Ingatanku tiba-tiba kembali ke 2012. Ingatan yang kemudian membuatku membuka kembali posting demi posting di blog ini. Blog ini menjadi semacam buku harian kenanganku. Bersyukur masih dianugerahi memori oleh Alloh, sehingga aku masih bisa mengingat rasa pada setiap tulisan yang aku posting di blog ini. Posting lama di 11 tahun lalu tentang kenangan aku akan keluargaku, di link ini.
Ada hal yang tidak aku ceritakan dengan detil di postingan kala itu. Sebetulnya kejadian ketika Amih masuk rumah sakit adalah seperti ini. Malam hari bagian aku nunggu Apih di RS Advent paska operasi. Kita memang giliran. Syukurnya aku bisa pulang ke Bandung dari Palembang. Kemudian setelah jaga malam, aku bersiap-siap pulang ke rumah untuk beristirahat di pagi keesokan harinya. Sebagai ganti yang jaga, pagi sampai sore akan diisi Amih. Di kepala kami, anak-anaknya, Amih merupakan sosok ibu yang tangguh. Amih adalah sosok sentral pengambil keputusan yang membuat kami merasa aman berada di dekatnya. Selain itu Amih terbiasa mengendalikan keuangan, operasional setiap hari, memberikan saran tentang pilihan hidup anak-anaknya, seperti ke sekolah mana, konsultasi pernikahan dan sebagainya. Semua itu Amih lakukan dengan sambil bekerja sebagai PNS di Pemkot Bandung.
Karena bertahun-tahun, kami hidup dengan pikiran seperti itu, kami seperti tidak memiliki ruang dalam pikiran bahwa beliau mungkin saja lelah atau ada kejadian yang tak bisa beliau tangani lagi. Kami tak pernah khawatir kalau Amih sakit. Karena beliau terbiasa tahu apa yang harus dilakukan, pergi ke dokter sendiri, tanpa sulit minum obat dan istirahat. Beliau memang sosok semandiri itu. Makanya dalam usia yang sebetulnya tak muda lagi, kami berpikir tidak apa-apa Amih kebagian jaga Apih di rumah sakit. Lagian, Amih memang memaksa untuk ikut jaga.
Hari itu, pada saat Amih jaga ternyata kami mendapat kabar, kalau Apih jatuh dari tempat tidurnya. Rupanya Apih kesulitan buang air kecil, dan mau pergi ke kamar mandi sendiri. Saat itu, Amih sedang tidur di kursi penjaga. Kemudian dokter meminta Apih dirujuk ke dokter spesialis lain untuk menangani saluran kencingnya. Sepertinya Amih merasa bersalah, padahal kami tak ada satupun yang menyalahkan beliau akan kejadian ini. Amih seperti terguncang, saat dokter bilang bahwa Apih kemungkinan harus dioperasi. Saat itu, Apih sebetulnya sudah di tahap akhir masa pemulihan dan dalam beberapa hari sudah boleh pulang.
Setelah kejadian itu, Amih merasa tidak enak di bagian dada dan perut. Amih tak bisa makan. Amih minta diantarkan ke rumah sakit, tapi tidak mau ke RS Advent. Amih hanya ingin diantarkan ke RS Salamun di Ciumbuleuit yang menerima BPJS. Kami pun mengantarkannya ke sana. Amih ternyata harus dirawat inap. Jadi dalam waktu bersamaan kedua orang tua kami dirawat di rumah sakit berbeda. Syukurlah kemudian hasil dokter spesialis internis keluar, dan Apih dinyatakan boleh pulang. jadi kami bisa fokus ke kesembuhan Amih.
Amih bersikukuh tidak mau dirawat di kelas 1, walaupun BPJS (dulu Askes) mengcovernya di kelas itu. Amih hanya ingin dirawat di kelas 3, di barak beserta 10 pasien lainnya. Di ruang perawatan besar itu tak ada tempat khusus buat keluarga untuk menunggu. Hanya ada satu buah kursi. Jadi kalau kita mau nunggu sambil tidur, ya di kolong ranjang pasien. Saat itu bulan Ramadhan beberapa hari sebelum idul fitri. Alhamdulillah aku diizinkan cuti agak lebih lama, jadi bisa nunggu Amih di RS. Karena kami harus membagi tugas dengan merawat Apih di rumah.
Ini kali pertama aku di RS beramai-ramai seperti ini. Sebetulnya senang karena, gak merasa kesepian dan selalu ramai. Gak enaknya, kamar mandinya jauh untuk pasien. Jadi kalau Amih mau pipis, harus berjalan cukup jauh. Padahal perut Amih sedang sakit. Selain itu, yang paling agak serem adalah, kita otomatis akan bisa mendengar rintihan dan teriakan pasien lainnya dengan jelas. Selama di sana, kami bisa melihat dua orang pasien yang meninggal. Hasil pemeriksaan dokter, Amih sebetulnya tidak apa-apa. Hasil lab menunjukan hasil yang baik. Tapi anehnya, Amih masih tetap saja merasa sakit di ulu hati dan tidak bisa menelan makanan. Dokter bahkan pernah bilang sambil guyon, kalau Amih sebetulnya pura-pura sakit agar dirawat di sini. Tapi aku tahu pasti kalau Amih bukan type drama seperti itu.
Sampai suatu malam aku mendengar percakapan Amih dengan pasien sebelah. Amih bercerita bahwa dia kasihan sama anak-anaknya yang harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar biaya rumah sakit Apih. Amih bercerita panjang lebar, karena menyangka aku sudah tidur. Kemudian Amih bilang, bahwa sengaja dia pingin dirawat di RS ini karena gak mau memberatkan anak-anaknya dengan biaya pengobatan tambahan. Terus terang saja, perawatan Apih memang memakan biaya cukup banyak buat kami. Amih sampai menjual kolam ikan di Ciamis. Kami anak-anaknya pun gotong royong mengumpulkan uang untuk itu. Alhamdulillah, walau tabunganku habis, tapi tidak sampai harus menjual rumah maupun kendaraan. Walau, kalaupun harus begitu, kami sama sekali tak keberatan. Kami mencintai Amih dan Apih sepenuh hati. Percakapan itu membuat aku tersadar, bahwa hal ini mungkin yang membebani Amih, hingga beliau mengalami sakit sepert ini.
Esoknya aku berbagi cerita malam itu dengan kakak-kakakku. Aku pun punya ide, aku berbohong sama Amih. Aku cerita kalau kalau aku baru mendapatkan bonus dari perusahaan, dan mau aku pakai untuk membeli mobil baru. Aku minta pendapat Amih soal warna mobil yang akan aku beli. Hahaha, bohong yang menggelikan sebetulnya. Tapi ternyata cerita itu sangat manjur. Amih tersenyum, dan bilang alhamdulillah, mobil apapun gak penting buat Amih katanya, yang penting kita semua sehat dan berlimpah rezeki. Percakapan itu terbukti mujarab, siangnya Amih bisa makan walau sedikit demi sedikit. Besoknya Amih boleh pulang, dua hari sebelum hari raya Idul Fitri.
Aku selalu ingat cerita itu, walau Amih sudah lama pergi. Sekuat apapun, orang tua adalah manusia biasa juga. Mereka bisa sakit dan rapuh. Terutama mengenai anak-anaknya. Kekhawatiran mereka seringkali tak berani mereka ungkapkan. Walau kami anak-anaknya tak merasa keberatan sama sekali. Ku gak tahu, mungkin akupun begitu suatu hari haha. Maha Suci Alloh yang Maha Memelihara makhluk-makhluknya.
No comments:
Post a Comment