Wednesday, July 24, 2024

Kuliah Lagi di Usia Tua (1)

Di tengah kegaduhan pandemi dan stress yang tak mereda. Ditambah lagi aku sempat positif Covid, tiba-tiba saja ada berita dari sahabatku. Sahabatku ini salah satu pekerjaannya adalah dosen di Universitas Padjadjaran (Unpad). Kebetulah tahun itu, dia juga kebagian jabatan sebagai kepala program studi pasca sarjana di Fakultas Ekonomi, Jadi dia memiliki target untuk menerima mahasiswa baru. Dia kemudian menawarkan aku untuk menjadi mahasiswa magister di fakultasnya. Tawaran yang langsung aku tolak. Adalah hal yang gila menambah masalah di keruwetan pekerjaan dengan hal lain yang menurutku tak ada faedahnya di dunia pekerjaan. Tempatku bekerja tidak memberikan benefit lebih kalau kita sekolah lagi atau mendapatkan gelar tambahan. Tidak seperti di pemerintahan.

Semakin hari, anehnya, kok tawaran itu semakin kepikiran. Aku kemudian menuangkan ide itu dalam guratan pro dan contra. Kontranya lebih banyak, dilihat dari hal waktu, pikiran, dan tentu saja biaya, semua merugikan. Pro nya adalah: hal baru dan perkuliahan dilakukan secara online. Aku pun mencari informasi dengan lebih banyak lagi. Detail jurusan apa saja, biayanya berapa, tahapannya apa saja, dan hal lain. Terus terang saja, semua catatan menunjukkan arah saran untuk tidak kuliah. Tapi hatiku semakin condong untuk mengambilnya. Akupun kemudian berdiskusi bersama isteriku. Isteriku memberi lampu hijau. 

Izin itu membuat langkahku semakin bulat. Tapi jurusan yang menarik perhatianku malah bukan di fakultas ekonomi, tetapi Komunikasi Bisnis di Fakultas Komunikasi (fikom). Keputusan ini sekan menyulut sebuah semangat baru. Gairah yang bisa jadi penawar kesibukan dan kejenuhan aku selama ini. Lebay tapi begitulah adanya. Aku kuliah di tahun 1995, dan lulus di tahun 2000. Lebih dari 20 tahun! Aku terus terang sudah lupa rasanya. Perasaan ini sulit aku gambarkan. Aku tiba-tiba diliputi kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan baru, akan tetapi juga rasa ingin tahu yang sangat luar biasa.

Kutelusuri syarat-syarat tes penerimaan. Banyak prosedur, website, istilah yang sama sekali asing kutemukan. Aku merasa tua dan tertinggal. Wahana apa ini? Tes Kemampuan Akademik, TOEFL. Oh Tuhan, tes apa ini? Aku lantas membuka Tokopedia dan langsung menambahkan buku belajar ke keranjang belanja. Aku sangat bersemangat mempelajarinya. Ternyata dalam alam bawah sadar, aku sangat rindu akan suasana ini. Belajar lagi hal baru. Aku semakin lega, aku mengambil keputusan ini.

Aku mengupayakan waktu untuk tes demi tes. Aku sengaja tak membagi informasi tentang keputusanku untuk kuliah lagi ke atasanku di kantor. Ini adalah ruang "bermainku". Tempat pelepasan penatku yang baru. Tes dilakukan secara online. Setelah tak sabar menunggu hasilnya. Alhamdulillah nilai-nilaiku memenuhi syarat. Prosesi selanjutnya adalah membuat surat yang memuat tujuan untuk kuliah, dilanjutkan dengan wawancara.

Ini adalah isi suratku:

Dengan hormat,

Perkenalkan, saya Dodi, berusia 44 tahun pada 6 Agustus nanti. Status berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Saat ini saya bekerja di xxx sebagai xxx.

Saya menempuh Pendidikan sarjana (S1) di Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Administrasi Negara pada tahun 1995 sampai dengan 2000.

Setelah lulus saya tidak pernah mengikuti Pendidikan formal lainnya, kecuali pelatihan/training yang diselenggarakan kantor tempat saya bekerja. Saya mulai bekerja di XXX pada akhir 2000 sebagai tenaga outsource, dan mulai bekerja sebagai karyawan organik tahun 2003. Pekerjaan saya sebagian besar di bagian pelayanan pelanggan, dimulai dari team penanganan keluhan pelanggan di Call Center. Kemudian mengelola manajemen operasional service point dengan pihak ketiga di wilayah Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung. Setelah itu menangani strategi pelayanan dan operasional pelayanan di wilayah Jabotabek dan Jawa Barat.

Setelah berkecimpung di dunia pelayanan, sejak tahun 2018 saya mendapatkan tanggung jawab di bidang sales, baik itu sales policy maupun penyusunan strategi sales dan mengkomunikasikan strategi sales tersebut dengan team sales di Area.

Selama ini, perusahaan memberikan berbagai bentuk dan cara untuk meningkatkan kemampuan karyawan, baik itu diselenggarakan oleh fungsi HRD maupun internal sub direktorat, bahkan level divisi dan departemen. Bentuk yang selama ini diadakan adalah sharing session, pelatihan/training, reading assignment, webinar, quiz yang sifatnya wajib maupun tidak, dan lomba inovasi tahunan. Sejak pandemik,kegiatan-kegiatan ini pun tetap dilakukan, hanya saja tanpa melalui pertemuan fisik.

