Tuesday, December 10, 2024

Menuliskan Ingatan: (1989 - 1992) Dengan Siapa Kamu Berteman? Part2

SMP15 Pada zaman aku bersekolah di sana, menggunakan metode pembagian kelas yang berbeda di setiap tahunnya. Jadi, setelah kenaikan kelas, sebelum memulai tahun ajaran baru, akan ada pengumuman di mading, kita masuk kelas mana. Momen ini jadi peristiwa yang bikin deg-degan. Karena, akan ada harapan semoga sahabat yang sudah akrab akan sekelas dengan kita, dan ada ketakutan kalau kita ditempatkan di kelas yang muridnya dikenal "nakal".

Pas lihat pengumuman, hatiku agak mencelos, aku masuk kelas 2D, sedangkan Yunus, sahabatku masuk kelas 2E. Aku runut daftar nama yang tertera, murid 1C, asal kelasku, hanya sedikit. Oiya, selain metode acak ini, SMP15 menggunakan metode pembagian jam masuk. Kelas 1, semuanya masuk siang. Masuk jam 12:30, pulang jam 17:00. Kelas 3, semuanya masuk pagi. Mulai jam 07:00 pulang jam 12:00. Nah... kelas 2 ini campuran. Semester ganjil, kelas 2A, 2B, dan 2C masuk pagi, sisanya, 2D, 2E, dan 2F masuk siang. Semester genap, dibalik, 2A, 2B, 2C masuk siang, sisanya masuk pagi. Metode ini membuat kelas 2 seperti menjadi dua himpunan besar.

Kelas 2D dimulai dengan masuk siang. Sesuatu yang tidak terlalu berubah jika dibandingkan dengan kelas1. Kelas 2 ini, dimulai dengan awkward. Perubahan teman, diiringi juga dengan perubahan guru. Aku terus terang agak kesulitan dengan perubahan guru mata pelajaran favoritku, bahasa Inggris dari bu Elis ke Pak Toemiran, bahasa Sunda dari bu Sekartini yang lemah lembut, ke Bu Nia yang agak galak (bu Nia ini adalah wali kelas kami), matematika dari pak Tyas yang kalem, menjadi Bu Afifah yang juga galak. 

Pelan-pelan kami semua mulai beradaptasi. Di sini lah kemudian teori bahwa orang akan berkumpul dengan yang memiliki perangai serupa terbukti. Aku lantas nyambung sama Andri, Oki, dan Sodik. Secara fisik kami kecil-kecil, dan memiliki image "anak baik" hahaha. Bedanya adalah, semuanya, kecuali aku, sangat berbakat di bidang olahraga Hahaha. Kami seringkali jajan di kantin bareng, atau salat Ashar di mesjid belakang bareng pada waktu istirahat. Di kelas 2 ini juga, pasangan duduk kita ditentukan guru. Satu meja harus diisi dua murid dengan jenis kelamin berbeda. Aku duduk dengan Teti. Hal ini membuat proses adaptasi berjalan cepat. Aku ingat selain dengan murid laki-laki, kita juga cukup akrab dengan murid perempuan, seperti Mamah, Nelly, Nurrisye, Sumiati, Sari, Nining, Dienar (yang memang asalnya sekelas di 1C), Tati, dan banyak lagi. Oiya, selain di kelas 2D, aku juga sering menyambangi kelas 2E, kelasnya Yunus. Karena inilah, kemudian aku sering ngobrol dengan murid 2E, seperti Arra, Tantan, Alan (yang jago gambar dan suka bikin novel dengan main character bernama Herly Yop) dan yang lainnya.

Hal yang berbeda pula adalah, di kelas 2D ini, kita sering kerja kelompok di pagi hari sebelum masuk sekolah. Karena mayoritas temenku berrumah di wilayah Sukagalih dan Sukajadi, kerja kelompok sering diadakan di rumah Andri di Sukagalih. Biasanya dimulai jam 9 sampai jam 11, disambung dengan berangkat sekolah bareng jam 11. Agar murah dan turun di depan sekolah langsung, kita naik bis Damri. Himpunan pertemanan ini kemudian bertambah dengan kehadiran Agus Sundoro, yang rumahnya di Asrama Polisi Sukajadi. Pola yang berbeda ini, menambah khazanah memori aku yang biasanya seputaran Sarijadi. Periode ini membuat aku lumayan akrab dengan permainan dingdong di Bioskop Bison haha.

