Monday, August 24, 2009

Ken Brekke

Hari pertama kita menginjakkan kaki di Marrakesh, merupakan hal yang buruk. Dan sosok yang menyelamatkannya adalah Ken, yang kemudian nama lengkapnya kita ketahui sebagai Ken G. Brekke.
Walaupun dari yang kita baca sebelumnya kita tahu Marrakesh sangat banyak dengan wisata cultural, tapi dengan serta merta kita kehilangan minat dan bingung mau apa. Syukurlah Ken ternyata memiliki paket wisata yang dia kelola sendiri. Dia menawarkan paket jalan-jalan full day ke High Atlas dan Essaouira. Rony, yang punya hasrat terpendam untuk melihat salju langsung menunjuk High Atlas sebagai tujuan utamanya.

Hari kedua kita di Marrakesh sudah kita sepakati pergi ke Imlil. Sebuah kawasan High Atlas. Kita pergi dengan menggunakan mobil Fiat Uno hijau model kuno punya Ken. Untuk mencapai garasi sewaan tempat Fiat itu diparkir, kita menelusuri lorong-lorong medina Marrakesh. Tidak lagi menakutkan. Selagi kita pergi bersama Ken, nothing to worry!
Ken merupakan sosok British yang sangat menyenangkan. Gaya bicaranya mengingatkan aku akan Simon Cowell. Mannernya mengingatkan aku akan tokoh-tokoh butler di cerita Enyd Blyton. Sangat sopan tapi tidak terkesan berlebihan. Sangat rapid an telaten. Cocok banget dengan Rony, si bagian umum Schlumberger cabang Sudan. Hahaha. Caranya menata meja untuk sarapan cepat dan rapi.
Kesan bodor garing orang Inggris sama sekali tidak ditemukan pada Ken.

Fiat Uno memang mobil yang cocok di Marrakesh. Gesit untuk bergerak di jalan sempit kawasan kota tua. Tapi tidak lamban di jalan luar kota. Tata cara nyetir Ken sangat disiplin. Sambil nyetir dia bercerita banyak tentang banyak hal, pemerintahan Maroko, awut2annya peraturan lalu lintas disana, cerita-cerita lucu, perjalanan hidupnya yang sebagian besar dihabiskan di Eropa. Dia lahir di Inggris, akan tetapi besar di Norwegia dan pernah juga tinggal di Jerman. Tapi bahasa Jermannya dia bilang agak rusty. Dia sebetulnya seorang perawat walau sering bekerja di biro wisata. Setelah bekerja di sebuah biro travel di Maroko, dia akhirnya memutuskan untuk memiliki Riad dan mengelolanya sendiri.

Pemberhentian kita pertama adalah Moulay Ibrahim. Sebuah desa kecil di tepi gunung. Tidak ada yang istimewa di desa itu, kecuali kebersahajaan sebuah desa kecil biasa. Setiap orang sepertinya hanya duduk-duduk di depan rumahnya, ada yang berdagang dan bertani. Walau tak istimewa tapi aku cukup kagum dengan “rasa asli” desa tersebut. Di desa itu ada sebuah tempat yang dipercayai bisa membuat hamil. Dikarenakan tak ada seorangpun diantara kita yang berminat hamil, maka kami tak memasukinya. Lagian terlihat agak kotor.

Keluar Moulay itu kami menelusuri jalan yang cukup lengang. Terlihat bukit berwarna kuning karena jerami yang sudah matang. Diantara warna kuning yang mendominasi itu, seringkali tersembul sebuah ataupun sasegundukan bunga poppy berwarna merah yang cukup kontras.

