Dulu. Jaman kuliah sekitar tahun 1997-1998. Saat itu libur kuliah berbarengan dengan bulan Ramadhan. Entah kenapa aku tiba-tiba memutuskan untuk mencoba kehidupan Pesantren. Aku mencoba keras untuk mengingat-ingat alasan apa yang membuat aku mengambil keputusan itu. Tapi tak pernah berhasil.
Tabungan aku bongkar. Ada sekitar 1 juta. Saat itu terasa sangat besar. Maklum belum jaman krismon. Dollar masih sekitar 4000-5000an. Aku minta bantuan Yedi, teman kuliahku yang asli Ciamis untuk membantu aku mencari pesantren yang cocok di Ciamis. Sengaja aku memilih yang jauh dari Bandung. Aku gak ingin cepat pulang kalau merasa gak betah. Untungnya Yedi memutuskan untuk ikut pesantren bareng aku.
Ada dua pesantren yang aku kunjungi. Yang pertama di daerah Nangewer. Mata pencaharian pesantren itu dari budidaya ikan tawar. Jadi pesantrennya bau amis dan berserakan sisik ikan. Aku agak jijik, tapi aku sudah pasrah, dimanapun pesantren yang dipilih aku akan tinggal disana. Pilihan kedua adalah Pesantren Darul Ulum di desa Petir (sekitar Baregbeg). Secara tampilan bersih, walau tetap saja kesan ‘desa’nya terasa, karena memang agak jauh kok akses transportasi umum. Aku langsung memutuskan memilih pesantren ini. Apalagi pesantren ini memiliki program materi singkat khusus Ramadhan.
Setelah meminta izin kepada pimpinan pondok pesantren yang ternyata uwaknya Yedi, aku pun membayar biaya pendaftaran, yang terdiri atas iuran listrik sebulan, biaya kebersihan asrama (biasa disebut kobong dalam bahasa sunda), dan sumbangan sukarela, yang totalnya berjumlah Rp 10.000,- ya, betul hanya sepuluh ribu saja untuk satu bulan hehe.
Aku langsung pulang ke rumah Yedi, karena memang baju dan perlengkapan lainnya tidak langsung aku bawa saat itu. Keeseokan harinya aku pergi sendiri ke pesantren. Yedi akhirnya tak jadi ikut, dia sakit herpes. Nyaliku langsut ciut. Pesantren itu terlihat sangat menakutkan kalau dikunjungi sendirian ternyata. Aku takut gak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan pesantren. Bayangan harus menulis dan mengaji dengan arab gundul membuat aku berkeringat cemas.
Oleh Mang Agus, pengurus pesantren itu, aku ditempatkan di kobong baru. Satu kamar ditempati oleh tiga orang. Teman sekamar aku adalah Mang Endang dari Manonjaya dan Mang Uus dari Bogor. Aku baru tahu kalau bulan Ramadhan pesantren dipenuhi banyak santri kalong. Artinya santri yang belajar di pesantren lain yang jauh dari pesantren asalnya. Hal itu membuat aku lega. Oh iya, di Darul Ulum ini sebutan antar santri adalah Mang, jadi gak peduli lebih muda ataupun lebih tua, sebutannya Mang. Jadi akupun dipanggil Mang Dodi.
Mang Endang sekitar 8 tahun lebih tua dibanding aku, sedang Mang Uus tiga tahun diatas aku. Mereka sangat baik. Tidak sulit beradaptasi dengan mereka. Pelajaran dimulai ba’da Ashar. Aku memilih ditempatkan di kelas 3. Kelas paling senior. Bukan berarti aku sudah menguasai pelajaran kelas 1 dan 2. Kelas 3 aku pilih karena materinya—aku pikir—gak terlalu menakutkan. Materi yang aku pilih adalah ilmu falaq, semacam ilmu perbintangan yang mengajarkan kita cara hisab dan menentukan penanggalan kalender. Sebetulnya ada lagi materi ilmu waris, tapi aku gak ikut, alasannya sekali lagi adalah si arab gundul itu. Kalo ilmu falaq entar kan pake angka, pikirku.