Friday, December 06, 2024

Menuliskan Ingatan : Dealing w/ Insecurities

Belum. Belum mau melanjutkan cerita berteman dengan siapa atau lanjutan tentang kuliah. Tapi mau nulis tentang insecurity. Aku belum menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Ketidakamanan. Haha, kok rasanya masih belum tepat. Tapi sudah lah ya, aku pakai insecurity di postingan kali ini.

Kenapa tiba-tiba aku terbersit ingin menuliskan insecurity ini? Karena ternyata si insecurity ini akan terbawa sampai tua, kalau kita tidak berhasil mengatasinya. Itu yang aku percayai. Selain memori acak yang tiba-tiba muncul.

Insecurity terbesar seingat aku dimulai pada saat SMP. Dan itu adalah... aku merasa tidak berkecukupan dibandingkan lain. Sebelum SMP, aku sangat senang mengajak temanku kerja kelompok di rumah. Aku tidak pernah berpikir bahwa rumahku jelek, tidak apa-apa bermain dan mengerjakan PR di ruang tamu atau halaman rumah. Di rumahku, kalau pulang sekolah, seringkali tidak ada makanan, bahkan tidak ada siapa-siapa kecuali aku. Karena Amih Apih, belum pulang kerja. Kakak-kakakku juga belum pulang dari sekolahnya. Jadi, kalau temanku datang, ya cuma disuguhin minum aja. Hahaha. Mau beli makanan, gak punya uang. Lah, bekel tadi sekolah sudah habis dipakai jajan. Aku aja seringkali belum makan siang haha. Memang beda kalau kerja kelompok di rumah temanku yang di rumahnya punya ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasti disediakan makanan. Semua itu berjalan baik-baik saja, tidak mengurangi kebahagiaan. Tidak menjadi hal besar pula.

Semua itu berubah setelah aku SMP. Ke-tidak apa2an itu menjadi masalah. Aku merasa rumahku jelek, dan malu kalau temanku datang. Apalagi aku pernah ke rumah Lola untuk latihan kabaret. Rumahnya bagus dan besar, membuatku takjub. Terus aku latihan drama juga di rumah Fadian, di rumah Andi, semuanya punya kamar sendiri. Jadi kalau main, ya, di kamar mereka, tidak di ruang tamu. Sedangkan aku masih tidur barengan berjejer sama para kakak laki-laki. Insecurity itu muncul dengan parah. Walau kemudian dibuatkan kamar dengan cara membelah kamar dengan tripleks, aku tetap merasa kamarku gak cukup proper untuk tempat berkumpul. Diperparah dengan koleksi buku, mainan dan consol game yang dimiliki temanku di kamarnya. Aku hanya baca komik di taman bacaan!.

Semua itu membuat aku terbiasa menghindar kalau ada teman yang mau datang ke rumah. Banyak alasan aku lontarkan. Pernah sekali waktu, aku gak bisa menghindar, Fadian dan Andi datang ke rumah, masuk kamar. Awkward, duduk di kasur, karena memang tidak ada kursi lainnya hehe. Untungnya rumahku deket sama rumah Andi, kita langsung pindah ke rumahnya. Main game komputer di kamar Andi. Hal itu membuat aku merasa kecil dan malu. 

Insecure berikutnya muncul saat aku melihat sepatu-sepatu keren yang teman-temanku pakai. Sepatu-sepatu basket yang hanya aku kagumi dari balik etalase toko membuat aku minder kalau dibandingkan dengan sepatu yang Apih beli di Cibaduyut atau sepatu warrior yang kupakai. Pernah di suatu hari Maulid Nabi, ada lomba fashion show. Perwakilan kelas aku adalah murid ganteng bernama Ronald. Pas mau naik panggung, dia minta tuker sepatu. Dia pakai sepatu basket Reebok yang sangat keren tapi gak cocok dengan tema. Makanya dia minta tuker dengan sepatu pantofel aku. Selama lomba, Ronald bilang silahkan pakai aja sepatu Reebok dia. Aku tak berani menyentuh sepatu itu sama sekali. Aku memilih nyeker, telanjang kaki sepanjang lomba di pinggir panggung, daripada memakai sepatu itu. Hahaha.

