TRIBE sebetulnya adalah produksi BBC yang menceritakan perjalanan sang host, Bruce Parry mengunjungi dan hidup bersama suku-suku terasing di seluruh dunia. Yang menarik dari serial ini adalah sosok Bruce yang dapat membaur dengan suku asing tersebut. Dia benar-benar melihat suku tersebut sebagai komunitas yang memiliki kebudayaan yang unik –bukan aneh. Walaupun pernah sekali waktu dia tidak tahan untuk membandingkan dengan kebudayaannya sendiri, ketika dia merasa heran melihat wanita suku Hamar di Etiophia yang tidak takut, bahkan ingin sekali dipecut dengan sejenis rotan sampai luka. Tapi hanya sekali itu saja.
Karena sulit aku untuk menemukan tontonan sejenis yang memenuhi hasrat aku akan antropologi, aku mencari DVD serial ini. Aku menemukannya di Amazon.co.uk. Untungnya dibundling tiga season/series sekaligus. Walau valuta asing sedang menyebalkan, aku memaksakan untuk membelinya.
Keputusan yang tidak aku sesali.
DVD ini mengulang kembali perjalanan Bruce Parry ke suku Adi di Himalaya, suku Suri di Ethiopia, Suku Kombai di Indonesia (Papua), Babongo di di Gabon, Darhad di Mongolia dan Sanema di Venezuela. Semua tergabung di Series I. Series II hanya memuat perjalanan Parry di tahun berikutnya ke tiga suku di Ethiopia, Nyangatom, Hamar dan Dassanech. Suku yang walau berdekatan memiliki karakteristik dan kebiasaan yang sangat berbeda.
Seri terakhir berisikan perjalanan ke suku Matis di Amazon (Brazil), Nenets di Siberia, Anuta, pulau mungil di Samudera Pasifik, suku Akie di Tanzania, Layap di Bhutan dan suku Penan di pulau Kalimantan (Malaysia). DVD ini dilengkapi bonus film amatir pertama Bruce Parry dan Mark (terkenal kemudian bersama Olly dengan “Living with the Kombai Tribe” dan “Living with the Mek Tribe”) mendaki gunung Mandala di Irian sekalian meneliti suku kanibal disana. Di film ini aku juga tahu ternyata Bruce cukup fasih berbahasa Indonesia.
Dari semua kisah Bruce Parry, yang paling menakjubkan adalah perjalanannya bersama suku Dassanech di Mongolia. Suku nomaden yang mengurusi ratusan ternak di padang stepa Mongolia. Sepasang suami isteri yang sederajat mengurus pekerjaan dan keluarga di medan alam yang sangat berat. Membuat aku semakin ingin berkunjung ke Mongolia (dan Maroko tentunya!)
Satu lagi, aku ingin berkeluh kesah: Semakin susah untuk tetap menghargai kerja keras orang lain di tengah zaman serba download dan krisis ekonomi global yang membuat dollar melambung tak masuk akal. Ditambah dengan banyak film Hollywood gak masuk ke bioskop Bandung, berganti film Indonesia konyol (bukan Laskar Pelangi tentunya). Alasan untuk ke Kota Kembang semakin mudah dicari…
No comments:
Post a Comment