Monday, February 18, 2008

Java Jive Walk

Minggu lalu tak sengaja kulihat iklan di Koran. Jalan-jalan di kota Bandung bertema kopi dengan hanya membayar 30ribu saja. Mmm..tampaknya menarik. Sempat ragu akan merasa awkward soalnya gak ada yang kenal. Tapi detik pertama ketika berkumpul di depan patung Badak balaikota, semua itu langsung lenyap. Tak disangka ternyata peminatnya sangat banyak. Bermacam ragam, dari yang muda sampai yang tua. Yang tertuanya tampaknya pak Ismail, pensiunan PT Pos yang sangat antusias, ditambah dua bule, Mary dari Australia dan Nicky dari Inggris.
Perjalanan dilalui dengan jalan kaki dimulai dari balaikota. Aku masuk kelompok satu (tiap kelompok terdiri atas 25 orang) yang dipimpin oleh Amor, panitya sekaligus guide. Penjelasan Amor sangat gamblang dan menarik. Dia membuka dengan menjelaskan pengetahuan umum mengenai kopi. Biji yang merupakan komoditas yang menguntungkan. Pengekspor terbesar adalah Brazil, diikuti oleh Colombia dan Indonesia. Kopi yang bercitarasa dan beraroma nikmat adalah jenis Arabika, sedangkan jenis yang mengandung zat afrodisiak dan teman sejati pembenci tidur adalah Robusta. Indonesia merupakan negara penghasil Robusta terbesar.
Kopi di Indonesia diperkenalkan oleh orang Belanda. Kebun kopi pertama ditanam di daerah Sukabumi yang tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Hal itu disebabkan karena kopi harus ditanam di tempat yang lebih dingin. Hal itu pula yang menyebabkan Andreas de Wilde menghiba kepada pemerintah Hindia Belanda agar diperbolehkan menukar tanahnya di wilayah Sukabumi dan Bogor dengan tanah di wilayah Priangan. Pemerintah mengabulkannya. De Wilde menguasai sebagian besar wilayah Bandung sekarang dan langsung menanami sebagian besarnya dengan kopi. Tanpa waktu yang lama, De Wilde langsung kaya raya. Ia menyimpan kopinya di gedung papak. Ya, gedung tempat walikota Bandung itu dulunya hanyalah sebuah gudang kopi. Saking terkenalnya kopi de Wilde di Eropa, sebutan kopi terbaik diganti dengan kata Java, hingga sekarang.


Perjalanan dilanjutkan ke Braga Permai, restoran tua di jalan Braga. Disana kita menikmati sarapan sepotong kue Linzer dan secangkir kopi. Aku bukanlah penyuka kopi, tapi pagi itu sumpah terasa enak sekali. Yang lebih istimewa adalah kuenya. Kue Linzer konon adalah kue tertua di dunia. Kue itu pertama kali dibuat di kota Linz, Austria. Dimodifikasi oleh orang Belanda dan kemudian dibawa ke kota Bandung tercinta ini. Rasanya istimewa, tepatnya terasa seperti aibon. Benar! Saking banyaknya rempah yang gak jelas, baunya beneran aneh. Selain itu sepertinya kue itu mengandung alkohol, soalnya terasa agak pusing. Tapi walaupun kue itu penuh kontroversi, tetap saja aku lahap sampai habis, bahkan sepotong lagi punya temanku aku sambar juga. Maap lapar.

Dilanjutkan beberapa langkah menuju Sumber Hidangan, toko kue yang buka dari tahun 1929. Disana kita menikmati es krim. Es krim nya beda, kabarnya memakai santan, jadi terasa seperti remahan kue mari yang dibuat es. Tapi enak kok. Buktinya, lagi-lagi aku habiskan. Disana Amor bercerita tentang sejarah kopi yang dimulai oleh keheranan seorang gembala kambing di Ethiopia yang menyaksikan kambing-kambingnya mendadak lincah setelah memakan biji-bijian yang aneh. Sepertinya kambing itu memakan yang jenis robusta. Biji tersebut akhirnya diperdagangkan melalui pelabuhan Kaffa (entah kenapa namanya jadi coffee) ke Arab. Dari arab lah kopi kemudian mendunia walaupun di Arab sendiri kopi pernah dilarang.

Dari Sumber Hidangan diteruskan ke tempat terakhir, yaitu toko kopi Aroma di daerah Banceuy melalui gang-gang di Jalan Braga, melewati rumahnya Iskandar alias Isro alias Iis, teman kuliahku dulu, dimana maneh?) Toko ini masih menggunakan bangunan yang sama sejak tahun 30an. Bahkan pengolahannya masih menggunakan kayu karet dan mesin yang sama dari zaman Belanda dulu. Beruntung aku dapat masuk kesana. Pak Widya Pratama, sang pemiliki menerangkan proses pengolahan kopi dengan jelas dan jenaka. Kopi yang baik haruslah disimpan selama 8 tahun. Jika langsung diminum sebelum itu akan menyebabkan perut kembung dan mual (pantas saja aku suka begitu sehabis meminumnya). Sebelum disimpan kopi dikeringkan dengan menggunakan matahari dan kemudian dimasukan kedalam karung goni. Bau ditempat pemrosesan kopi itu sungguh-sungguh sangat nikmat. Pulangnya tentu saja aku membeli dua bungkus kopi Arabica Mocha. Satu kantung seperempat kilo seharga 25ribu saja. Bandingkan dengan harga di Starbuck sialan itu. Padahal kopinya berasal dari Indonesia juga. Huh!
Terimakasih untuk teman-teman di Bandung Trails yang sudah bersusah payah mengadakan acara ini. Insya Allah akan meluangkan waktu untuk acara berikutnya!

2 comments:

Anonymous said...

Dodiiiiiiiiiiiiii kangen deh. dah lama gak maen2 ke sini.
Mau ada gerak jalan lagi kapan?

hijau said...

hey Jeng Tari!! Sibuk ya di kantor baru!
Aku gerak jalan kemanapun ada yang mengajak. Mudah2an segera. Biar gak makin gemuk hahaha.