Insecurity ini kemudian agak "melemah" di kelas 3. Terus terang aku gak tau sebabnya. Padahal aku masih berteman dengan teman-teman aku yang kaya, tapi mungkin juga karena temanku yang "sepadan" juga banyak. Jadi balanced, serasa punya teman senasib. Walau, mungkin juga seiring berjalannya waktu, aku sudah sangat menerima kenyataan, bahwa tidak memiliki barang yang aku inginkan itu: tidak apa-apa. Orang lain punya barang bagus itu tidak lantas kita harus punya juga. Dan pelan-pelan "berdamai" dengan apa yang kita punya. Bersyukur mungkin ya, istilah tepatnya. Mempunyai teman yang beragam, membuat aku bisa melihat banyak yang lebih tidak punya dibandingkan aku. Dan itu, biasa. Oiya, yang disebut "pelan-pelan" itu sangatlah tidak sebentar, bertahun-tahun lamanya.

Setelah SMA, jurang perbedaan makin kompleks. Ke sekolah banyak yang pake motor atau mobil, dan aku masih pakai angkot. Setelah merenung dan mencoba mengingat, ternyata insecurity yang pernah ada, tidak menjadi terlalu masalah saat itu. Tampaknya rasa damai yang dipupuk, mulai berhasil. Insecurity ini, di kemudian hari, menolong aku memahami orang lain. Misal, pas mau reuni SMP. Aku bisa paham teman yang enggan datang, hanya karena takut ga ada yang kenal, takut soalnya sekarang jadi gendut, takut karena belum "berhasil". Aku jadi tahu cara membujuknya, tenangin dan bantu hadapi insecurity-nya.

Eh tapi, eh tapi.. apakah insecurity toal 100% sudah bisa dihilangkan? tentunya tidak mungkin ya. Masih ada satu dua, bahkan beberapa yang muncul. Jenis yang baru dihadapi. Mau gak mau yah, begitu aja, hanya dengan dihadapi, bukan dengan menghindar. Karena kalau menghindar, akan nempel lagi suatu waktu. Jenis baru itu, misalnya seperti ini: baru turun dari gojek, tapi masuk ke mall Plaza Indonesia. Bau knalpot, rambut awut-an, tapi harus tetap slay masuk lobby dengan tatapan maut security. Hahaha. 

Deal with it. Life goes on. Dan tetap berdoa tentunya.

Wednesday, July 24, 2024

Kuliah Lagi di Usia Tua (1)

Di tengah kegaduhan pandemi dan stress yang tak mereda. Ditambah lagi aku sempat positif Covid, tiba-tiba saja ada berita dari sahabatku. Sahabatku ini salah satu pekerjaannya adalah dosen di Universitas Padjadjaran (Unpad). Kebetulah tahun itu, dia juga kebagian jabatan sebagai kepala program studi pasca sarjana di Fakultas Ekonomi, Jadi dia memiliki target untuk menerima mahasiswa baru. Dia kemudian menawarkan aku untuk menjadi mahasiswa magister di fakultasnya. Tawaran yang langsung aku tolak. Adalah hal yang gila menambah masalah di keruwetan pekerjaan dengan hal lain yang menurutku tak ada faedahnya di dunia pekerjaan. Tempatku bekerja tidak memberikan benefit lebih kalau kita sekolah lagi atau mendapatkan gelar tambahan. Tidak seperti di pemerintahan.

Semakin hari, anehnya, kok tawaran itu semakin kepikiran. Aku kemudian menuangkan ide itu dalam guratan pro dan contra. Kontranya lebih banyak, dilihat dari hal waktu, pikiran, dan tentu saja biaya, semua merugikan. Pro nya adalah: hal baru dan perkuliahan dilakukan secara online. Aku pun mencari informasi dengan lebih banyak lagi. Detail jurusan apa saja, biayanya berapa, tahapannya apa saja, dan hal lain. Terus terang saja, semua catatan menunjukkan arah saran untuk tidak kuliah. Tapi hatiku semakin condong untuk mengambilnya. Akupun kemudian berdiskusi bersama isteriku. Isteriku memberi lampu hijau. 

Izin itu membuat langkahku semakin bulat. Tapi jurusan yang menarik perhatianku malah bukan di fakultas ekonomi, tetapi Komunikasi Bisnis di Fakultas Komunikasi (fikom). Keputusan ini sekan menyulut sebuah semangat baru. Gairah yang bisa jadi penawar kesibukan dan kejenuhan aku selama ini. Lebay tapi begitulah adanya. Aku kuliah di tahun 1995, dan lulus di tahun 2000. Lebih dari 20 tahun! Aku terus terang sudah lupa rasanya. Perasaan ini sulit aku gambarkan. Aku tiba-tiba diliputi kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan baru, akan tetapi juga rasa ingin tahu yang sangat luar biasa.

