Friday, December 06, 2024

Menuliskan Ingatan : Dealing w/ Insecurities

Belum. Belum mau melanjutkan cerita berteman dengan siapa atau lanjutan tentang kuliah. Tapi mau nulis tentang insecurity. Aku belum menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Ketidakamanan. Haha, kok rasanya masih belum tepat. Tapi sudah lah ya, aku pakai insecurity di postingan kali ini.

Kenapa tiba-tiba aku terbersit ingin menuliskan insecurity ini? Karena ternyata si insecurity ini akan terbawa sampai tua, kalau kita tidak berhasil mengatasinya. Itu yang aku percayai. Selain memori acak yang tiba-tiba muncul.

Insecurity terbesar seingat aku dimulai pada saat SMP. Dan itu adalah... aku merasa tidak berkecukupan dibandingkan lain. Sebelum SMP, aku sangat senang mengajak temanku kerja kelompok di rumah. Aku tidak pernah berpikir bahwa rumahku jelek, tidak apa-apa bermain dan mengerjakan PR di ruang tamu atau halaman rumah. Di rumahku, kalau pulang sekolah, seringkali tidak ada makanan, bahkan tidak ada siapa-siapa kecuali aku. Karena Amih Apih, belum pulang kerja. Kakak-kakakku juga belum pulang dari sekolahnya. Jadi, kalau temanku datang, ya cuma disuguhin minum aja. Hahaha. Mau beli makanan, gak punya uang. Lah, bekel tadi sekolah sudah habis dipakai jajan. Aku aja seringkali belum makan siang haha. Memang beda kalau kerja kelompok di rumah temanku yang di rumahnya punya ibu sebagai ibu rumah tangga. Pasti disediakan makanan. Semua itu berjalan baik-baik saja, tidak mengurangi kebahagiaan. Tidak menjadi hal besar pula.

Semua itu berubah setelah aku SMP. Ke-tidak apa2an itu menjadi masalah. Aku merasa rumahku jelek, dan malu kalau temanku datang. Apalagi aku pernah ke rumah Lola untuk latihan kabaret. Rumahnya bagus dan besar, membuatku takjub. Terus aku latihan drama juga di rumah Fadian, di rumah Andi, semuanya punya kamar sendiri. Jadi kalau main, ya, di kamar mereka, tidak di ruang tamu. Sedangkan aku masih tidur barengan berjejer sama para kakak laki-laki. Insecurity itu muncul dengan parah. Walau kemudian dibuatkan kamar dengan cara membelah kamar dengan tripleks, aku tetap merasa kamarku gak cukup proper untuk tempat berkumpul. Diperparah dengan koleksi buku, mainan dan consol game yang dimiliki temanku di kamarnya. Aku hanya baca komik di taman bacaan!.

Semua itu membuat aku terbiasa menghindar kalau ada teman yang mau datang ke rumah. Banyak alasan aku lontarkan. Pernah sekali waktu, aku gak bisa menghindar, Fadian dan Andi datang ke rumah, masuk kamar. Awkward, duduk di kasur, karena memang tidak ada kursi lainnya hehe. Untungnya rumahku deket sama rumah Andi, kita langsung pindah ke rumahnya. Main game komputer di kamar Andi. Hal itu membuat aku merasa kecil dan malu. 

Insecure berikutnya muncul saat aku melihat sepatu-sepatu keren yang teman-temanku pakai. Sepatu-sepatu basket yang hanya aku kagumi dari balik etalase toko membuat aku minder kalau dibandingkan dengan sepatu yang Apih beli di Cibaduyut atau sepatu warrior yang kupakai. Pernah di suatu hari Maulid Nabi, ada lomba fashion show. Perwakilan kelas aku adalah murid ganteng bernama Ronald. Pas mau naik panggung, dia minta tuker sepatu. Dia pakai sepatu basket Reebok yang sangat keren tapi gak cocok dengan tema. Makanya dia minta tuker dengan sepatu pantofel aku. Selama lomba, Ronald bilang silahkan pakai aja sepatu Reebok dia. Aku tak berani menyentuh sepatu itu sama sekali. Aku memilih nyeker, telanjang kaki sepanjang lomba di pinggir panggung, daripada memakai sepatu itu. Hahaha.

Insecurity ini kemudian agak "melemah" di kelas 3. Terus terang aku gak tau sebabnya. Padahal aku masih berteman dengan teman-teman aku yang kaya, tapi mungkin juga karena temanku yang "sepadan" juga banyak. Jadi balanced, serasa punya teman senasib. Walau, mungkin juga seiring berjalannya waktu, aku sudah sangat menerima kenyataan, bahwa tidak memiliki barang yang aku inginkan itu: tidak apa-apa. Orang lain punya barang bagus itu tidak lantas kita harus punya juga. Dan pelan-pelan "berdamai" dengan apa yang kita punya. Bersyukur mungkin ya, istilah tepatnya. Mempunyai teman yang beragam, membuat aku bisa melihat banyak yang lebih tidak punya dibandingkan aku. Dan itu, biasa. Oiya, yang disebut "pelan-pelan" itu sangatlah tidak sebentar, bertahun-tahun lamanya.

Setelah SMA, jurang perbedaan makin kompleks. Ke sekolah banyak yang pake motor atau mobil, dan aku masih pakai angkot. Setelah merenung dan mencoba mengingat, ternyata insecurity yang pernah ada, tidak menjadi terlalu masalah saat itu. Tampaknya rasa damai yang dipupuk, mulai berhasil. Insecurity ini, di kemudian hari, menolong aku memahami orang lain. Misal, pas mau reuni SMP. Aku bisa paham teman yang enggan datang, hanya karena takut ga ada yang kenal, takut soalnya sekarang jadi gendut, takut karena belum "berhasil". Aku jadi tahu cara membujuknya, tenangin dan bantu hadapi insecurity-nya.

Eh tapi, eh tapi.. apakah insecurity toal 100% sudah bisa dihilangkan? tentunya tidak mungkin ya. Masih ada satu dua, bahkan beberapa yang muncul. Jenis yang baru dihadapi. Mau gak mau yah, begitu aja, hanya dengan dihadapi, bukan dengan menghindar. Karena kalau menghindar, akan nempel lagi suatu waktu. Jenis baru itu, misalnya seperti ini: baru turun dari gojek, tapi masuk ke mall Plaza Indonesia. Bau knalpot, rambut awut-an, tapi harus tetap slay masuk lobby dengan tatapan maut security. Hahaha. 

Deal with it. Life goes on. Dan tetap berdoa tentunya.

No comments: