Monday, June 15, 2009
Marrakesh -- The Hassle
Marrakesh adalah boleh dibilang tujuan utama Maroko. Kota ini yang selalu banyak dibicarakan orang. Hal ini pula yang membuat aku sangat bersemangat menuju ke kota ini. Aku berharap akan keindahan arsitek dan luapan kebudayaan Maroko akan aku dapatkan disini. Sebelum pergi ke negara ini, aku sudah memesan penginapan di Riad (rumah khas Maroko) dan bukan dihotel. Saking inginnya mencicipi kebudayaan asli Maroko.
Berangkat pagi hari dari Casablanca menggunakan kereta kelas 1 pukul 08:50. Kereta di Maroko ini hebatnya selalu tepat waktu. Dari seluruh perjalanan kereta api yang kita gunakan di negara ini hanya satu kali saja kita mengalami keterlambatan, itupun hanya 5 menit gara-gara kabarnya ada anak kecil tertabrak kereta api, dalam perjalanan Tangiers ke Fes.
Tiba di Marrakesh pukul 12:05. Stasiun keretanya sangat bersih, indah, dan terlihat masih baru. Kita menemukan KFC disana, tanpa pikir panjang kita langsung membeli dan berencana untuk memakannya di penginapan.
Setelah itu kita langsung mencari taksi. Lonely Planet menyarankan kita agar berhati-hati terhadap supir taksi. Menawar di awal atau gunakan argo. Syukurlah kita mendapatkan supir yang jujur, ongkosnya hanya 12dh, lebih rendah 8dh dari yang disarankan Lonely Planet. Kita diturunkan di sebuah jalan dekat Djama El Efna, sebuah lapangan kosong luas semacam alun-alun yang merupakan daya tarik utama kota ini.
Aku agak terkejut dengan kota ini. Sepanjang mata memandang yang terlihat adalah turis dan pedagang. Sialnya cuaca Marrakesh cukup panas dan anginnya kering.
Riad yang aku pesan bernama Dar Mauresque. Petunjuk yang tertera di website adalah, cari Café de France, kemudian ikuti jalan, dan cari Gang bernama Derb Jdid kemudian ikuti sampai menemukan rumah nomor 132. Atau tunggu saja di café tersebut, akan ada orang yang mengantarkan sampai ke penginapan. Ok, terdengar mudah dan simple. Hal yang salah. Sangat salah.
Sambil menggeret kopor masing-masing dan bungkusan KFC kita mencari-cari jalan utama itu. Bahkan kami tak yakin apakah tempat kami berdiri ini adalah Café de France atau bukan. Habisnya gak ada yang menunjukan itu. Yang ada adalah Restaurant de France. Beda kan? Akhirnya Rony memutuskan pergi sendiri mengandalkan GPS di Nokia Mapnya. Aku menanyakan ke beberapa orang yang berlalu lalang. Tapi mereka tak tahu. Selagi Rony pergi, aku akhirnya bertanya ke salah satu waiter di restoran ini, dengan bahasa Inggris yang nyaris tidak berguna. Akhirnya aku mendapat kepastian kalau tempat yang aku diami sekarang adalah benar Café de France. Tapi dimanakah orang yang mengantarkan aku ke Riad itu? Si waiter pun tak mengetahuinya.
Akhirnya Rony datang dengan wajah kesal. Dia tak menemukannya. Kami pun menyerah dan menanyakan ke seorang ABG yang dengan senang hati mengantarkan kami. Di tengah jalan dia mengajak ABG lainnya, jadi total sekitar 4 orang. Kami melewati gang berkelok-kelok. Kalaupun petunjuk di website itu lebih detail, kami tak yakin akan bisa menemukannya. Kami pun akhirnya berhenti di sebuah pintu bertuliskan angka 132. Tak ada tulisan apapun. Setelah memencet bel keluar seorang wajah pemuda Arab yang mempersilahkan kami masuk.
Permasalahan muncul disini. Si ABG itu meminta uang, kami pun tak keberatan, kami memberi 20dh, mereka tak mau, katanya uang sebesar itu hanya untuk bayi dan melemparkannya. Mereka meminta 200dh. Sial, suasana makin gak enak, penuh tawar menawar yang terdengar seperti ancaman dan teriakan. Aku pun memperlihatkan isi dompetku yang kebetulan hanya berisi uang Rupiah. Salah seorang dari mereka mengambil uang 20.000 rupiah dan bilang semua beres. Ok. Monyet-monyet sialan.
Kami pun melepas lelah di tengah Riad. Riad sendiri adalah rumah dengan gerbang kokoh tertutup, dan semacam plaza ukuran mini di tengah-tengah pusat rumah. Biasanya ada kebun dan air terjun melengkapi kursi dan meja disana. Tapi Riad yang kami tempati tidak memiliki kebun ataupun air mancur. Hanya meja makan dan beberapa kursi. Tapi yang menakjubkan adalah detailnya. Rumah ini penuh dengan tegel dan keramik dengan motif khas Maroko. Bahkan lengkap dengan seekor kucing yang katanya berumur dua belas tahun bernama Popsie. Andai mood kami bagus saat itu, kami akan super excited. Tapi baru saja kami selesai duduk melepas lelah dan memasukan barang ke kamar. Terdengar bunyi bel.
Kemudian terdengar percakapan dalam bahasa Arab antara Yasin (pemuda Arab yang membukakan gerbang tadi) dengan si pemencet bel. Semakin lama terdengar seperti pertengkaran. Aku mulai gak enak. Sepertinya si monyet-monyet itu kembali. Tak lama kemudian datang seorang bule separuh baya dengan kaca mata Rayban Aviator masuk ke Riad. Aku langsung lemas. Mungkin dia pimpinan preman2 sialan itu.
Dengan bahasa Inggris logat yang sangat Inggris sekali (mengingatkanku akan Simon Cowell) dia berkata kalau ada sekumpulan ABG didepan yang mencoba menukarkan uang yang aku berikan (salah sendiri maen rebut seenaknya) di money changer, akan tetapi ditolak, dan sekarang minta uang dirham sebagai gantinya. Mereka minta 100dh, tapi aku berhasil membujuknya menjadi 50dh saja. Kami pun tak ada pilihan lain selain memberikan apa yang mereka minta. Hal itu membuat mood kami berubah dari buruk menjadi mengerikan.
Kami pun bahkan memikirkan untuk pindah penginapan di malam berikutnya. Tak peduli dengan uang muka yang sudah kami bayarkan sebelumnya.
Setelah monyong-monyong itu pergi, si bule kemudian duduk di meja tengah. Kami berkenalan. Ternyata dia Ken, pemilik Riad, bukan pimpinan preman seperti yang aku kira. Dia menyebutkan bahwa sebelumnya sudah mengirim email yang menyebutkan jika sudah sampai di Marrakesh segera menelpon penginapan agar langsung dijemput. Dia mengirim email tanggal 15 Mei. Tanggal dimana aku sudah berada di Casablanca. Tentu saja aku tak membacanya, siapa yang peduli dengan email di saat liburan, bukan. Kami pun berbicara panjang lebar dengan Ken, sambil mengajak tur di penginapannya. Bahkan dia pun mempunyai paket tur ke gurun maupun High Atlas. Percakapan itu cukup membuat kami merasa lebih baik, apalagi ditambah sajian teh mint yang membuat segar. Ok, kita lihat nanti, apakah kami jadi pindah hotel atau tidak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment