Saat ini aku sedang duduk sendiri, menatap laptop kantor di meja hotel. Aku tak bisa berhenti tersenyum mengingat kejadian hari tadi.
Aku sebetulnya agak segan memulai hari ini. Aku harus menempuh perjalanan Palembang - Bandar Lampung via darat selama 10 jam. Kalau aku beruntung, kondisi jalanan baik, tidak ada kecelakaan dan cuaca cerah, aku akan menghemat 2 jam. Jadi total 8 jam. Walau segan, tak banyak pilihan yang kupunya. Jadwal tugas ini aku sendiri yang membuatnya. Jadi tidak ada alasan untuk membatalkan kepergian ini.
Jadwal aku hari ini adalah dari Palembang langsung ke Bandar Lampung, sambil sesekali berhenti di Tulang Bawang dan Bandar Jaya. Tugas sebenarnya baru dimulai besok. Ke Bandar Jaya dan Metro. Hari Rabu dilanjut disekitaran dalam kota, di Raden Intan dan Kedaton terus pulang ke Bandung dengan pesawat Merpati yang tiketnya aku beli sendiri. Berhubung Jum'at hari kejepit, jadi aku tak akan melewatkan kesempatan libur panjang.
Pagi dimulai dengan baik, cuaca sangat cerah. Lalu lintas di Indralaya yang kukhawatirkan akan macet, ternyata berjalan dengan tanpa hambatan sama sekali. Sarapan aku dapatkan di pom bensin di luar Kayu Agung. Semangkok Indomie rebus dan dua potong gorengan. Kalau tak salah itu sekitar jam sembilan. Tanpa menghabiskan waktu lebih lama lagi, kami melanjutkan perjalanan.
Hari ini agak sedikit berbeda. Tanpa disengaja, subuh tadi sambil menunggu dijemput supir, aku membaca twitnya aa gym (@aagym), aku lupa isi tepatnya, tapi kurang lebih isinya begini: mulailah hari dengan senyum, hal yang berguna, perkataan yang berguna. Hal itu pula yang ingin aku lakukan. Aku memutuskan hari ini ingin menjadi pribadi yang tidak akan menyesali perkataan yang pernah keluar dari mulutku. Well--setidaknya, at least, untuk hari ini. Lagian, hari ini akan aku habiskan berdua dengan Mas Agus, supir kantorku. Gak lucu rasanya menghabiskan perjalanan panjang sambil bete-betean.
Aku tiba di Tulang Bawang jam 12 siang. Lebih cepat dari perkiraanku. Asik banget nih, aku bisa ke Bandar Jaya jam 14:00 dan melakukan tugasku, jadi tugasku besok bisa jauh lebih ringan. Gak usah makan siang di Tulang Bawang ini, di Bandar Jaya aja. Masih belum lapar kok. Begitu pikir kami.
Tapi takdir berkata lain. Tak lama setelah meninggalkan Tulang Bawang, sebelum kota Menggala, kami berada dalam antrian yang sepertinya sangat panjang. Truk-truk besar berhimpitan tanpa maju sedikit pun. Akhirnya mas Agus, memutuskan ngambil jalur kanan beserta banyak kendaraan pribadi lainnya. Jalur sebelah memang kosong sih, jadi bisa kami gunakan untuk menyalip antrian tadi. Tapi ternyata setelah jauh menyalip, antrian itu tak kunjung berkurang. Sekarang bahkan jalur lawan menjadi penuh. Kami terpaksa maju di bahu jalan dengan berlawanan arah. Dan, antrian tetap mengular. Tepat jam 14:00 kami dan rombongan pelanggar arus itu distop sekawanan polisi. Kami pun ditilang. Yah, kami memang salah.
Mas Agus kesal, karena ternyata si polisi nggak bisa disogok. Aku tak mendebatnya, aku tahu dia sedang kesal. Jadi tak ada guna menambah kekesalannya. Tekadku tadi pagi masih dengan jelas aku ingat. Dan tekad itu sangat-sangat membantu mulutku. Insiden itu kemudian diperparah dengan tugas kantor yang tak lantas berhenti. Aku tetap harus sambil membalas email, menelepon bahkan membuka laptop di tengah keruwetan itu. Entah berapa kali ingin rasanya aku menulis kata-kata yang menyindir, berserapah dan membalas kekasaran orang lain. Tapi syukurlah tekad itu seakan membangun pagar.
Sampai jam 16:00 kurang kemacetan tak berkurang. Sudah dari tadi aku menahan lapar. Tak ada sedikitpun makanan di mobil kami, hanya ada sebotol kecil Pocari Sweat. Hal itu kemudian diperparah dengan kegelisahan pada saat kulihat tanda bensin tinggal satu strip. Kami harus mematikan mesin dan AC untuk menghemat bensin. Tapi hari itu aku aneh dengan diriku sendiri. Tak ada sedikitpun terbersit keinginan untuk marah. Mungkin juga aku terhibur dengan komen teman-temanku di Path. Mereka mengolok-olok kemacetan yang ku hadapi, dan entah kenapa teman-temanku malah lantas membahas cilok. Duuuhhh... aku jadi malah makin lapar dan jadi ingin makan Cilok hahaha.
Aku pun keluar mobil, berteduh di bayangan truk-truk besar. Kemudian ada seorang supir tangki bensin dengan berkaos dalam dan bercelana pendek bolong-bolong menghampiriku. Dia mengajaku mengobrol. Hanya saja aku tak bisa memahami apa yang dia bicarakan. Dia terlihat marah dan berbicara tentang proses distribusi bensin yang dia lakukan. Dan dia marah kepada Pak Rudy, yang sepertinya nama seorang petugas administrasi yang menerbitkan surat jalan di kantornya. Akhirnya aku hanya melongo dan mencoba berempati sebisa mungkin dengan jawaban: ooh, begitu ya pak, mmmm, dan kata-kata yang aku pikir dapat membesarkan hatinya. Untunglah pembicaraan itu dipotong oleh antrian yang tiba-tiba bergerak. Kami semua serentak masuk ke mobil masing-masing.
Antrian mulai bergerak. Aku sedikit lega. Tapi hanya untuk sebentar saja. Antrian kembali terhenti. Aku terus terang saja menjadi kecewa. Lapar dan khawatir kehabisan bensin kembali membuatku termenung. Tapi kemudian tekad pagi tadi seakan berbisik menghiburku. Manusia hanya bisa berencana, tapi Alloh lah yang menentukan. Ketika tak ada lagi yang bisa dilakukan dan yang kamu bisa lakukan satu-satunya adalah memohon pertolongan Alloh, itu lah yang akan Alloh berikan. Bisikan itu seakan menghembuskan harapan dan senyuman.
Dan tiba-tiba saja, sambil mobilku berjalan sedikit demi sedikit, kulihat sepeda motor berjualan bertuliskan: CILOK. Whattttt???? Aku seakan tak percaya, dan tertawa sekeras-kerasnya. Cilok. Makanan orang Sunda, di tengah antah berantah ini? Hahahaha. Aku benar-benar tak percaya. Aku langsung membeli cilok itu dengan memakai bahasa sunda. Si emang penjual cilok pun tersenyum dan menjawab dengan bahasa sunda pula. Sambil menikmati cilok itu tak henti-hentinya aku tersenyum dan bersyukur. Dan si peristiwa cilok itu pula ternyata merupakan ujung kemacetan. Jalan didepannya langsung lancar.
Ah... Subhanalloh, Alhamdulillah... Alloh itu lucu...in the Great way.