Satu hal yang aku sangat kagumi akan alam Maroko adalah non stop pemandangan yang selalu berubah. Apalagi jika kita menempuhnya dengan mobil. Sepanjang perjalanan pemandangan di kanan kiri kita selalu berbeda, dari kawasan gersang tanah berwarna merah, padang rumput penuh sampah, semak-semak, kebun olive, hutan pinus, ladang, hamparan jerami yang sedang dipanen, tanah luas yang dijadikan lapangan sepakbola, rumah-rumah dari pasir, pedagang cendera mata berupa fosil dan gerabah, gembala berjas dengan sekumpulan domba, lembah curam, tebing cadas, sungai jernih, dan yang mengagumkan aku adalah kawasan luas bunga-bunga poppies berwarna merah dan kuning kadang dihiasi bunga violet berwarna biru. Semua berubah dalam tempo yang cepat. Nyaris tidak sempat untuk turun dan mengambil foto. Kalau ada tempat yang benar-benar kami tak tahan untuk turun, kami sering meminta Ken untuk menepi.

Akhirnya kami sampai di Imlil. Ternyata agak sulit mencari tempat parkir. Banyak turis lokal yang berdatangan rupanya. Ken menjanjikan sebuah kawasan yang baik untuk mengabadikan High Atlas. Sebelum setuju touring dengan Ken, kita sudah menjelaskan keinginan kita dengan cukup jelas. Tidak ada belanja di toko souvenir dan tidak ada hiking. We’re not looking for any kind of sport here hehe. Tapi kali ini tak ada cara lain. Untuk mencapai sebuah spot, yang ternyata sebuah café mewah di Imlil, kita harus berjalan menanjak. Sial! Walau kawasan itu indah, penuh dengan pinus dan cemara dan berudara sejuk, tapi aku tetap kepayahan. Sebetulnya jarak tak terlalu jauh, hanya saja memang menanjak. Di awal pendakian banyak yang menawarkan jasa keledai. Tapi aku tak berminat sedikitpun. Bayangan jatuh dari hewan ringkih itu jauh lebih menyeramkan dari perjalanan mendaki sekalipun.

Aku mulai mendaki. Diselingi beberapa kali istirahat. Sialnya Ken tidak sedikitpun terlihat lelah. Padahal umurnya jauh dari aku!

Akhirnya sampai juga kami di sebuah café itu, cafenya terlihat elit dan mahal, tapi Ken seperti tak peduli, langsung dia ngobrol dengan penjaganyanya. Kami tak harus membayar apa-apa, cukup membeli air mineral saja. Di Imlil ini si café ini adalah spot terbaik untuk melihat pegunungan Atlas ini. Rony pun tak menunggu lama. Langsung menyiapkan kamera dan berkonsentrasi mengambil gambar. Aku sih duduk-duduk saja melepas lelah hehe. Lagian anginnya sangat sejuk. Cocok untuk menikmati pemandangan gunung biru bersalju, sungai dan pemukiman kuno orang Bedouin.

Setelah puas kita berjalan turun dan langsung makan di Café du Soleil, disana aku makan crouchet ayam, semacam sate, tapi potongannya besar dan tusukannya pake besi.

Besoknya kami deal-dealan dengan Ken, untuk kembali meminta kami mengantarkan ke bagian lain High Atlas. Kali ini tujuan kami adalah Oukaimdn. Sebuah kota kawasan ski di musim dingin. Tapi sepi di musim panas. Jaraknya kurang lebih sama dengan jarak ke Imlil. Tapi lagi-lagi pemandangannya menakjubkan. Kali ini kami masih disuguhi tanaman aneka warna, orang dengan aneka baju. Disini aku melihat ibu-ibu memakai baju merah terang sedang menggiring dua ekor sapi besar. Anak-anak banyak yang menghampiri kami dan meminta uang, kalau kami kebetulan sedang berhenti mengambil foto. Anak-anaknya sangat lucu dan berparas artis dan model, hanya saja mukanya coreng moreng dan pakaiannya sobek disana sini. Jalan yang kami ambil menanjak. Di kiri kanan jalan terlihat jurang berbatu berpadu dengan mata air, sungai, ceruk sempit, rumah, pondok gembala, dan akhirnya: hamparan padang rumput dan danau. Aku tak sabar untuk meminta berhenti dan terlentang diantara rumput, bunga poppies merah. Tapi kata Ken, mending nanti pas pulangnya saja.