Kutelusuri syarat-syarat tes penerimaan. Banyak prosedur, website, istilah yang sama sekali asing kutemukan. Aku merasa tua dan tertinggal. Wahana apa ini? Tes Kemampuan Akademik, TOEFL. Oh Tuhan, tes apa ini? Aku lantas membuka Tokopedia dan langsung menambahkan buku belajar ke keranjang belanja. Aku sangat bersemangat mempelajarinya. Ternyata dalam alam bawah sadar, aku sangat rindu akan suasana ini. Belajar lagi hal baru. Aku semakin lega, aku mengambil keputusan ini.

Aku mengupayakan waktu untuk tes demi tes. Aku sengaja tak membagi informasi tentang keputusanku untuk kuliah lagi ke atasanku di kantor. Ini adalah ruang "bermainku". Tempat pelepasan penatku yang baru. Tes dilakukan secara online. Setelah tak sabar menunggu hasilnya. Alhamdulillah nilai-nilaiku memenuhi syarat. Prosesi selanjutnya adalah membuat surat yang memuat tujuan untuk kuliah, dilanjutkan dengan wawancara.

Ini adalah isi suratku:

Dengan hormat,

Perkenalkan, saya Dodi, berusia 44 tahun pada 6 Agustus nanti. Status berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Saat ini saya bekerja di xxx sebagai xxx.

Saya menempuh Pendidikan sarjana (S1) di Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada tahun 1995 sampai dengan 2000.

Setelah lulus saya tidak pernah mengikuti Pendidikan formal lainnya, kecuali pelatihan/training yang diselenggarakan kantor tempat saya bekerja. Saya mulai bekerja di XXX pada akhir 2000 sebagai tenaga outsource, dan mulai bekerja sebagai karyawan organik tahun 2003. Pekerjaan saya sebagian besar di bagian pelayanan pelanggan, dimulai dari team penanganan keluhan pelanggan di Call Center. Kemudian mengelola manajemen operasional service point dengan pihak ketiga di wilayah Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung. Setelah itu menangani strategi pelayanan dan operasional pelayanan di wilayah Jabotabek dan Jawa Barat.

Setelah berkecimpung di dunia pelayanan, sejak tahun 2018 saya mendapatkan tanggung jawab di bidang sales, baik itu sales policy maupun penyusunan strategi sales dan mengkomunikasikan strategi sales tersebut dengan team sales di Area.

Selama ini, perusahaan memberikan berbagai bentuk dan cara untuk meningkatkan kemampuan karyawan, baik itu diselenggarakan oleh fungsi HRD maupun internal sub direktorat, bahkan level divisi dan departemen. Bentuk yang selama ini diadakan adalah sharing session, pelatihan/training, reading assignment, webinar, quiz yang sifatnya wajib maupun tidak, dan lomba inovasi tahunan. Sejak pandemik,kegiatan-kegiatan ini pun tetap dilakukan, hanya saja tanpa melalui pertemuan fisik.

Walaupun saya mendapatkan berbagai kegiatan di atas, terus terang saya tergelitik untuk mencoba hal baru untuk menambah pengetahuan, skill, networking dan mendapatkan point of view yang baru melalui hal yang belum pernah saya coba sebelumnya, melalui Pendidikan formal. Sahabat saya, Dini Rosdini, seorang dosen Akuntansi di Unpad, suatu hari menyarankan saya untuk ikut program Magister. Sebuah peluang untuk mewujudkan keinginan itu. Tapi saya ragu, terus terang saja. Pandemi di awal 2019 memang membuat saya bekerja di rumah, di Bandung. Tapi bukan berarti membuat waktu senggang saya semakin banyak. Koordinasi pekerjaan seringkali berlangsung jauh melebihi waktu kerja regular dan dimulai sejak dini hari. Screen time saya melonjak melebihi sebelum pandemic, belum lagi harus membagi konsentrasi dengan keluarga dan dua anak balita saya. Ide kuliah lagi seolah seperti bukan ide yang baik.

Akan tetapi, saya sadar, kesempatan terbaik membutuhkan keberanian, selain itu restu dari keluargapun sudah saya dapatkan. Oleh karena itu saya memberanikan diri untuk mendaftar program magister tahun ini. Setelah browsing dan bertanya dengan teman-teman yang berprofesi dosen di Unpad, saya memilih Magister Ilmu Komunikasi, dengan rencana peminatan Komunikasi Bisnis. Saya melihat program ini sejalan dengan pekerjaan saya saat ini, selain memang komunikasi merupakan minat saya sejak lama.

