Aku
terlahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Ibu bapakku, amih dan apih,
dua-duanya pegawai negeri golongan biasa-biasa saja. Kami terbiasa hidup
sederhana. Tapi dalam benak aku pada masa kecil dulu, aku hidup berkecukupan. Setidaknya
aku pernah mencicipi sebatang besar cokelat Cadbury di hari ulang tahunku dan hampir
setiap hari aku mendapatkan jatah buah-buahan. Aku sebut jatah, karena setiap
pulang kantor, amih selalu membawa sekantong keresek buah-buahan, biasanya
tergantung musim, duku, rambutan, manggis, mangga, dan lain sebagainya. Nah,
buah-buahan tersebut kemudian dibagi-bagi menjadi Sembilan gundukan. Untuk kami
berlima, apih dan amih, ma yuyut dan ma dapur (begitu kami menyebut nenek
kami). Cara menentukan gundukan tersebut macam-macam, bisa dengan dihitung atau
ditimbang. Yang repot kalau buahnya buah mangga, soalnya kami jarang dapat satu
orang satu. Biasanya satu butir untuk dua orang. Dan kami selalu berebut
partner. Ma Dapur dan Ma Yuyut jadi most wanted. Soalnya mereka biasanya suka
dengan rela memberikan jatahnya untuk kami hihihi.
Kakak-kakakku,
terpaut dua tahun dengan adik dibawahnya, kecuali aku yang terpaut empat tahun
dengan kakakku yang keempat. Aku memang anak yang tidak direncanakan asalnya,
hahaha. Kami menghabiskan masa kecil di sebuah perumnas. Jadi selain
buah-buahan tadi, kami terbiasa berbagi kamar tidur pula. Kami tumbuh menjadi
pribadi yang berbeda-beda. Setidaknya dari sudut pandang aku sendiri. Tapi satu
hal yang selalu aku ingat, kami berhubungan akrab satu dengan yang lainnya.
Cerita satu sama lainnya, biasanya kami saling ketahui. Nostalgia masa lalu
sangat tak terhitung banyaknya. Hal itu pula yang selalu tak habis-habisnya
kami bahas dan kami tertawakan hingga kini. Dari mulai serunya pembagian buku
dan alat tulis lainnya setiap tahun ajaran baru dimulai, kejadian kalau salah
satu diantara kami dimarahin apih ataupun amih, mentertawakan ketika salah satu
diantara kami ngompol di sekolah, dan banyak lagi hal lainnya.
Hari ini
sudah berpuluh-puluh tahun berlalu dari masa kecil kami. Tapi aku merasa kami
tak berubah. Pada bulan Ramadhan ini kami sekeluarga mendapat cobaan. Apih
pingsan pada saat nyetir. Untungnya Apih masih sempat untuk memberhentikan
mobil di pinggir jalan. Apih langsung dibawa ke rumah sakit. Pembuluh darah
apih pecah, dan harus menjalani operasi VP Shunt. Apih dirawat di rumah sakit
selama dua minggu, kemudian boleh pulang walau tetap harus menjalani rawat
jalan. Apih masih harus menjalani pemulihan di rumah. Masih belum bisa berjalan
sendiri, ataupun ke kamar mandi sendiri.
Tak lama
kemudian, my strong woman, Amih mengalami kesulitan makan sampai terpaksa harus
dirawat di rumah sakit. Kejadian demi kejadian ini menghenyakkan kami semua.
Bukan saja kami berlima, tapi juga para isteri dan suami, keponakan yang kini
telah menjadi bagian keluarga besar kami. Kami menghadapi semua ini bersama.
Aku sangat bersyukur, dengan segala keterbatasan masing-masing. Kami masih
saling memiliki satu sama lain. Susah dan senang kami jalani bersama.
Sekarang
adalah giliran aku jaga malam menemani Amih di Rumah Sakit, mencoba menuliskan
ini semua, sebelum aku lupa bersyukur dan tidak menyadari begitu hebatnya
nikmat Alloh dengan kebersamaan kami ini. Walau sekarang kami tertatih-tatih di
penghujung Ramadhan ini, dan semakin sadar bahwa kami tak lebih dari makhluk
yang lemah. Satu persatu dari kami mulai sakit secara fisik dan harus
beristirahat. Kami harus makin bersatu dan tak lupa mengharap kuasa Alloh untuk
menolong kami semua, dan mengubah cobaan ini menjadi kemuliaan.
Subhanalloh,
walhamdulillah, walaailaahailalloh, wallohuakbar, lahaulawalakuwwataillabillah…