Di jalan Ken bercerita dua hal yang paling ditakuti dan dihindarinya. Naik unta dan naik ski lift. Aku mentertawakannya, masa dia sepenakut itu. Jadi ketika kami diantarkan Ken ke tempat ski lift, dia bilang dia gak akan ikut. Walau dibayar sejuta dollar pun. Ya sudah kami berdua saja yang naik. Naiknya mudah saja kok tinggal duduk manis dan tunggu keretanya mendaki. Menyenangkan. Tapi ternyata kesenangan itu hanya bertahan di lima menit pertama.

Menit berikutnya jarak semakin curam, dibawah terlihat batu cadas runcing mengerikan. Angin semakin kencang dan dingin. Kereta berguncang. Ah sial. Ini ternyata yang ditakutkan Ken! Aku gak tahu lagi harus bagaimana. Sebetulnya kereta terlihat aman-aman saja. Hanya saja guncangannya ini membuat kami ketakutan. Ceracau, do’a bahkan gelak tawa keluar dari mulut kami. Tapi akhirnya tempat pemberhentian terlihat juga. Aku pikir kereta akan berhenti di tempat berhenti itu, ternyata tidak, kereta terus maju dan kami harus lompat. Ah menyebalkan sekaligus mengerikan!

Aku bersyukur setelah turun dari kereta itu. Tapi alhamdulilah pemandangan sekeliling sungguh menakjubkan. Kami dikelilingi gunung-gunung bersalju yang terlihat sangat dekat. Dingin tentu saja. Tapi keinginan Rony terwujud saat itu, dia bisa melihat onggokan salju yang masih tersisa. Bentuknya seperti es serut sih.
Setelah puas menikmati keindahan spot itu, kami harus berhadapan dengan kenyataan bahwa jalan pulang satu-satunya adalah kembali menaiki ski lift yang menakutkan itu. Kalau lompatan tadi pas turun saja menakutkan, menaikinya kembali ternyata lebih menakutkan. Tidak seperti pas naik di awal tadi, kita harus cepat-cepat naik kereta yang melewati spot naik/turun itu. Terlambat sedikit kita masuk jurang. Aku benar-benar ketakutan. Tapi memang tak ada cara lain. Syukurlan kami berhasil lompat naik, dan untungnya Rony sigap langsung mengunci besi pengaman karena aku terlalu gugup untuk melakukannya.

Perjalanan turun tak jauh beda dengan naik, angin kencang dan dingin masih mengguncang kereta kami. Tapi walau begitu, kalau berpapasan dengan kereta lain kita masih menyempatkan dadah-dadahan hihihi.
Setelah turun, Rony langsung mengambil foto sungai jernih yang letaknya tak jauh dari tempat pemberhentian. Asalnya mau slowspeeding, tapi tampaknya tidak berhasil, spot untuk mengambil gambar terlalu basah.

Setelah makan di warung kecil, Ken menepati janjinya untuk mengunjungi danau dan menghabiskan waktu berfoto ria disana. Ahh sungguh menyenangkan.

Hari itu hari terakhir kami di Marrakesh. Sebelum pulang Ken meluangkan waktu untuk memperlihatkan foto-foto dia ketika menjadi figuran banyak film. Diantaranya Gladiator yang memang bersetting di Maroko. Ketika kami akan pergi menuju Tangier, Ken berpesan untuk menggunakan taksi yang menggunakan argo. Bahkan akhirnya Ken mengantarkan kami saking khawatirnya. Ketika kami menyetop taksi dan supirnya tak mau menggunakan argo, Ken marah dan mengancam sopir itu untuk dilaporkan ke polisi. Ah, Ken memang baik. Kami berpelukan dan berpamitan.

Terimakasih Ken.

3 comments:

Davo said...

Hi Leo. I did a similar trip with Ken a few years ago and had a great time. I've lost his contact details. Do you have a phone number, email or website for him?

Thanks

David Castlemaine Australia

hijau said...

I have his phone number and email actually. Can I have your email so I can send it to you?

Davo said...

My email is goer@iprimus.com.au

Thanks so much.

David