Fungsi kerja saya saat ini diantaranya menentukan metode campaign yang efektif, membuat sosialisasi yang mudah dan efektif, serta merumuskan UI/UX suatu apps yang baik dan mudah digunakan. Oleh karena itu, program Magister Ilmu Komunikasi saya rasa pilihan yang tepat. Harapan saya program ini dapat memperluas cakrawala berpikir saya sebagai seorang praktisi dengan memperkaya teori, informasi perkembangan pengetahuan serta tentunya ilmu berharga dari akademisi berpengalaman.

Demikian pernyataan tujuan ini saya buat, terima kasih.


Tahapan selanjutnya adalah wawancara. Aku diwawancara oleh dua dosen, Ibu Pur (yang kelak akan menjadi penguji tesisku) dan Ibu Ira, yang kelak akan menjadi dosen pembimbingku. Alhamdulillah aku berhasil menjadi mahasiswa baru program magister Komunikasi Bisnis Universitas Padjadjaran.

Hipertensi di Kala Pandemi

Pada saat pandemi, di tahun 2020-2021, untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku divonis darah tinggi. Aku gak ngerti kenapa hampir setiap hari pusing tapi kok gak kunjung berhenti. Minum panadol yang biasanya ampuh, sekarang ini reaksinya cuma sebentar saja. Tes covid berkali-kali hasilnya negatif. Ke dokter saat itu agak malas, soalnya tahu sendiri kan, selain sulit mencari dokter yang praktik, perjalanan buat diperiksa saat itu lumayan repot. Harus tes covid, janjian, pakai masker lah, dan sebagainya. 

Akhirnya aku memaksakan diri. Aku agak khawatir. Lalu aku datang ke dokter di kawasan Cicendo. Dokter yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Selama pemeriksaan terus terang aku merasa kurang sreg. Tingkah laku si dokter ini agak aneh menurutku. Apa ya, gambaran yang tepat.. agak grasak-grusuk. Selain itu, dia juga tiba-tiba aja cerita tentang kredibilitas dia. Padahal aku gak nanya apa-apa. Terus dia, sambil mengukur tekanan darah, bilang dan cerita tentang bahaya kegemukan, dan hasil pengukuran menyatakan kalau tekanan aku tinggi. Aku lupa angkanya, sekitar 160/95 segituan lah. Aku memang sudah biasa dengan pernyataan dokter yang sudah menjudge aku darah tinggi sebelum pengukuran dilakukan, karena aku memang gendut. Tapi yang ini beda. Hasilnya memang ternyata tinggi.

Akupun kemudian diberi obat darah tinggi yang harus aku makan seumur hidupku. Aku kok sepertinya gak rela. Karena aku yakin aku gak darah tinggi. Tapi keyakinanku berbenturan dengan fakta. Aku pun membeli alat ukur tekanan darah sendiri. Dan hasilnya tetap sama. Akupun kemudian bertahap menerimanya. Sambil mencari second opinion ke dokter dekat rumahku. Dokter Arif, salah satu dokter yang merawat almarhum Apih di kala stroke. Aku mendapatkan penjelasan yang lebih bisa diterima olehku. Ternyata dokter Arif penyandang darah tinggi juga, jadi dia share pengalamannya. Dia menyarankan aku untuk menghentikan obat sementara, dan mencoba mengatur pernafasan secara periodik. Dia menemukan kasus serupa di masa pandemi ini. Di mana banyak orang mengalami perubahan pola hidup, pola kerja, dan berimbas pada pola kesehatan.

Setelah mencoba selama sebulan, alhamdulillah, tekanan darah aku berangsur normal. Hal yang kemudian aku sadari kalau perubahan pola hidup itu menyebabkan aku stress. Dan itu memengaruhi tekanan darahku. Alhamdulillah, sampai hari ini, tekanan darahku gak pernah tinggi lagi.


Aku sebetulnya bukan mau cerita ini sih, hahaha, tapi mau cerita yang lain, bersambung di posting berikutnya ya..