Bada ashar dimulai pelajaran penentuan kalender. Tidak terlalu sulit aku ikuti. Aku bayangkan materi ini hampir mirip dengan pelajaran geografi dan matematika. Hambatannya adalah belajar huruf yang ternyata tidak menggunakan angka arab, tapi pake huruf hijaiyyah yg tak berurutan, seperti misalnya 1=ba, 2=jim dsb. Aku terpaksa membuat paririmbon dadakan. Hambatan lainnya adalah bahasa sunda! Ya, walaupun aku menggunakan bahasa sunda di percakapan sehari-hari, tapi ternyata ada yang terdengar asing di telinga aku, seperti: akay-ukuy (maju sambil jongkok), maracacalan (cerai berai) hahaha.
Selain materi yang harus aku hadapi. Tatacara kehidupan pun harus aku sesuaikan. Disana sehari-hari memakai kain sarung, kecuali kalau bekerja ke kebun atau ke balong (kolam ikan), atasan sih bebas, mau kemeja atau kaos. Tentunya aku memilih kaos saja. Peci biasa dipakai juga, terutama kalau sholat. Tapi kalaupun gak pake juga gak apa-apa. Selain itu aku harus membiasakan kencing jongkok. Kalau kencing sambil berdiri pasti ditegur. Lagian aneh memang, kalau kita kencing berdiri tapi pake sarung. Rasanya seperti pake rok yang nyingsat hehe.
Pelajaran ba’da ashar, berakhir sekitar jam 17.30. Setelah itu waktunya bebas sambil menunggu bedug maghrib. Setelah tiba waktu maghrib biasanya kita takjil di mesjid yang ada di tengah2 pesantren. Menu takjil disediakan ibu-ibu sekitar pesantren. Tapi jangan samakan dengan di mesjid deket rumah di Bandung yang kuantitas dan kualitasnya beragam. Yang ada biasanya pepaya dan pisang rebus (disini aku nyoba pepaya rebus untuk pertama kali—dan rasanya..aneh haha). Tapi yang paling sering adalah jondos alias kejo rendos. Nasi ditambahkan garam kemudian ditumbuk menyerupai lemper. Pas pertama kali aku pikir dalemnya bakalan ada daging. Harapan yang sia-sia. Hehe.
Setelah takjil dilanjutkan dengan maghrib berjamaah, dan buka puasa! Di Darul Ulum ada satu kantin yang menjadi tempat makan satu-satunya. Kantin ini menyediakan masakan yang dimasak ibu ajengan, tidak menerima order. Dan selama aku disana, menu yang disajikan tidak berubah, yaitu, nasi putih, sayur kacang atau sayur asem, dan….bala-bala favorit aku! Baik sahur maupun buka puasa. Tapi pernah juga, sekali, si ibu masak daging ayam, walau agak liat tapi menjadi selingan yang terasa sangat mewah. Yang agak unik (menyebalkan tepatnya!), sayur kacang dan sayur asem itu suka ditambahkan irisan kecil jengkol! Walhasil wc pun dengan sukses bau hangseur jengkol.
Harga satu kali makan adalah ….. 250! Ya betul: dua ratus lima puluh rupiah sajah! Nasi bebas, mau segimana, asalkan diambil sekali saja. Kalau nambah, mau satu kali, dua kali, terserah, dikenai charge tambahan 50 rupiah, jadi total 300 rupiah. Kalau sama daging ayam, yang cuma sekali itu, satu kali makan 500 rupiah. Walau jadul, harga ini sumpah terasa sangat murah! Menu KFC satu ayam satu nasi dan minuman, saat itu kurang lebih 18.000 kok.
Walau murah, tapi saat itu cukup banyak kok yang ngutang. Biasanya mereka rajin sendiri nulis di buku yang sudah disediakan. Selagi kita berbuka puasa, biasanya banyak anak-anak berebut nakol bedug. Dan baru berhenti setelah ada santri yang keluar dan teriak: KU AING DI LEGLEG SIAH! TEU NYAHO SANGU NA TIKORO KENEH IEU TEH!
1 comment:
Sae info na... kunjung balik!
Post a Comment