Walaupun saya mendapatkan berbagai kegiatan di atas, terus terang saya tergelitik untuk mencoba hal baru untuk menambah pengetahuan, skill, networking dan mendapatkan point of view yang baru melalui hal yang belum pernah saya coba sebelumnya, melalui Pendidikan formal. Sahabat saya, Dini Rosdini, seorang dosen Akuntansi di Unpad, suatu hari menyarankan saya untuk ikut program Magister. Sebuah peluang untuk mewujudkan keinginan itu. Tapi saya ragu, terus terang saja. Pandemi di awal 2019 memang membuat saya bekerja di rumah, di Bandung. Tapi bukan berarti membuat waktu senggang saya semakin banyak. Koordinasi pekerjaan seringkali berlangsung jauh melebihi waktu kerja regular dan dimulai sejak dini hari. Screen time saya melonjak melebihi sebelum pandemic, belum lagi harus membagi konsentrasi dengan keluarga dan dua anak balita saya. Ide kuliah lagi seolah seperti bukan ide yang baik.

Akan tetapi, saya sadar, kesempatan terbaik membutuhkan keberanian, selain itu restu dari keluargapun sudah saya dapatkan. Oleh karena itu saya memberanikan diri untuk mendaftar program magister tahun ini. Setelah browsing dan bertanya dengan teman-teman yang berprofesi dosen di Unpad, saya memilih Magister Ilmu Komunikasi, dengan rencana peminatan Komunikasi Bisnis. Saya melihat program ini sejalan dengan pekerjaan saya saat ini, selain memang komunikasi merupakan minat saya sejak lama.

Fungsi kerja saya saat ini diantaranya menentukan metode campaign yang efektif, membuat sosialisasi yang mudah dan efektif, serta merumuskan UI/UX suatu apps yang baik dan mudah digunakan. Oleh karena itu, program Magister Ilmu Komunikasi saya rasa pilihan yang tepat. Harapan saya program ini dapat memperluas cakrawala berpikir saya sebagai seorang praktisi dengan memperkaya teori, informasi perkembangan pengetahuan serta tentunya ilmu berharga dari akademisi berpengalaman.

Demikian pernyataan tujuan ini saya buat, terima kasih.


Tahapan selanjutnya adalah wawancara. Aku diwawancara oleh dua dosen, Ibu Pur (yang kelak akan menjadi penguji tesisku) dan Ibu Ira, yang kelak akan menjadi dosen pembimbingku. Alhamdulillah aku berhasil menjadi mahasiswa baru program magister Komunikasi Bisnis Universitas Padjadjaran.

Hipertensi di Kala Pandemi

Pada saat pandemi, di tahun 2020-2021, untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku divonis darah tinggi. Aku gak ngerti kenapa hampir setiap hari pusing tapi kok gak kunjung berhenti. Minum panadol yang biasanya ampuh, sekarang ini reaksinya cuma sebentar saja. Tes covid berkali-kali hasilnya negatif. Ke dokter saat itu agak malas, soalnya tahu sendiri kan, selain sulit mencari dokter yang praktik, perjalanan buat diperiksa saat itu lumayan repot. Harus tes covid, janjian, pakai masker lah, dan sebagainya. 

Akhirnya aku memaksakan diri. Aku agak khawatir. Lalu aku datang ke dokter di kawasan Cicendo. Dokter yang belum pernah aku datangi sebelumnya. Selama pemeriksaan terus terang aku merasa kurang sreg. Tingkah laku si dokter ini agak aneh menurutku. Apa ya, gambaran yang tepat.. agak grasak-grusuk. Selain itu, dia juga tiba-tiba aja cerita tentang kredibilitas dia. Padahal aku gak nanya apa-apa. Terus dia, sambil mengukur tekanan darah, bilang dan cerita tentang bahaya kegemukan, dan hasil pengukuran menyatakan kalau tekanan aku tinggi. Aku lupa angkanya, sekitar 160/95 segituan lah. Aku memang sudah biasa dengan pernyataan dokter yang sudah menjudge aku darah tinggi sebelum pengukuran dilakukan, karena aku memang gendut. Tapi yang ini beda. Hasilnya memang ternyata tinggi.

Akupun kemudian diberi obat darah tinggi yang harus aku makan seumur hidupku. Aku kok sepertinya gak rela. Karena aku yakin aku gak darah tinggi. Tapi keyakinanku berbenturan dengan fakta. Aku pun membeli alat ukur tekanan darah sendiri. Dan hasilnya tetap sama. Akupun kemudian bertahap menerimanya. Sambil mencari second opinion ke dokter dekat rumahku. Dokter Arif, salah satu dokter yang merawat almarhum Apih di kala stroke. Aku mendapatkan penjelasan yang lebih bisa diterima olehku. Ternyata dokter Arif penyandang darah tinggi juga, jadi dia share pengalamannya. Dia menyarankan aku untuk menghentikan obat sementara, dan mencoba mengatur pernafasan secara periodik. Dia menemukan kasus serupa di masa pandemi ini. Di mana banyak orang mengalami perubahan pola hidup, pola kerja, dan berimbas pada pola kesehatan.

Setelah mencoba selama sebulan, alhamdulillah, tekanan darah aku berangsur normal. Hal yang kemudian aku sadari kalau perubahan pola hidup itu menyebabkan aku stress. Dan itu memengaruhi tekanan darahku. Alhamdulillah, sampai hari ini, tekanan darahku gak pernah tinggi lagi.


Aku sebetulnya bukan mau cerita ini sih, hahaha, tapi mau cerita yang lain, bersambung di posting berikutnya ya..