Friday, April 19, 2024

Menuliskan Ingatan: (1989 - 1992) Dengan Siapa Kamu Berteman? Part1

Setelah lebaran kemarin, group whatsapp SMP dipenuhi canda tawa dan nostalgia seperti biasa. Lalu muncul ide untuk berhalal bihalal, setelah rencana bukber sudah terlalu terlambat untuk direalisasikan. Kami pun berhalal bihalal di hari lebaran kelima. Di group, yang daftar hanya 10 orang, tapi ternyata yang datang sekitar 14 orang.


Setelah berkumpul, pembicaraan kami sangatlah beragam, dari mulai masalah pengasuhan anak, pendidikan, masalah kesehatan, diet, aturan zonasi, hipnotis, peraturan izin usaha makanan, dan banyak lagi. Serandom itu, seramai itu. Aku, yang dianggap sebagai yang masih ingat kejadian-kejadian waktu SMP dulu, sering menyelipkan nostalgia di halal bihalal itu. Hal inilah yang membuatku menulis kali ini. Selagi masih ingat, selagi belum pikun, aku mencoba menuliskan guratan ingatan yang masih ada.


Di antara sebanyak itu topik pembicaraan, ada satu pertanyaan dari Eski, siapa teman2 yang akrab dulu waktu SMP, kamu mah pasti banyak sama teman perempuan yah? Naha, gak main ke rumah saya? Haha. Ditimpalin sama Sofyan, saya mah suka main ke Sarijadi, walau rumah di Cihampelas.

Aku coba ingat-ingat. Aku datang dari SD Sarijadi 5, sendirian. Jadi gak punya teman yang berangkat dari SD yang sama. Hal itu, seingatku cukup menakutkan. Sekolah dari komplek perumnas, ke "kota". Harus naik angkot, tapi gak punya teman. Masih teringat jelas ingatanku saat itu, di hari pertama penataran P4. Cukup gelisah, melihat kakak-kakak senior, yang menurutku, tingi-tinggi dan cakep-cakep. Terus melihat sesama murid baru kelas 1 SMP dari SD lain, yang mayoritas berkelompok, mungkin karena mereka satu sekolah dulunya. Aku saat itu hanya sendirian. Tidak juga diantar orang tua. Naik angkot Sarijadi - Ciroyom, berhenti di Karang Setra, dan jalan kaki ke Setiabudi. Pernah juga naik angkot jurusan Ledeng. Tapi jarang kulakukan, karena itu akan menguras uang bekalku yang tidak seberapa. Hal ini lumayan membuatku cemas.


Aku ditempatkan di kelas 1C. Untung saja, ada yang kenal, Andi (yang kelak akan satu kelas di SMA) dan Jajang. Mereka sama-sama tinggal di Sarijadi Blok 1 dengan aku. Tapi mereka dari SD Cilandak. Aku cukup mengenal mereka, terkadang kami bertemu di mesjid Al Hidayah. Tapi lantas aku sebangku dengan Yunus. Momen pertama di SMP cukup chaotic seingatku. Aku melihat-lihat dan menerka seperti apa teman-temanku ini. Saat itu perhatian guru sering tertuju pada empat murid di deretan bangku pertama. Lola, Indah, Agustina, dan Iva. Siswi-siswi dominan, pintar dan cantik di kelas. Agustina kebetulan terpilih menjadi Ketua Murid. Dia galak, seingatku. haha. Berteman di kelas 1C cukup menyenangkan saat itu, aku terpilih menjadi seksi olahraga, sesuatu yang tidak aku mengerti. Atletis pun tidak, kok bisa terpilih haha. 

Event porseni antar kelas, merupakan kegiatan yang monumental saat itu. Event ini mempertandingkan banyak jenis pertandingan. Bulutangkis, voli, menggambar, paduan suara, atletik lengkap (lari 100m, 200m, 400m, estafet, lompat jauh) dan bertempat di stadion Pajajaran. Selain itu ada juga lomba renang dan polo air di Karang Setra. Pembukaan porseni juga diawali lomba defile antar kelas. Kami bahkan memiliki kaos kelas masing-masing. Logo 1C dibuat Andi, yang memang jago gambar. Event yang luar biasa untuk level SMP, menurutku. Event itu menumbuhkan kekompakan dan juga perasaan deg-degan. Walau kelas kami kalah, karena memang kecil-kecil badannya. Haha. Event ini pula membuat aku jadi sasaran protes teman-teman yang tidak puas dengan pilihan aku saat penempatan atlet di masing-masing cabang olahraga. Misal, Iwan protes ditempatkan di lomba 400m. Sonny protes ditempatkan di lomba 200m. Yah... ini jadi pelajaran berharga buatku.

