-Mang ini gak pernah heureuy porno atau yang kelewatan.
Semua pekerjaan ini berakhir hingga waktu dzuhur. Setelah dzuhur kita istirahat, biasanya tidur sih. Dan bangun sebelum adzan ashar, mandi lagi di mata air. Segarrr! Begitu sih kehidupan sehari-harinya.
Hari Jum’at adalah hari libur. Biasanya kita ke kota Ciamis. Kita suka pergi beramai-ramai. Semua berdandan necis, celana katun, baju tangan panjang lengkap dengan peci dan sepatu yang disemir. Semua kecuali aku, yang hanya bercelana jeans belel, kaos oblong dan sandal jepit. Maaf aku bodohnya gak bawa baju rapi. Di kota ciamis kita jalan-jalan, ke pasar, dan sholat jum’at di Mesjid Agung. Kunjungan ke kota itu biasanya aku manfaatkan untuk memborong minuman kemasan, terutama teh kotak dan membeli beberapa jenis Koran dan majalah. Aku haus informasi dunia luar! Haha. Oh iya, dari pesantren ke kota kita naik angkot, dan sebelum naik angkot kita harus melewati hutan dulu. Jadi aku gak mau pulang kesorean, soalnya sieun pas lewat hutan ituh. Naik angkot disini lucu, semua penumpang seolah-olah sudah kenal sesamanya, jadi kita sering ngobrol, topiknya macem-macem. Dari mulai gaya baju aku yang tidak cocok dengan pesantren (ampun!), cara membuat minyak kelapa, sampai ke diskusi penting tidaknya Magic Jar (sumpah seru! Ada yang pro dan kontra segala, dan dimenangkan oleh si ibu guru yang pro Magic Jar! Horre!).
Kejadian yang paling berkesan adalah ketika suatu hari, setelah tarawih, kelas malam hari, kelas 1, 2 dan 3 ditiadakan. Semua berteriak senang!! Tapi kemudian menjadi tidak terlalu senang setelah tahu, kalau sebagai gantinya kita harus ngebut membantu membuang barangkal dari bangunan baru ke ujung jalan yang agak jauh. Semua santri berpasang-pasangan dengan membawa karung bekas. Sialnya aku berpasangan dengan Mang Atang, seorang santri kekar yang memang sangat giat bekerja. Dia adalah orang kepercayaan sang ajengan. Kemana-mana selalu membawa golok alias bedog. Dengan Mang Atang kita harus cepat, bahkan seringkali aku dipaksa berlari sambil menggotong barangkal ituh. Hiks. Akhirnya aku menyerah, dan Mang Atang pun memilih partner lain yang lebih cekatan hihihi.
Pernah suatu waktu Mang Uus mengajak aku buka puasa di luar. Maksudnya di luar Darul Ulum. Untunglah. Aku memang kadang bosan dengan menu si bala-bala dan sayur berjengkol itu. Besok, kita ke Maruki yuk, katanya. OMG, Mang Uus ternyata seleranya ok juga. Dia mengajak aku ke warung makanan Jepang, pikirku. Oh, tak sabar aku menunggu besok. Warung seperti apa Maruki itu. Tapi aku yakin, warung itu tak besar. Aku cukup tahu kota Ciamis. Nenekku kan tinggal disana. Di Ciamis, resto fastfood sejenis California Fried Chicken baru ada sekitar tahun 2002an. Jadi aku tak berharap banyak, yang penting ada goreng udang tepung saja sudah lebih dari cukup.
Akhirnya hari ini datang juga. Sengaja setelah ashar aku sudah menggunakan si jeans belel. Hari itu kebetulan gak ada pelajaran, ajengannya ada perlu. Aku lihat Mang Uus kok belum mandi. Oh, aku pikir mungkin dia bukan tipe orang yang terburu-buru. Tapi kemudian sudah jam 5 sore, dia baru mandi. Ah, alamat telat deh ke Maruki itu. Tapi kemudian setelah jam setengah enam, dia baru mengajak pergi. Aku jadi mulai curiga dengan si warung Maruki ini.
Dan ternyata benar saja. Mang Uus berjalan terus. Bukan ke arah hutan tempat nunggu angkot ke Ciamis. Ternyata jaraknya tak jauh. Dia berhenti di sebuah warung merangkap rumah panggung sederhana. Dan saat itu juga aku sadar, Maruki bukanlah warung masakan jepang. Maruki tak lain adalah Mak Ruki, nama pemilik warung nasi. Hiks. Selamat tinggal udang goreng tepung! Menunya memang lebih beragam, ada jengkol goreng, ikan mas goreng dan perkedel. Aku pun makan cukup hanya dengan perkedel saja. Aku mengutuk diriku sendiri, kenapa menerjemahkan Maruki sebagai restoran Jepang, hehe bodoh.
Tak terasa 28 hari telah berlalu. Pengalaman di pesantren ini tak akan pernah aku lupakan. Kebersahajaan hidup di kobong merupakan sebuah pengalaman baru buatku. Andai saja Mang Endang dan Mang Uus punya Facebook. Tapi tampaknya tak mungkin. Kalaupun iya, aku tak pernah tau nama lengkap mereka. Mungkin suatu saat aku akan kembali mengunjungi Petir. Mengunjungi Darul Ulum tercinta.
No comments:
Post a Comment