Ketika aku memutuskan untuk mengambil cuti, aku tahu sebabnya. Aku stress, ya terdengar aneh memang. Tapi semakin aku coba cari padanan kata lain, selalu mentok ke kata itu. Stress, kayak boss2 di sinetron aja. Aku tahu untuk menghilangkan beban berat di pikiranku, aku harus tertawa. Dan memang sangat manjur, bener lho, otak dan gerakan bibir yang aneh itu terbukti memang bersimbiosis mutualisme.
Sampai akhirnya hari2 kemarin aku harus jujur sama diriku sendiri. Otakku mulai bebal. Ya, gerakan aneh di bibir itu sudah kehilangan khasiatnya. Hantaman pekerjaan yang terus menerus memaksa tubuh dan pikiranku berteriak minta beristirahat.
Pekerjaanku menuntut aku stand by twenty four hours a day, bukan shift2an yang aku maksud. Setelah pulang ke rumah, aku masih harus bersikap seolah2 komputer masih dihadapanku. Menjawab telefon, membaca sms, mengingat2 setiap detail masalah sebulan kemarin, bahkan lebih. Sambil tak lupa tetap terdengar ramah, jgn menunjukan nada kesal. Tak terhitung berapa kali tanganku terangkat ke atas bersiap2 untuk membanting handphone. Tapi pikiran waras masih tetap dominan, untungnya.
Aku benci berkeluh kesah, apalagi setelah membaca "sepatu merah", aku tahu aku agak2 mirip sama dia. And I'll end up like her --penuh kesinisan--kalau tetap berkesal ria. Ok, sebelum cuti, aku coba usaha lain dulu, cari kesibukan yang tak ada hubungannya dengan kantor. Aduh sumpah, sekedar untuk nyari kesempatan ngajak ponakanku renang aja susah banget. Bulan2 kemarin asli aku nyaris muntah, kehabisan waktu. Akhirnya aku cuma bisa baca buku sejarah kesukaanku, dengar radio, nonton film walau agak terkantuk. Semua gak berhasil.
Ok, akhirnya aku cuti, tapi kayanya aku salah pilih tanggal, aku ada kerjaan ke Jakarta, 3 hari, ditambah reorganisasi di kantor. Mendengar kabar itu membuat aku gak bisa tidur lagi, padahal waktu itu jam 10 pagi, dan aku baru tidur jam 8 setelah sebelumnya kerja malam. Mimisan dan diare sepertinya berulang tahun. Tapi setelah temenku bilang, daripada ditolak kayaknya lebih mudah kalau diterima --pikiran positif ku mulai kembali. Selama di Jakarta, aku tetap seperti lap kanebo--siap untuk dipakai tapi lusuh--walau raga ku di kamar hotel, telfon dan sms tetap tak berhenti, aku seperti pindah kantor, konfirmasi ke pelanggan pun tetap aku jalankan dari kamar itu. Tapi sekali lagi entah kenapa aku gak marah, gak kesal, gak senang atau gak sedih. Aku seperti kehabisan energi untuk itu. Bahkan ketika pulang naik kereta paling pagi, dan mogok selama dua jam aku masih tetap hambar. Gak marah walau semua penumpang seperti hendak membakar gerbong tsb.
Untuk yang tahu aku, gak marah dengan kejadian itu sangatlah istimewa buat pribadi seperti aku. Dalam kondisi "normal" aku pasti menggelegak. Setelah sampai di stasiun diiringi dengan permintaan maaf di speaker akan keterlambatan kereta--yang akhirnya mau gak mau membuat aku tersenyum--aku memaksakan diri ke grapari untuk menuntaskan masalah kerjaan, baru ke rumah untuk sholat jum'at.
Besok paginya--hari ini-- aku ke Cirebon, Candra, temenku akhirnya menikah. Aku mencoba selalu sadar untuk menjaga kondisi badanku. Aku tahu aku pergi ke Cirebon di siang hari dengan memakai baju resmi akan membuat aku pingsan, seperti beberapa tahun yang lalu. Panas. Banget. Alhamdulillah aku sehat walafiat sampai pulang, ya, cuma sekali mimisan pas tadi pulang di bis, untung bapakku ikut, jadi bisa pinjem saputangan he..
Sampai pas mau nulis artikel ini, aku merasa bukan aku lagi. Setiap yang aku lakukan wajib aku lakukan, bahkan ke kawinan tadi. Bukan lagi sesuatu yang ingin aku lakukan. Rangkaian hari tadi cuman bisa aku liat dengan tatapan kosong tanpa emosi. Aku gak bisa membedakan lagi apakah ini sabar atau tak peduli. Gosh, sepertinya aku tersesat..
No comments:
Post a Comment