Momen lain yang menurutku keren adalah pelajaran keterampilan. Saat itu, pelajaran keterampilan tidak sama di masing-masing orang, walau dalam satu kelas. Kita dikasih pilihan paket yang mau diambil. Dan pilihan itu akan menentukan jenis keterampilan sampai kita kelas 2 SMP. Sebuah hal yang sangat modern dan way ahead of the times. Pilihan keterampilan yang dapat dipilih adalah: mengetik, ukiran, anyaman, tata boga, dan tata busana. Aku memilih kelas mengetik, dilanjutan dengan administrasi korespondensi di kelas 2. Nah, pada kelas keterampilan ini, kelasnya akan mengikuti jenis yang dipilih. Jadi aku akan bergabung bersama siswa lain yang memilih mengetik. Momen ini membuat kita lebih saling mengenal siswa kelas lain.

Di kelas 1 ini, aku masuk siang. Kelas dimulai pukul 12, dan pulang jam 5 sore. Hal ini juga lumayan membuatku terpaksa beradaptasi, karena selama SD aku selalu bersekolah di pagi hari. Waktu itu, walau aku sebangku dengan Yunus, tapi aku gak pernah main ke rumahnya. Karena memang jauh dari rumahku, di daerah Cisitu. Aku lebih sering main ke rumah Fadian (yang kemudian pindah ke Taruna Bakti di semester 2) di daerah kompleks NHI, Setiabudi. Atau di rumah Andi di deket rumahku di Sarijadi. Fadian dan Andi sangat jarang main ke rumahku, karena aku gak punya kamar sendiri. Jadi paling ngumpul di ruang tamu. Hal yang membuat aku minder atau insecure, istilah sekarang mah. Aku malu dan takut kalau ada teman-temanku yang mau datang ke rumah. Aku merasa rumahku gak bagus, gak punya mainan atau buku cerita untuk dibagikan bersama teman-teman. Perasaan minder itu padahal gak pernah ada sebelumnya pada saat SD. Padahal teman-teman SDku sering datang ke rumah.

Perasaan itu adalah sesuatu yang baru buat aku. Alhamdulillah bisa kuatasi bertahun kemudian.

Back to akrab dengan siapa. Di rumah Fadian, awalnya kita ngerjain tugas bareng. Tugas latihan drama bahasa Inggris kalau gak salah, Aku, Andi, dan Fadian kebetulan satu kelompok. Kita pun latihan di rumah Fadian. Di kamarnya. Kamarnya luas, enakeun. Dann mainannya banyak. Kita bisa main Nintedo di rumahnya. Selain itu ibunya baik. Kita suka disuguhin makanan yang enak, atau dibeliin Mie Ayung. Kalau di kamarnya Andi, kita dulu ngerjain bikin bendera kelas buat defile. Andi yang gambar dan kita bantu mewarnai. Kalau rumahnya Andi, karena dekat, jadi sudah relatif kenal dengan keluarganya. Di rumah Andi ada komputer, kita suka main bareng game Prince of Persia, Summer Olympic 88 dan banyak lagi. Di rumah Andi pun, sering dimasakkan makanan yang enak. haha.

Kalau ditanya kenapa deketnya sama mereka. Aku terus terang gak terlalu mikirin. Saat itu kok rasanya, ada momen, terus ya dilakuin aja gitu. Tapi, kalo mikir sekarang, tampaknya kemiripan kepribadian yang membuat itu terjadi. Pan, teorinya, orang akan berkumpul dengan yang banyak kesamaannya. Selain ada trigger tugas dan kerja kelompok tadi. Kalau di kelas, soalnya yang akrab jauh lebih banyak lagi. Seingetku aku cukup akrab sama Yunus, Rudi, Sulistiyono, Dedi, Sonny, Andri, Jehan, Tati Karyati, dan banyak lagi. Oiya, di kelas ini aku ranking ke-4. Lumayan lah ya.

Untuk kelas 2 dan kelas 3 nanti disambung yak...

Tuesday, January 16, 2024

When You Think You Know Everything (About Your Kids)

 Setelah memiliki dua orang anak. Aku sadar bahwa keduanya memang individu yang berbeda. Bukan fisik yang aku maksud. Mereka sejak bayi sudah berbeda kebiasaan dan perilakunya. Hal itu semakin menyadarkanku, mereka tidak bisa sepenuhnya dibanding-bandingkan.

Walau perbedaan itu betul adanya, aku senang ketika A Angga dan Letra --kedua anakku-- semangat ingin sekolah, Apalagi de Letra yang sepertinya tidak sabar menunggu hari pertama sekolah. Hari-demi hari di sekolah dilalui dengan suka cita. Kita jadi tahu apa yang dia suka, apa yang dia kurang suka. Dia suka art & craft, tapi gak terlalu suka pelajaran olahraga. Dia suka main sama anak laki-laki dibanding anak perempuan. Dia suka pakai rok dibanding celana panjang, dan banyak lagi. Aku merasa sudah sangat mengenal de Letra. TK A dilalui dengan suka cita. TK B pun dijalani dengan riang gembira. De Letra sudah ga malu tampil di panggung untuk nari. Dia sudah sangat luwes dan percaya diri. Sudah hampir dua tahun de Letra sekolah di Bianglala. Tahun depan insya Alloh akan melanjutkan ke SD yang sama.

Sampai sebulan yang lalu, dia sakit panas. Bukan sesuatu yang aneh sih, tidak harus diopname juga. Apalagi memang musim pancaroba, banyak anak yang sakit juga. Setelah sembuh, de Letra kembali bersekolah seperti biasa. Tetapi, suatu hari de Letra gak mau sekolah. Kita pikir dia masih merasa sakit. Jadi kita minta dia di rumah saja. Keesokannya dia masih belum mau sekolah, padahal sudah benar-benar sehat. Hari berikutnya dia malah nangis gak mau sekolah lagi. Kita paksa tapi malah nangis di parkiran sekolah. Dia gak mau masuk sekolah. Bahkan pernah dia memilih nangis di ruang guru daripada ke kelas. Hal ini berlangsung sampai dua minggu. Kami coba menerka-nerka apa yang membuat dia gak mau sekolah. Karena setelah nangis di sekolah, di rumah dia sudah bahagia seperti sedia kala.

Kita coba dia kita hukum. Tidak ada lagi nonton TV. Tidak ada lagi main handphone di weekend. Hal yang paling disukainya. Tapi dia seperti tidak berkeberatan, asalkan tidak sekolah. Kami pun mencoba diskusi dengan gurunya di sekolah. Bahkan kami sudah menjadwalkan sesi bertemu psikolog anak. Kalau kami tanya de Letra, jawabannya seperti tak tentu. Dia bilang diganggu anak lain, tapi dia bilang juga pinginnya di rumah saja. Kami makin khawatir. Takut kejadian ini berlanjut sampai SD. Sempat terpikir, kemungkinan untuk pindah sekolah. Tapi kami gak mau gegabah, apalagi kami sudah bayar biaya registrasi yang tidak sedikit jumlahnya. 

Hasil diskusi dengan guru, akan kita coba kunjungan anak-anak sekelas ke rumah. Jadi secara periodik, sekolah de Letra ada sesi belajar di rumah siswa. Aku pun memasang CCTV, agar aku di Jakarta bisa melihat interaksinya. Sepanjang sesi kelas di rumah, aku berharap-harap cemas. Tapi kecemasan itu hilang, ketika de Letra dengan suka cita menyambut teman-temannya, bahkan sambil berpelukan dengan sahabat-sahabatnya. Dia juga ternyata kangen dengan mereka, hanya saja ada yang takut dia temui di sekolah. Sepanjang acara, de Letra memperhatikan dengan senang dan ngobrol dengan semangat bersama guru dan teman-teman. Setelah kunjungan itu, de Letra alhamdulillah sudah mau sekolah lagi.

Sambil berkomunikasi dengan orang tua siswa lain, akupun menjadi tahu, ternyata ada satu anak laki-laki yang berlaku kasar terhadap teman-temannya, tidak hanya de Letra. Padahal, anak itu dulunya sahabat de Letra, akan tetapi entah kenapa sekarang dia menjadi seperti over reaktif. Kami pun memahami keadaan, dan memuji de Letra yang berani sekolah lagi. Setelah itu, de Letra pun lebih berani dan senang karena kami orang tuanya dan teman-temannya membantu dia mengatasi keadaan ini. Walau dia masih takut kalau bertemu anak itu. Kamipun berpesan sama guru-guru di sekolah dan mengajarkan de Letra untuk tidak harus berteman dengan orang yang dia gak suka. Semoga hal ini menjadi pelajaran buat kami dan buat de Letra.


Maha suci Alloh.